Sajak Pukulan Rotan
Hukuman bagi pelanggar peraturan kamp Digul sangat kejam. Seorang tapol diikat pada sebuah tiang lalu dipecut hingga berlumuran darah.
Suatu hari di tahun 1933. Chalid Salim tengah bertugas menginspeksi selokan bersama seorang dokter ketika seorang kopral datang menghampiri mereka. Atas perintah komandan kamp, kopral itu meminta sang dokter untuk menyaksikan pelaksanaan hukuman pukulan rotan seorang tapol. Chalid dan sang dokter pun segera pergi ke tempat eksekusi.
Di sana, seorang tapol telah ditelanjangi dengan kaki dan tangan terikat pada sebuah tiang. Hanya sepotong karung goni yang menutupi bagian kemaluannya. Namanya Idroes.
“Sungguh keji pemandangan melihat seorang kawan sebangsa diperlakukan secara nista begitu,” kenang Chalid Salam dalam Limabelas Tahun Digul.
Baca juga: Aliarcham, Buangan Paling Dihormati
Tak jelas musabab tapol itu sampai harus dihukum. Tapi, disebutkan tapol itu telah melanggar peraturan dan harus dihukum 15 kali pukulan rotan.
Sang dokter kemudian mengajukan protes terhadap hukuman yang mirip pertunjukan gaya abad pertengahan itu. Namun, peraturan tetap peraturan. Algojo yang bertugas memberi hukuman adalah seorang sersan Indo-Belanda bertubuh kekar. Menurut Chalid, sersan itu tampak dengan sukarela menjalankan tugas kejam itu. Cemeti rotan tebal pun telah disiapkannya.
“Maka sebelum kami menyadarinya, rotan itu sudah mengayun, lalu dengan kerasnya dipukulkan kepada pantat bugil si narapidana. Karena sersan itu dengan sengaja menghela rotannya, kulit si korban terkoyak di sana-sini. Dan sekalipun si korban membungkuk kesakitan, ia tidak pernah terpekik ataupun mengeram,” tulis Chalid.
Tapol yang telah berlumuran darah itu kemudian di bawa ke rumahsakit. Luka-lukanya kemudian diberi balutan dengan salep. Ia diberi sebungkus rokok meski hal ini melanggar peraturan. Oleh dokter, ia diberi surat istriahat selama seminggu dan setiap hari diberi rokok.
Kekejaman kamp Digul sebenarnya rahasia umum. Bahkan, laporan-laporan dari Digul telah sampai ke negeri Belanda. Penyair Belanda Jef Last (1898-1972) adalah salah satu penyair yang kerap memprotes keberadaan kamp ini dalam sajak-sajaknya.
Baca juga: Alkisah Foto Jenazah Aliarcham
Menurut Harry A. Poeze dalam “Jef Last and his revolutionary poetry on Indonesia” yang termuat dalam Pramoedya Ananta Toer 70 Tahun, sajak-sajak Last tak diterbitkan lagi selama bertahun-tahun karena tersingkir dari sejarah sastra Belanda. Poeze kemudian mengumpulkan ulang sajak Last dan menerbitkannya pada 1994 dengan judul Liedjes op de aat van de rottan (Lagu berirama pukulan rotan).
Hukuman pukulan rotan bagi para tapol Digul tampaknya telah diterapkan sejak awal. Liedjes op de aat van de rottan ditulis Last pada 1928. Last juga beberapa kali menerbitkan beberapa buku kecil puisi, antara lain berjudul Partai Komoenis Indonesia, Digoel-Wilhelmus, dan De poenale sanctie.
“Setiap buklet dijual hanya dengan sepuluh sen, ‘agar orang miskin dapat membelinya’,” tulis Rudolf Mrazek dalam Sjahrir, Politics and Exile in Indonesia.
Kala itu Last merupakan anggota Sociaal Democratische Arbeiders Partij (SDAP) atau Partai Sosial Demokrat Belanda. Ia bersahabat dengan Henriette Roland Holst, Mohammad Hatta, Sjahrir hingga Maria Ullfah. Last memiliki minat menulis tentang Partai Komunis Indonesia, pengasingan Boven Digul, serta eksploitasi kuli di perkebunan di Sumatera.
Di Digul, para tapol wajib menyanyikan lagu kebangsaan Belanda “Wilhelmus” pada hari ulang tahun ratu. Namun, sebagian tapol menolak. Akibatnya, mereka kemudian diasingkan ke kamp yang lebih “berat” di Tanah Tinggi.
“Kejadian-kejadian ini mendorong Last menulis apa yang disebut versi Digoel dari Wilhelmus,” tulis Gerard A. Persoon dalam Merenungkan Gema: Perjumpaan Musikal Indonesia-Belanda.
Baca juga: Kecil di Digul Muda di Buru
Menurut Chalid, Last juga merupakan salah satu aktivis yang juga mengkritik teman-teman aktivis Belanda yang tak melakukan aksi nyata untuk membubarkan kamp Digul. Aksi nyata yang dimaksud Chalid ialah pawai demonstrasi, pemogokan, atau menduduki perusahaan-perusahaan penting.
“Jika ada diadakan aksi demikian, kamp tawanan kami tentu cepat akan dibubarkan. Namun mereka... tidak berbuat sesuatu apa!” tulis Chalid.
Berangkat dari kenyataan itu, Last kemudian menggubah sajak berjudul Digoel-Digoel. Berikut adalah tiga bait pertama puisi Last yang diterjemahkan oleh Chalid Salim.
Apa sebab aku tulis tentang Indonesia,
dan bukan tentang tanah air sendiri?
Di sana tubuh kawan-kawan dijadikan bulan-bulanan
bagi senjata di tangan penjajah.
Di sana mengayun tongkat rotan, sel penjara penuh sesak
karena mereka menegakkan Bendera Merah.
Kita kagum dan kita memuji bangga,
tapi apakah yang kita perbuat?
Perduli apa jika mereka mampus
di neraka celaka kamp Digoel?
Bila Sri Ratu memerintah genap tiga dasawarsa,
keadaan dunia konon dianggap normal saja.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar