Soeharto Ingin Bangun Pabrik Senjata Buatan Amerika
Keinginan Presiden Soeharto untuk membangun pabrik senjata M16 tidak dikabulkan Presiden Amerika Serikat Richard Nixon.
PRESIDEN Amerika Serikat Richard Nixon mengadakan kunjungan kenegaraan ke Indonesia pada 27-28 Juli 1969. Dua hari sebelumnya, Nixon mendeklarasikan Doktrin Guam atau Doktrin Nixon. Doktrin tersebut menyerukan kepada negara-negara Asia untuk meningkatkan pertahanannya sehubungan dengan penarikan pasukan Amerika Serikat dari Vietnam.
Doktrin Guam sejalan dengan kebijakan Indonesia bahwa negara-negara Asia Tenggara bertanggungjawab atas keamanan dan pertahanannya sendiri. Untuk itu, Indonesia menekankan perlunya bantuan luar negeri yang luas untuk menutupi kelemahan militer negara-negara di kawasan ini.
Jenderal TNI Soemitro mengatakan bahwa Presiden Soeharto mempergunakan kesempatan bertemu dengan Presiden Nixon untuk membicarakan kemungkinan Indonesia memiliki pabrik senjata sendiri, terutama small arms, dan yang dituju adalah pabrik senjata senapan serbu M16.
“Maka kemudian selaku Wapangkopkamtib saya diberi tugas untuk mengurus pembelian pabrik senjata itu,” kata Soemitro dalam biografinya, Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib.
Pada Juni 1970, Jenderal TNI Soemitro bersama Brigjen TNI Sugeng Djarot dan Brigjen TNI Widya Latief berangkat ke Amerika Serikat untuk meminta bantuan militer, enam pesawat Hercules C-130, dan pendirian pabrik senjata M16.
Untuk meyakinkan Amerika Serikat, sebagai bentuk kontribusi dalam keamanan dan pertahanan di kawasan Asia Tenggara, Indonesia akan membantu Republik Kamboja dalam melawan komunis Khmer Merah.
“Menteri Sekretaris Negara Alamsjah Ratu Perwiranegara mengatakan kepada Henry Kissinger bahwa Indonesia mempersiapkan pengiriman senjata ke Kamboja untuk mempersenjatai 10 batalion,” tulis Kenton Clymer dalam The United States and Cambodia 1969-2000: A Troubled Relationship.
Sesampainya di Washington DC, Soemitro bertemu Henry Kissinger, penasihat keamanan nasional, didampingi pembantunya Jenderal Alexander Haig dan Jenderal John H. Holdridge. Kissinger menyarankan agar Soemitro bicara langsung dengan Presiden Nixon yang sedang berada di tempat peristirahatannya di Camp David. Soemitro dan dua koleganya diterbangkan ke Los Angeles, untuk menemui Nixon.
“Dalam pembicaraan itu Presiden Nixon menerangkan, bahwa untuk pemerintah Amerika Serikat sukar sekali melaksanakan penjualan pabrik senjata karena yang menjalankan usaha, baik pabrik senjata maupun penjualan produksinya adalah perusahaan swasta. Dengan berbagai alasan mereka tetap pada pendirian, bahwa mereka tidak dapat menjual pabrik senjatanya ke Indonesia,” kata Soemitro.
“Saya kembali ke Indonesia dengan tangan hampa dan memberikan laporan kepada Pak Harto bahwa kepergian saya ke Amerika Serikat tidak berbuah,” kata Soemitro.
Kendati tidak membantu enam pesawat Hercules C-130 dan pendirian pabrik senjata M16, Amerika Serikat tetap meningkatkan bantuan militer kepada Indonesia menjadi US$15 juta pada 1970 –sebelumnya US$10 juta– dan US$18 juta pada 1971. Indonesia pun tetap mengirimkan senjata berupa senapan serbu AK-47 kepada pemerintah Republik Kamboja di bawah Presiden Jenderal Lon Nol untuk memerangi Khmer Merah.
Clymer mengungkap bahwa Indonesia secara diam-diam melatih sejumlah pasukan Republik Kamboja dan baru terungkap di publik setahun kemudian (Agustus 1971). Indonesia juga diam-diam mengirim sebuah tim yang berisi lima penasihat militer yang dipimpin seorang mayor jenderal ke Kamboja. Hingga pengujung 1971, Indonesia sudah melatih 60 perwira Republik Kamboja, dan pada 1972 sempat menawarkan penambahan pelatihan untuk 200 tentara Republik Kamboja lainnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar