Sukarno dalam Pusaran Islam, Nasionalisme, dan Komunisme
Pikiran dan tindakan Sukarno tak lepas dari latar belakang kulturnya yang sinkretis. Meramu ideologi atas nama persatuan.
Bulan Juni adalah bulannya Bung Karno, sapaan akrab Sukarno, pahlawan Proklamator kemerdekaan dan presiden pertama Republik Indonesia. Bulan Juni ini adalah bulan kelahiran sekaligus bulan wafatnya Bung Karno. Pada bulan ini pula ia mencetuskan gagasan ideologi negara, Pancasila.
Layaknya tokoh-tokoh besar, dengan berbagai kontroversi yang menyelimutinya, Sukarno telah menjadi semacam anugerah bagi bangsa Indonesia dan dunia. Semangat pembebasan dan pembaruan serta konsistensinya sebagai seorang nasionalis pemersatu yang berakar kuat pada konteks budaya bangsa dan berpijak pada nilai-nilai spiritualitas Islam yang diyakininya, menjadikan Bung Karno layak menginspirasi generasinya dan generasi setelahnya.
Mencari Titik Temu
Fokus Sukarno yang utama pada masa sebelum kemerdekaan adalah cita-citanya untuk membebaskan negeri dari kolonialisme. Di tengah upaya tersebut, Sukarno berhadapan dengan pluralitas sebagai realitas yang tak terelakkan. Kenyataan itulah yang membuatnya terobsesi menjadi pemersatu berbagai perbedaan pandangan yang mengemuka dari para tokoh pergerakan pada masa itu.
Sukarno kemudian dikenal selalu berusaha meramu berbagai perbedaan yang digali dari pemahamannya yang mendalam serta berpijak pada persoalan riil bangsa. Ini tentunya tak lepas dari karakter sinkretisme Jawa di mana Sukarno dibesarkan, yang memungkinkannya menggabungkan apa yang dianggap baik dari dalam dengan apa yang dianggap baik dari luar. Namun dapat pula dimaknai dalam konteks ajaran Islam sebagai seseorang yang selalu berupaya mencari titik temu atau yang dikenal dengan istilah kalimatun sawa’ bainana wa bainahum.
Tak heran ketika Sukarno hendak menyampaikan pandangannya tentang konsep nasionalisme dan patriotisme yang diyakininya, ia di antaranya juga merujuk kepada pemikiran Islam pembaru yang dipelopori oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani. Pemikiran tersebut dikenal mendorong pembaruan (tajdid) khususnya dalam rumusan garis perjuangan politik dan nasionalisme kebangsaan, dan segera saja menjadi populer di negara-negara mayoritas muslim seperti Indonesia yang saat itu sedang berjuang memerdekakan diri dari kolonialisme.
Baca juga: Sukarno: Pemersatu atau Pembelah?
Sukarno merasa perlu menyampaikan konsep “Nasionalisme Islam” di mana seorang muslim menurutnya di manapun berada, betapapun jauhnya dari negeri kelahirannya, maka di negerinya yang baru ia menjadi bagian dari rakyat di negeri itu. Sehingga di manapun seorang muslim berada, di situlah ia mesti mencintai dan bekerja untuk keperluan negeri dan rakyat di negeri tempatnya berada.
Dalam konteks mencari titik temu pula, maka rumusan Pancasila 1 Juni sesungguhnya juga adalah upaya politis paling nyata dari Sukarno untuk menyatukan nasionalisme yang dia anut dengan Islam dan juga sosialisme yang menjunjung prinsip keadilan sosial. Bahkan, demi meyakinkan khalayak sidang BPUPKI saat itu untuk menerima konsep dasar negara yang ia tawarkan tersebut, Sukarno sampai merendah dengan menegaskan bahwa ia tidak menciptakan Pancasila. Ia hanya menggalinya dari tradisi luhur yang sudah mengakar di dalam budaya bangsa Indonesia.
Sukarno dan Islam
Bagi Sukarno demokrasi sebagai salah satu nilai dasar di dalam Pancasila adalah sesuai dengan Islam yang mengedepankan cara musyawarah untuk mufakat, bukan setengah plus satu selalu benar, bukan pula setengah plus satu selalu menang. Ia menolak dengan tegas menang-menangan suara karena baginya negara ini tidak menghendaki suatu golongan menguasai golongan yang lain.
Sikap tersebut merupakan cermin dari pemahaman Sukarno akan Islam yang mengedepankan rasionalitas, kemudahan, dan kesetaraan. Pemahaman itu tertuang dalam diskusi hangatnya melalui surat menyurat dengan tokoh pendiri Persis (Persatuan Islam), Ahmad Hassan yang menjadi teman diskusi sekaligus lawan debat semasa pengasingannya di Ende, sementara Ahmad Hassan tinggal di Bandung.
Baca juga: Sukarno Bilang Islam Sontoloyo
Awal tumbuhnya nilai-nilai spiritualisme Islam di dalam diri Sukarno adalah melalui tokoh aktivis Islam kharismatik pendiri organisasi Sarekat Islam, H.O.S. Tjokroaminoto yang adalah bapak kos sekaligus guru agama dan mentor politiknya. Bagi Sukarno, Tjokroaminoto adalah guru yang sangat dihormati karena kepribadiannya yang menarik serta pemahaman Islamnya yang progresif dan tidak sempit. Tjokroaminoto menggembleng Sukarno, memberinya buku-buku serta melatihnya berpidato dan mengorganisasi massa.
Semasa kos di rumah Tjokroaminoto pula Sukarno bertemu Kiai Haji Ahmad Dahlan, seorang ulama besar aktivis pendiri organisasi massa Islam, Muhammadiyah. Di kemudian hari Sukarno bergabung secara resmi menjadi anggota Muhammadiyah dan sempat mengajar sebagai guru di sekolah Muhammadiyah yang saat itu sedang kekurangan tenaga pengajar.
Baca juga: Cerita Rumah Kos HOS Tjokroaminoto
Tidak hanya dengan Muhammadiyah, dalam perjalanan hidupnya baik sebelum dan juga pada saat menjabat sebagai presiden, Sukarno juga dikenal dekat dan dicintai para kiai dan warga di kalangan organisasi massa Islam, Nahdlatul Ulama (NU). Sukarno dekat dengan pendiri NU, Hadratussyaikh Kiai Haji Hasyim Asy’ari dan Kiai Haji Wahab Hasbullah, juga dengan tokoh NU lainnya seperti Kiai Haji Abdul Wahid Hasyim, Kiai Saifuddin Zuhri dan Kiai Haji As’ad Syamsul Arifin. Sukarno juga dekat dengan tokoh pendiri organisasi Persatuan Tarbiyah Islam (Perti), Kiai Haji Sirajuddin Abbas serta dikenang dekat pula dengan banyak tokoh-tokoh ulama, pemikir, aktivis, dan pejuang Islam lainnya seperti: Kiai Haji Mas Mansyur, Haji Agus Salim, Buya Hamka, Abdoel Karim Oey, dan banyak lainnya.
Nasionalisme Sukarno
Sikap Sukarno terhadap Islam dan kedekatannya kepada tokoh-tokoh Islam tersebut tidak lepas dari pemahamannya bahwa Islam tidak bertentangan dengan nasionalisme luhur yang diyakininya. Islam menurutnya hanya bertentangan dengan nasionalisme yang sempit.
Berdasarkan nasionalisme luhur dan Islam yang dipahaminya tersebut, Sukarno memandang perlunya “Ketuhanan yang berkebudayaan”. Maksudnya adalah agar hendaknya negara Indonesia menjadi negara yang ber-Tuhan, yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya masing-masing dengan cara yang leluasa, namun dengan tiada “egoisme agama” serta mengamalkan agama secara beradab dan saling menghormati satu sama lain.
Baca juga: Sukarno di Simpang Jalan Revolusi
Nasionalisme Sukarno berjalan selaras dan beriringan dengan nilai-nilai spiritualisme Islam pembaru yang moderat dan progresif. Nasionalisme Sukarno juga menjunjung tinggi nilai-nilai gotong royong, semangat solidaritas kemanusiaan, dan prinsip-prinsip keadilan sosial. Pesona Sukarno dan nasionalismenya yang seperti itu telah menginspirasi negara-negara lain hingga menghadirkan pengakuan internasional terhadap sosoknya.
Sukarno menjadi tokoh dunia yang diakui dan dikenang membangun solidaritas khususnya di antara sesama pemimpin negara-negara Asia dan Afrika yang pada masa itu sedang bergulat memperjuangkan kemerdekaan negaranya melawan kolonialisme. Sukarno pula yang menggugah semangat kerja sama antarnegara di kawasan yang baru merdeka tersebut dengan menginisiasi dan menyediakan Indonesia sebagai tuan rumah Konferensi Asia-Afrika untuk mereka. Penganugerahan nama Sukarno sebagai nama jalan protokol di ibu kota beberapa negara Asia dan Afrika merupakan wujud pengakuan serta dalam rangka mengenang peranan besar Sukarno dalam mendukung kemerdekaan negara tersebut.
Identitas Keislaman
Islam sebagai identitas melekat pada diri Sukarno dan berjalan beriringan dengan nasionalisme yang diyakininya. Sukarno yang seorang muslim dengan keindonesiaan dan paham nasionalismenya terbawa terus dalam gerak langkah sepanjang lintasan hidupnya. Beberapa misalnya tertinggal pada jejak masjid-masjid yang didirikan olehnya maupun yang sekadar dikunjungi yang masih ada dan berdiri hingga kini, mulai dari daerah pengasingan tempat pembuangannya oleh pemerintah kolonial Belanda, dalam lawatannya ke daerah-daerah di Indonesia hingga ke berbagai negara yang pernah dikunjunginya.
Terlepas dari berbagai kontroversi, terutama di pengujung masa kekuasaannya yang dinodai oleh peristiwa berdarah 1965, identitas keislaman Sukarno tidak bisa serta merta begitu saja tercerabut dari sosoknya. Pada April 1965, di tengah pemberlakuan sistem demokrasi terpimpin serta dicetuskannya konsep Nasakom oleh Sukarno, ia masih dianugerahi bintang Muhammadiyah atas jasa-jasanya kepada organisasi massa Islam tersebut. Pada bulan Maret tahun yang sama pula, Sukarno juga dinobatkan sebagai Pejuang Kemerdekaan dan Pahlawan Islam oleh para peserta Konferensi Islam Asia Afrika yang diselenggarakan di Bandung serta dihadiri 33 negara peserta dan empat negara peninjau.
Baca juga: Orang Afrika: Mengapa Sukarno Disingkirkan?
NU juga pada tahun 1954 pernah menganugerahi Sukarno sebagai Presiden Republik Indonesia dengan gelar Waliyyul Amri Addharuri Bisyaukah. Gelar tersebut bermakna pemimpin bangsa di masa darurat yang wajib dipatuhi perintahnya sebagaimana diatur di dalam syariat Islam. Gelar ini diberikan NU untuk mengakhiri dualisme kepemimpinan nasional antara Kartosoewirjo yang mengangkat dirinya sebagai imam umat Islam dengan gerakan DI/TII berhadapan dengan Sukarno sebagai presiden. Gelar tersebut tidak pernah dicabut oleh NU hingga saat ini.
Bahkan menjelang wafatnya, Sukarno masih sempat berwasiat agar saat ia meninggal, Buya Hamka menjadi imam salat jenazahnya. Padahal hubungan Hamka dengan Sukarno sempat meregang seiring tuduhan PKI bahwa Hamka telah bertindak subversif. Permintaan menjadi imam salat jenazah Sukarno pun dipenuhi dengan baik oleh Hamka.
Isu Komunisme
Pada Februari 1956 Sukarno mencetuskan gagasan konsep politik Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom) sebagai landasan demokrasi terpimpin yang diusulkannya untuk menggantikan demokrasi parlementer yang berlaku saat itu. Konsep Nasakom membuat komunisme mulai dilekatkan pada sosok Sukarno. Pada masa Orde Baru hal ini merasionalisasi tuduhan bahwa Sukarno adalah seorang komunis.
Padahal gagasan Nasakom telah menjadi pemikiran Sukarno sejak tahun 1926. Ini merujuk pada rangkaian tulisannya yang berjudul Nasionalisme, Islam, dan Marxisme di majalah politik Soeloeh Indonesia Moeda. Komunisme pada Nasakom menurut Sukarno, yang bisa dirujuk pada beberapa sumber terpercaya, merupakan sosialisme karena berlandaskan keadilan sosial yang juga menjadi dasar Marxisme yang telah ditulisnya pada 1926 tersebut.
Baca juga: Sukarno yang (Di)Kalah(kan) Total
Terlepas dari setuju atau tidak dengan konsep Nasakom, sesungguhnya Sukarno menjadikan Nasakom lebih sebagai konsep dan interpretasi operasional, bukan sebagai konsep ideologis. Oleh Sukarno Nasakom tidak mengantikan Pancasila sebagai dasar negara. Ia lebih merupakan semacam sinkretisme politik Sukarno untuk menyatukan tiga kubu kekuatan besar politik riil, yaitu kubu nasionalis, kubu Islamis, dan kubu komunis yang ketika itu eksis dan partainya belum ditetapkan sebagai partai terlarang.
Lawan politik saat itu paling jauh menuduh manuver Sukarno dengan Nasakomnya hanya sebagai taktik politik semata untuk semakin memperkuat dan menumpuk kekuasaan di tangannya. Tidak terpikirkan mencitrakan Sukarno seorang komunis. Ketegasan Sukarno bahwa dia bukanlah komunis juga didasari pernyataannya kepada rakyat Indonesia, “Pilih Sukarno atau Musso?” ketika mengatasi pemberontakan komunis yang dipimpin Musso pada 1948. Ketegasan bahwa Sukarno bukan komunis juga tercantum pada biografinya yang ditulis oleh Cindy Adams. Oleh karenanya tuduhan yang mulai diembuskan pada masa Orde Baru bahwa Sukarno seorang komunis adalah terlalu jauh dan tidak berdasar.
Isu komunisme ini sampai sekarang secara tidak fair terus dilekatkan kepada sosok Sukarno dan menghantui PDI Perjuangan sebagai partai penerus ideologi nasionalisme dari PNI besutan Sukarno. Tujuannya lebih untuk membangun stigma dan menciptakan ketakutan tak rasional serta untuk terus meningkatkan sentimen negatif publik terhadap Sukarno dan PDI Perjuangan. Ini sebenarnya sama dengan digunakannya isu dan stigma terorisme yang hingga saat ini menghantui kelompok Islam politik serta seringkali dilekatkan secara sembrono oleh lawan-lawan politik kepada mereka.
Pembiaran akan kondisi seperti ini tentu akan membuat iklim kompetisi politik yang tidak sehat, jauh dari perdebatan gagasan dan ide-ide substantif yang relevan serta semakin tidak rasional. Stigmatisasi dan pembunuhan karakter lawan politik mestinya semakin tidak relevan karena cenderung membodohi publik. Jika hal ini terus dipelihara, maka pada gilirannya akan menggerus kualitas berdemokrasi kita.
Memperingati bulan Juni sebagai Bulan Bung Karno selayaknya dijadikan momentum untuk mulai membangun iklim politik yang tidak sekadar prosedural. Saling menyerang lawan politik mestinya akan semakin elegan melalui perdebatan yang argumentatif dan mencerdaskan, selayaknya perdebatan yang pernah terjadi di antara para tokoh pergerakan pendiri Republik ini.
Selamat merayakan dan memperingati bulan Juni sebagai Bulan Bung Karno kepada segenap bangsa Indonesia.
Merdeka!
Penulis adalah aktivis mahasiswa ‘98, politikus muslim, dan direktur eksekutif Narasi Institute.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar