Soeharto Menutup Pintu Rezeki Korban 1965
Kekejaman Soeharto pada korban Perisitwa 1965 tak sebatas memenjarakan tanpa pengadilan. Pintu rezeki para korban dan keluarga juga ditutupnya.
TANPA mempedulikan bahaya yang bisa menghinggapinya dan stigma yang bakal melekatinya, Anna Frederica Lambaihang berangkat ke Kamp Bukit Duri seorang diri dari rumahnya di Jalan Pramuka, Jakarta. Beberapa pakaian bersih dan rantang berisi makanan dia bawa untuk diberikan kepada orang yang akan dijenguknya.
Charlotta Salawati, populer sebagai Salawati Daud, orang yang dijenguk Anna merupakan mertuanya. Dia ditahan karena merupakan anggota DPR dari Fraksi PKI sekaligus anggota Gerwani. Ketika Westerling membantai penduduk Sulawesi Selatan, Charlotta menjabat sebagai walikota Makassar.
Anna merupakan satu-satunya anggota keluarga yang berani menjenguk Charlotta. Tiap datang, Anna membawakan ikan asin dan tahu yang slusupi cabai supaya tidak ketahuan lantaran ada larangan membawa makanan berbahan cabai.
Tak seperti Anna, Sukarno Salawati, suami Anna, tak berani menjenguk ibunya lantaran punya marga yang sama. Dia takut diseret ke bui juga. Ketakutan pihak keluarga untuk mengunjungi para tapol juga dialami di Kamp Plantungan. Meski diberi kesempatan untuk mengunjungi sanak saudara yang ditahan, mayoritas memilih tidak menggunakan kesempatan itu. Mereka lebih memilih untuk melindungi keluarga dari kejaran petugas. Trauma penangkapan dan pembantaian semena-mena oleh aparat Orde Baru masih kuat terasa di benak para keluarga tapol.
Salah satu tapol yang enggan dikunjungi keluarganya adalah dokter Sumiyarsih Siwirni, yang dijuluki dokter Lubang Buaya. Sebelum tertangkap, dia merupakan anggota dewan eksekutif Himpunan Sarjana Indonesia (HSI), organsasi yang dianggap berafiliasi dengan PKI.
Sumiyarsih sebetulnya tak ingin bertemu anaknya selama di penjara karena khawatir bila anaknya ketahuan berkunjung ke Kamp Plantungan akan ikut ditangkap petugas. Namun, rasa rindu anak-ibu pada diri Sumiyarsih tak bisa ditahan. Alhasil, dia bersiasat dengan cara meminta anaknya menjadi salah satu pasien yang akan berobat padanya. Sumiyarsih memang sering dimintai tolong mengobati warga desa sekitar kamp yang sakit.
Sandiwara dokter-pasien yang dimainkan Sumiyarsih dan anaknya berhasil. Sumiyarsih pura-pura tak kenal anak kandungnya. Kegembiraan melepas rindu pun harus ditahannya agar tak dicurigai petugas. Ketakutan mereka bukan tanpa dasar. Orde Baru secara sistematis memburu semua orang yang diduga dekat dengan PKI, termasuk keluarga.
Orde Baru juga menutup pintu rezeki para keluarga eks-tapol. Hal itu antara lain dialami Anggrita Sallestyani, cucu Profesor Purbodiningrat (anggota DPRD Yogyakarta dari Fraksi PKI). Meski kakeknya meninggal setahun sebelum pembantaian terjadi, dia amat ketakutan pada suasana pasca-Peristiwa 1965.
“Anak-anaknya diplocoti. Untuk masuk ke departemen atau pemerintahan, peluangnya jadi ditutup karena ada surat keterangan bersih dari PKI. Kami tidak bisa melawan. Selama 32 tahun itu kami tidak bisa menjadi pegawai negeri,” kata Anggrita. Beruntung, pihak swasta tak mempermasalahkan itu sehingga kebanyakan sanak saudaranya pun bekerja di perusahaan swasta.
Hal serupa juga menimpa keluarga Charlotta. Sebagian keluarganya terpaksa mengganti nama marga Salawati menjadi Salawaty karena takut hidupnya direcoki penguasa Orde Baru. Sukarno anak Charlotta saja tak diizinkan meluluskan pendidikannya di UI yang tinggal skripsi. “Ayah saya tadinya sudah diploma di Universitas Hasanuddin lalu lanjut S1 di UI jurusan Jurnalistik. Tidak bisa lulus karena tak boleh menulis skripsi,” kata Paulus Salawati, cucu Charlotta ketika ditemui Historia di rumahnya.
Sebagai pegawai Radio Republik Indonesia, Sukarno pernah hampir dikeluarkan dari pekerjaanya. Beruntung, beberapa kawan baiknya membela Sukarno. Namun meski bertahan, Sukarno tidak pernah menerima kenaikan pangkat dan gaji selama 18 tahun meski dia harus menghidupi enam anaknya.
Ketika Charlotta keluar dari Bukit Duri, akhir 1970-an, pun Sukarno tak berani menjemput ibunya. Annalah yang menjemput Charlotta. Selepas dari tahanan, Charlotta tak menerima uang pensiun. Meski sempat berikhtiar dengan menanyakan uang pensiunnya, Charlotta malah mendapat kabar buruk yang membuat mentalnya jatuh: selama Soeharto masih menjabat, Charlotta tak akan mendapat uang pensiun.
Charlotta, yang hanya ingin menggunakan uang pensiun untuk kembali ke Makassar, tak pernah mendapatkan keinginan itu hingga ajal menjemputnya. “Kami ingin memindahkan makam ibu dan oma (Charlotta) karena itu keinginan terakhir oma kami,” kata Karel Adolf Salawati, cucu Charlotta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar