Seabad First Lady Fatmawati
Fatmawati menjahit Bendera Pusaka Merah Putih dalam kondisi hamil tua. Ia menjadi first lady pada masa revolusi kemerdekaan.
Seabad lalu, 5 Februari 1923, Fatmawati lahir dengan nama Fatimah dari pasangan Hasan Din dan Siti Chadijah. Walaupun ia seorang wanita biasa dari suatu desa di Bengkulu, tapi ia memiliki semangat yang tinggi. Dimulai sejak remaja, ia sudah terjun ke masyarakat. Ia berkumpul bersama kaum wanita; remaja, anak-anak muda, dan ibu-ibu dari organisasi wanita Aisyiyah, karena ayahnya adalah pendiri Muhammadiyah di Bengkulu.
Fatmawati suka mambaca buku terutama buku-buku sejarah perjuangan wanita. Ia juga pernah menjadi guru pada masa pendudukan Jepang. Setelah hubungan penguasa Jepang dengan Muhammadiyah membaik, berkat usaha seorang Tionghoa muslim, Abdul Karim Oei Tjeng Hien, Fatmawati mengajar di sekolah Muallimat Muhammadiyah yang terletak tidak jauh dari rumahnya.
“Yang paling menonjol kesederhanannya, kepintarannya mengajar sejarah dan mengaji, suaranya sangat merdu sekali,” kata Hildawati Maulana Singedekane Hasan Din, adik Fatmawati, dalam acara “Fatmawati Ibu Negara Pejuang dan Sang Penjahit Merah Putih” yang diselenggarakan PDI Perjuangan pada Minggu, 5 Februari 2023.
Baca juga: Sukarno Cemas Bu Fat Hilang di Cipanas
Hildawati mengatakan, Fatmawati dengan caranya sendiri melakukan kegiatan-kegiatan sosial. Saat itu, kegiatannya belum terbayang untuk bangsa dan negara, tapi untuk kaum wanita dan anak-anak di Bengkulu. Ia membuat dapur umum untuk menyediakan makanan bagi anak-anak yang kekurangan gizi dan memberi makan para pejuang.
“Ibu Fat berusaha mengasih makan walaupun duitnya dari mana, kita tidak tahu, pokoknya ada saja Ibu Fat kerjanya, sampai jualan-jualan, seperti jualan kue [untuk dana kegiatan sosial],” kata Hildawati. “Itu perjuangan awalnya, sampai ia pindah ke Jakarta menikah dengan Bung Karno.”
Fatmawati bertemu dengan Sukarno pada 1938 yang diasingkan ke Bengkulu oleh pemerintah kolonial Belanda. Sukarno mengajar di sekolah Muhammadiyah yang dikelola Hasan Din. Salah satu muridnya adalah Fatmawati. Fatmawati kemudian menyusul ke Jakarta dan menikah dengan Sukarno pada 1943.
“Sesudah itu kita tahu sendiri, perjuangannya lain lagi di Jakarta, mengikuti Bung Karno. Salah satunya waktu beliau menjahit sendiri Sang Saka Merah Putih ketika mengandung Mas Guntur,” kata Hildawati.
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan, Fatmawati berperan besar dalam menggelorakan semangat nasionalisme dan mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Seperti diketahui, saat Sukarno dan Mohammad Hatta dibawa para pemuda ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945, Fatmawati bersama putranya Guntur yang belum genap setahun turut serta mendampingi sang suami.
“Di dalam pendampingan Bu Fat terhadap Bung Karno hingga beliau dikenal sebagai ibu negara pejuang, sang penjahit Merah Putih itu kita lihat hanya bisa dilakukan dengan sikap totalitas di dalam berdedikasi bagi bangsa dan negara,” kata Hasto.
Setelah Indonesia merdeka, Sukarno menjadi presiden dan Fatmawati menjadi ibu negara pertama. Fatmawati tampil sebagai istri kepala negara dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Putri Fatmawati yang juga presiden kelima, Megawati Soekarnoputri mengenang perjuangan ibunda pada masa perang kemerdekaan. Ketika keadaan negara tidak aman di Jakarta, Sukarno dan para pemimpin lainnya keluar dari ibu kota dan pindah ke Yogyakarta pada awal tahun 1946.
“Ibu Fatmawati membuka dapur umum, lalu belanja sendiri ke pasar memakai andong. Beliau juga ikut mendengarkan rapat, lalu bertemu dengan pejuang-pejuang perempuan,” kata Megawati.
Baca juga: Membesuk Sejarah Rumah Sakit Fatmawati
Hal senada dikatakan Halida Hatta, putri Mohammad Hatta, bahwa Fatmawati berperan besar dalam periode perjuangan mempertahankan kemerdekaan. “Kehadiran Ibu Fatmawati banyak ketika periode-periode yang sangat sulit tahun 45–49, dan sesudahnya tahun 1955 ketika Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang pertama, di situ memang peran ibu sebagai first lady lebih kelihatan,” kata Halida.
Kesibukan Fatmawati sebagai ibu negara yang memiliki beragam kegiatan tak membuatnya lupa mengurus keluarga. Menurut Megawati, Ibu Fatmawati tak melupakan tugasnya sebagai seorang istri dan ibu. “Saya ingat beliau masih tetap memasak untuk Bung Karno, lalu menyiapkan tentunya bagi kami anak-anak,” kata Megawati.
Kemampuan Fatmawati dalam menyeimbangkan aktivitasnya baik di dalam maupun di luar rumah itu membuatnya menjadi panutan. “Bu Fatmawati selalu berpegang teguh bahwa meskipun beliau first lady, beliau adalah seorang ibu bagi putra-putrinya. Itu yang terus terang saya banyak belajar dari Ibu Fatmawati,” kata Menteri Sosial Tri Rismaharini.
Selain itu, besarnya perhatian Fatmawati kepada masyarakat membuatnya aktif dalam berbagai kegiatan sosial. Di antaranya ia memprakarsai pendirian sanatorium khusus anak yang menjadi cikal bakal Rumah Sakit Fatmawati di Jakarta.
Baca juga: Bu Fat Wafat
Fatmawati tak hanya dikenal sebagai seorang pejuang wanita, ibu lima anak itu juga dikenal sebagai sosok yang hangat dan mampu mencairkan suasana. Tak heran puluhan ribu orang mengantarkan ke peristirahatan terakhirnya. Fatmawati tutup usia pada 14 Mei 1980 di umur 57 tahun akibat serangan jantung kala singgah di Kuala Lumpur dalam perjalanan pulang dari ibadah umrah. Ia dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta Pusat.
Dalam rangka memperingati seratus tahun kelahiran Fatmawati, Megawati berharap semangat perjuangan dan nilai-nilai nasionalisme serta kemanusiaan yang digelorakan sang ibu semasa hidup dapat diturunkan untuk masyarakat di masa sekarang.
Hal senada diungkapkan oleh Hildawati. “Dalam rangka seratus tahun Ibu Fatmawati Sukarno, sudah satu abad. Saya hanya ingin menyampaikan buat kaum ibu, kaum wanita Indonesia, bisa meneruskan cita-cita dan semangat beliau untuk generasi yang akan datang,” kata Hildawati.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar