Soe Hok Gie, Politik, Gunung dan Puisi
Di sela kesibukannya sebagai seorang cendekiawan, dia menjalankan hobi mendaki gunung. Cara lain memperlihatkan kecintaannya kepada Indonesia.
Selembar “surat kaleng” sampai di rumah Soe Hok Gie senja itu. Isinya: permintaan agar aktivis mahasiswa UI tersebut berhenti melakukan kritik kepada pemerintah. Jika tak menuruti perintah tersebut, sang pengirim surat menjamin Hok Gie akan mati sia-sia. Mungkin itu akan terjadi di jalanan atau saat dirinya sedang lengah, ancamnya.
“Cina yang tak tahu diri, lebih baik kau pulang saja ke negerimu saja!” demikian salah satu bunyi ancaman tersebut.
Kepada sang kakak Soe Hok Djin alias Arief Budiman, Hok Gie menyatakan tak takut sedikitpun terhadap ancaman itu. Yang menjadi masalah justru dia tak jarang mengalami kebuntuan. Kendati hampir tiap waktu dia melancarkan kritik keras kepada pemerintah Orde Baru atau menelanjangi kecurangan-kecurangan yang ada di lingkungannya (UI), namun semua yang dilakukannya itu tak pernah digubris secara serius.
“Akhir-akhir ini saya selalu berpikir , apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya melakukan kritik kepada banyak orang yang menurut saya tidak benar. Makin lama makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik saya tak pernah mengubah keadaan…Apakah ini bukan sejenis onani yang konyol? Kadang-kadang saya sungguh merasa kesepian,” ungkap Hok Gie seperti ditulis Arief Budiman dalam kata pengantar buku Catatan Seorang Demosntran.
Baca juga: Curhat Soe Hok Gie Kepada Arief Budiman
Biasanya jika kebuntuan melanda, Hok Gie memilih untuk “kabur” ke gunung. Menurut sahabatnya Rudy Badil, wilayah terdekat yang kerap didatanginya adalah Mandalawangi, suatu lembah yang terletak antara Gunung Pangrango dengan Gunung Gede. Di sana pemandangannya memang sangat indah.
“Dia tidak sendiri. Biasanya ngajak gue atau kawan-kawan lainnya sesama anggota MAPALA (Mahasiswa Pencinta Alam UI),” ujar lelaki tua yang mangkat pada 11 Juli 2019 itu.
Soe Hok Gie dan gunung memang sulit dipisahkan. Sejak mendirikan MAPALA bersama kawan-kawannya di Fakultas Sastra UI pada 12 Desember 1964, Hok Gie terbilang sering mengorganisasi kegiatan pendakian ke berbagai gunung tinggi di Pulau Jawa. Selain Gunung Gede, Gunung Pangrango dan Gunung Salak, Hok Gie pun tercatat pernah singgah di puncak Gunung Lawu, Gunung Merapi, Gunung Sindoro, Gunung Slamet dan Gunung Semeru. Puncak Gunung Semeru malah menjadi tempat terakhir Hok Gie menghembuskan nafasnya.
“Ya kalau di tahun 1960-an, pernah menaiki puncak gunung-gunung itu sudah bisa dikatakan prestasi yang hebat,” ungkap almarhum Rudy Badil dalam suatu wawancara dengan saya empat tahun yang lalu.
Secara pribadi, Hok Gie sendiri memandang kegiatan naik gunung merupakan kegiatan yang “ideologis”. Hal itu dikatakannya saat dia menulis sebuah artikel berseri di surat kabar Kompas pada 14-18 September 1967 berjudul “Menaklukan Gunung Slamet”. Diceritakan Hok Gie, setiap meminta sumbangan kepada para donatur pendakian tersebut, mereka selalu menjelaskan apa yang menjadi tujuan sebenarnya dari kegiatan mereka mendaki gunung:
“Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrasi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal akan obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat…Karena itulah kami naik gunung…”
Dalam artikel itu diceritakan soal perkenalan Hok Gie dan kawan-kawannya dengan seorang pemuda desa di kaki Gunung Slamet. Dalam obrolan akrab mereka, sang pemuda menanyakan tentang Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan situasi politik di Jakarta. Maka terjadilah diskusi yang menarik di antara anak-anak muda itu.
Baca juga: Pembantaian di Bali dan Protes Soe Hok Gie
Hok Gie memberikan penjelasan apa adanya. Dia menyatakan tanpa ragu bahwa Sukarno telah banyak menyengsarakan rakyat. Tetapi kata Hok Gie, itu tidak berarti bahwa para penentang Sukarno seperti sebagian aktivis KAMI, secara otomatis adalah pahlawan pembela rakyat.
“Banyak di antara mereka juga adalah bajingan-bajingan dan oportunis,” ujar Soe Hok Gie.
Saat mencapai puncak Gunung Slamet, Hok Gie dan kawan-kawan menemukan pemandangan yang sangat memukau: kawah yang mengepulkan asap belerang kuning kehijau-hijauan dan pasir-pasir vulkanik yang menghampar. Di pasir itu pula mereka menemukan batu-batu yang berjajar rapi dan membentuk nama-nama organisasi serta pribadi yang pernah mencapai tempat tersebut.
Mereka pun melihat di antara tulisan-tulisan itu ada suatu deretan batu yang membentuk kalimat “Aku Pendukung Sukarno”. Merasa geram, beberapa kawan Hok Gie bermaksud untuk menghapusnya. Namun upaya itu dicegah oleh Hok Gie sendiri.
“Saya katakan bahwa kita harus menghormati the right of dissent. Dan setiap orang berhak untuk setuju ataupun tidak setuju dengan Sukarno,” ujar Hok Gie.
Gunung pun menjadi tempat perenungan pribadi bagi Soe Hok Gie. Tak jarang perenungan-perenungan itu diejawantahkannya dalam berbait-bait puisi. Salah satu puisi hasil perenungannya yang begitu romantik berjudul Mandalawangi-Pangrango yang dia tulis pada 19 Juli 1966, ketika demonstrasi-demonstrasi mahasiswa menentang Presiden Sukarno sedang marak-maraknya di Indonesia.
Senja ini...
Ketika matahari turun
Ke dalam jurang-jurangmu
Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu
Dan dalam dinginmu
Walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku
Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
Malam itu ketika dingin dan kebisuan
Menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
“hidup adalah soal keberanian,
Menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa menawar
Terimalah, dan hadapilah”
Dan antara ransel-ransel kosong
Dan api unggun yang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas-batas hutanmu
Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup
Hari-hari terakhir menjelang kematiannya di atas Puncak Semeru, Hok Gie pun terbilang sangat aktif membicarakan sejarah kaum tertindas kepada kawan-kawannya. Rudy Badil masih ingat bagaimana pada suatu malam secara tiba-tiba, Hok Gie melengkingkan suara fales-nya saat mereka duduk berkerumun di depan api ungun. Dia melantunkan lagu We Shall Not Be Moved-nya The Seekers.
“Lu tau gak, lagu ini dinyanyikan oleh para demonstran penentang Perang Vietnam di Columbia University pada 1968…” tuturnya setelah usai menyanyikan lagu tersebut.
Baca juga: Soe Hok Gie dan Tentara
Bisa jadi kegembiraan Hok Gie menjelang kematiannya merupakan ekspresi terbuka dari kejenuhannya selama dia menjadi dosen di Fakultas Sastra UI. Selepas lulus dari Jurusan Sejarah FSUI, rutinitas mengajar dan rapat antar dosen adalah kesehariannya dan itu membuatnya merasa “seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang”.
“Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras…Diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil,” katanya dalam satu catatan hariannya yang dinukil oleh Luki Bekti dalam buku Soe Hok Gie…Sekali Lagi.
Hok Gie pada akhirnya mendapatkan semua itu. Di Puncak Semeru, setelah dia memungut sehelai daun pinus kering untuk dibawanya pulang ke Jakarta, maut pun mengajaknya pergi. Seolah menggenapi kata-katanya dalam suatu surat panjang kepada seorang sahabatnya:
“Orang-orang seperti kita ini, tidak pantas mati di tempat tidur…”
Baca juga: Jalan Seorang Arief Budiman
Tambahkan komentar
Belum ada komentar