Sikap Soekarno Terhadap Utang IMF
Upaya Soekarno mencari jalan tengah persoalan ekonomi dalam negeri. Dihadapkan pada pilihan antara intervensionisme atau liberalisme.
DALAM kaitannya soal stabilisasi ekonomi di bawah kerjasama dengan IMF, Soekarno sendiri tetap tidak bisa diyakinkan. Dia meragukan perlunya mengambil langkah-langkah moneter untuk menurunkan inflasi. Soekarno lebih suka memobilisasi rakyat untuk meningkatkan produksi dan swasembada.
Namun, setelah penyelesaian Irian Barat, Soekarno menyatakan Indonesia akan mengalihkan perhatian pada pekerjaan besar yang belum selesai untuk meningkatkan produksi. Soekarno baru memberikan dukungan penting bagi upaya stabilisasi ketika pada 28 Februari mengumumkan bahwa anggaran tahun 1963 akan “mencerminkan usaha menuju stabilisasi ekonomi dan keuangan nasional.”
Baca juga: Awal mula Indonesia menjadi pasien IMF
Dengan persetujuan Soekarno atas stabilisasi, Sutikno Slamet kembali ke Washington untuk memulai negosiasi. Sutikno menyadari lemahnya dukungan politik di Indonesia terhadap langkah-langkah IMF dan bertekad menegosiasikan tawaran seketat mungkin untuk meredam protes di dalam negeri.
“Utusan Indonesia (Sutikno) berharap dapat menerima bantuan pinjaman stabilisasi sebesar US$82,5 juta dari IMF,” tulis Bradley R. Simpson dalam Economist with Guns.
Pada 28 Maret 1963, Soekarno mengeluarkan Deklarasi Ekonomi (Dekon). Apa yang disebut Manifesto Politik Perekonomian Soekarno ini merupakan tuntutan akan pembangunan yang diprakarsai negara dengan bantuan sebagian dari modal dalam negeri dan internasional. Tetapi deklarasi ini samar-samar sehingga baik penentang maupun pendukung stabilisasi menggunakannya untuk menjustifikasi posisi masing-masing.
Menurut Rex Mortimer dalam Indonesian Communism Under Sukarno, Soekarno masih berusaha mengikuti jalan tengah antara intervensionisme dan liberalisme sehingga memberi rasa aman bagi semua pihak.
Baca juga: Amerika Serikat gunakan IMF untuk mempengaruhi politik Indonesia
Sementara itu, Djuanda mengeluarkan serangkaian langkah yang dikenal dengan Regulasi 26 Mei 1963, untuk menunjukkan komitmen Indonesia melakukan restrukturisasi ekonomi sesuai haluan yang digariskan IMF dan kreditur barat.
Dibandingkan Dekon yang lunak, tulis Mortimer, Regulasi 26 Mei sebagai penginstalasian pertama kali program stabilisasi IMF menyediakan dosis kuat liberalisme ekonomi, yaitu penghentian kontrol negara pada harga dan subsidi, penghapusan pajak ekspor, penyederhanaan nilai tukar, pemanfaatan cadangan devisa untuk program impor keperluan industri, pengetatan fiskal termasuk pemotongan anggaran, pengetatan pemberian kredit untuk membatasi persediaan uang, menaikkan pensiun dan gaji pegawai negeri untuk mengimbangi kenaikan harga.
Baca juga: Utang pada IMF, Aidit tuduh pemerintah bertekuk lutut pada asing
Menurut Djuanda dalam Keterangan-keterangan Pemerintah mengenai soal-soal pelaksanaan Deklarasi Ekonomi, usaha-usaha mencari pinjaman, termasuk dari IMF, dibenarkan oleh Dekon.
“Kalau tidak salah kita sudah beberapa kali, tiga, empat kali mengadakan pinjaman dari IMF, selama kita menjadi anggota sejak permulaan tahun 1950 kita sudah sering meminjam uang dari IMF dan sudah melunasinya,” kata Djuanda. “Jadi kalau sekarang kita melakukan usaha pinjaman dari IMF itu bukan pertama kali, tetapi saya rasa itu memang hak kita sebagai anggota IMF untuk minta pinjaman. Itu bukan soal minta-minta, kita berhak untuk mengusahakan pinjaman dari IMF.”
Persoalan utang ini terus menyeret kontroversi yang tiada berkesudahan. Sampai akhirnya Presiden Soekarno memutuskan untuk keluar dari IMF.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar