Soeharto Nomor Tiga, Lembaga Survei Ditutup
Presiden Soeharto ditempatkan pada nomor tiga dalam kuesioner, pewawancara dan responden ditangkap dan diinterogasi kejaksaan. Lembaga survei ditutup dan direkturnya diusir dari Indonesia.
“SEKARANG kami mohon sudilah Bapak memberi penilaian pada beberapa orang yang terhormat sebagai berikut tentang sifat-sifatnya dalam menjalankan kepemimpinan mereka, menilai pejabat tinggi tersebut dari 1 sampai 10. Dengan catatan 1 terendah dan 10 tertinggi.”
Pertanyaan nomor 38 dalam kuesioner itu menjadi masalah bagi PT SUBURI, lembaga survei pertama di Indonesia.
Menurut Daniel Dhakidae dalam Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, kesempatan mendirikan lembaga riset di Indonesia kian terbuka dengan dibukanya Indonesia bagi modal asing pada 1967. Salah satu jenis modal asing adalah modal yang ditanam dalam kegiatan penelitian di Indonesia. Perusahaan itu didirikan dalam bentuk suatu perseroan terbatas, yaitu Survey and Business Research Indonesia (SUBURI).
SUBURI terkait dengan Asian Survey International (ASI) di Hong Kong. Kemunculan lembaga riset asing ini disambut baik oleh Sjarif Thajeb, mantan duta besar Indonesia untuk AS. Dalam notanya, Sjarif yang menjabat wakil ketua DPR-GR, menyebut SUBURI masuk ke Indonesia atas anjurannya. SUBURI diharapkan dapat membantu DPR-GR dalam mengadakan opinion polling atau poling pendapat umum.
“Malah dalam notanya kepada Prof. Sadli (ketua panitia Penanaman Modal Asing, red.), Sjarif Thajeb menanyakan bisakah kiranya diberikan kepada SUBURI fasilitas tax holiday dan pembebasan bea masuk untuk peralatan yang mereka datangkan ke Indonesia,” tulis Tempo, 1 Juli 1972.
Sjarif Thajeb mendukung SUBURI karena Indonesia pada kurun waktu tahun 1968–1970 belum memiliki dana, keahlian, dan lembaga dalam negeri yang memadai untuk melakukan opinion polling. SUBURI diharapkan dapat merangsang pertumbuhan lembaga riset di tanah air.
Sejak awal kemunculannya, SUBURI mendapat banyak proyek penelitian. Survei yang dilakukan SUBURI beragam, dari pemasaran hingga politik. Mengutip Jajak Pendapat dan Pemilu di Indonesia: Kinerja Lembaga Jajak Pendapat dalam Meramal Hasil Pemilu 1999–2004, terbitan Japan International for Cooperation Agency (JICA) dan Lembaga Survei Indonesia (LSI), SUBURI pernah mendapat kontrak penelitian tentang perbaikan kampung dari pemerintah daerah Jakarta, mengenai TVRI dari departemen penerangan, serta pendidikan dan keluarga berencana dari pemerintah. SUBURI juga pernah membuat Pre Election Survey (PES) dengan dana dari Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) tahun 1969.
SUBURI juga pernah membantu Dinas Penerangan AS (USIS) melakukan survei pendapat pendengar radio Suara Amerika, dan survei tentang bacaan berbahasa Inggris yang dikeluarkan oleh USIS.
Pada 1972, SUBURI mengadakan riset pemasaran di sejumlah wilayah di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jakarta. Terdapat 53 pertanyaan dalam survei yang diajukan kepada responden. Namun, pertanyaan nomor 38 menimbulkan masalah bagi SUBURI.
Majalah Tempo, edisi 15/02 tanggal 17 Juni 1972, melaporkan bahwa pertanyaan itu berisi permintaan agar para responden memberi penilaian kepada beberapa tokoh penting berkenaan dengan sifat-sifat mereka dalam menjalankan kepemimpinan. Dalam daftar tokoh-tokoh penting itu tercantum delapan nama, dengan urutan 1. Gubernur Jawa Barat Solihin GP; 2. Sri Sultan Hamengku Buwono IX; 3. Presiden Soeharto; 4. Jenderal Nasution; 5. Gubernur Jakarta Ali Sadikin; 6. Menteri Luar Negeri Adam Malik; 7. Dirut PN Pertamina Ibnu Sutowo; dan 8. Menteri Perdagangan Sumitro Djojohadikusumo.
Penempatan nama Presiden Soeharto di urutan ketiga dalam kuesioner itu menjadi persoalan. SUBURI berdalih penyusunan nama para tokoh penting itu semata-mata untuk keobjektifan, sehingga responden tidak memberikan jawaban karena ditentukan oleh posisi dan kekuasaan tetapi karena pilihannya sendiri.
Baca juga: Refleksi Intelektualitas Daniel Dhakidae
Daniel Dhakidae menceritakan, ketika kuesioner itu diedarkan di Jawa Tengah, seorang pejabat kantor Pemerintah Daerah Semarang membaca urutan dan “patriotismenya” tergetar ketika melihat presiden ditempatkan sebagai orang “nomor tiga” dalam kuesioner. Ia melaporkannya kepada dinas yang berhubungan dengan penelitian. Imbas dari pelaporan itu, 13 orang pewawancara ditangkap dan diiterogasi kantor Kejaksaan Tinggi Semarang. Project officer penelitian juga ditangkap. Tak hanya itu, rumah tangga yang dikunjungi pewawancara pun diinterogasi kejaksaan.
Kejaksaan Agung mengambil keputusan menutup sementara PT SUBURI dan melarangnya melakukan riset di seluruh wilayah Indonesia. Departemen Dalam Negeri yang mengambil alih persoalan menuduh SUBURI menjalankan tindakan subversif. “Perhatian mulai diarahkan kepada kemungkinan campur-tangan antar-lembaga negara. Apakah ada lembaga negara yang ikut memesan riset tersebut? Jawaban SUBURI mengatakan salah satu lembaga tinggi negara ikut membiayai riset tersebut,” tulis Daniel.
Baca juga: Survei SMRC: Stigma PKI Masih Membayangi
Dengan dalih membela presiden yang ditempatkan diurutan “nomor tiga”, pemerintah bergerak cepat mencari lembaga negara yang membiayai riset tersebut. Akhirnya, pemerintah mengambil keputusan Direktur SUBURI John di Gregorio, seorang warga negara AS keturunan Italia, dinyatakan persona non grata, suatu keputusan paling keras terhadap warga negara asing, dan harus meninggalkan wilayah Indonesia dalam tempo 24 jam pada 3 Oktober 1972.
SUBURI, yang dituding melakukan kegiatan subversif, ditutup dan izin operasinya dicabut. Selepas peristiwa SUBURI, izin melakukan survei diperketat. Setiap penelitian harus seizin gubernur dan Laksus Kopkamtibda (Pelaksana Khusus Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah). Sebelum izin keluar, Laksus Kopkamtibda akan meneliti terlebih dahulu kegiatan penelitian dan instrumen yang dipakai. Aturan ini berlaku selama masa Orde Baru.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar