Presiden Sukarno Kembali dari Pengasingan
Pulang dari tahanan Belanda, Sukarno disambut meriah di Jakarta. Disambut bak pesta besar rakyat di pengujung Desember 1949.
FOTO lama yang terpampang di buku IPPHOS, Remastered Edition itu berbicara banyak. Dalam nuansa hitam putih, nampak masyarakat Jakarta tumpah ruah. Sepanjang Bandara Kemayoran-Istana Negara Jakarta, ratusan ribu manusia menyemut. Mereka memekik, tertawa dan ada pula yang menangis. Teriakan “merdeka” bercampur baur dengan pekikan “Hidup Bung Karno”, membentuk suara bergemuruh dalam lautan massa. Demikian deskripsi yang dilukiskan oleh Presiden Sukarno dalam buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya penulis Amerika Serikat, Cindy Adams.
Pada 28 Desember 1949, Presiden Sukarno kembali menginjakkan kaki di Jakarta. Itu terjadi setelah pada 1946, demi keamanan, ia terpaksa menyingkir dari ibu kota Republik Indonesia (RI) yang sudah mulai dikuasai tentara Belanda. Setelah dua tahun berkantor di Istana Negara Yogyakarta, pada 19 Desember 1948, militer Belanda menangkap sekaligus mengasingkan Presiden Sukarno beserta pejabat-pejabat RI lainnya ke Pulau Sumatera.
Namun, diakuinya kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh Kerajaan Belanda pada 27 Desember 1949, otomatis membebaskan Sukarno cum suis sekaligus mewajibkan Belanda untuk mengembalikan mereka ke Yogyakarta. Setelah beberapa jam singgah di Yogyakarta, dengan menumpang pesawat KLM (maskapai penerbangan Kerajaan Belanda) yang secara terburu-buru dicat simbol Garuda Indonesia Airways (GIA), Sukarno terbang menuju Jakarta.
“Pesawat itu adalah satu-satunya pesawat dari Garuda Indonesia Airways yang berumur satu hari…” ujar Sukarno
Dalam Kronik Revolusi Indonesia, Pramoedya Ananta Toer dan kawan-kawan melukiskan kedatangan Presiden Sukarno di Jakarta sebagai sebuah pesta rakyat. Sejak subuh, rakyat Jakarta dan sekitarnya telah datang dari berbagai pelosok. Terlebih rencana kedatangan rombongan Presiden Sukarno telah diumumkan sebelumnya lewat Radio Republik Indonesia (RRI).
“Riuh rendah sorak ribuan rakyat yang sejak pagi berjejal-jejal menunggu di Kemayoran,” ujar Pram yang menulis buku tersebut bersama Koesalah Soebagyo Toer dan Ediati Kamil.
Tepat pukul 11.40, pesawat yang ditumpangi Presiden Sukarno beserta rombongan mendarat secara mulus di Bandara Kemayoran, Jakarta. Begitu turun dari pesawat, ia dijemput dengan mobil terbuka (pinjaman dari pengusaha Dasaad) dan dikawal secara ketat oleh sepasukan tentara dan polisi. Sambil berdiri tegak, sepanjang jalan menuju Istana Negara, Sukarno tak henti-hentinya memberikan salam dan melambaikan tangannya kepada ratusan ribu massa yang meneriakan namanya secara bersemangat.
“Rakyat berlari ke depan kendaraan kami. Yang lain terlanggar. Ada lagi yang terdorong. Beberapa diantaranya pingsan. Kami diserbu rakyat. Aku tidak bisa maju setapak pun. Rakyat bergelantungan di sisi kendaraan, kap mobil, di tangga. Rakyat menggapai-gapai kepadaku untuk mencium jariku…,” demikian Sukarno menuturkan.
Melalui kerja keras para prajurit dan polisi yang berupaya membukakan jalan, Sukarno akhirnya bisa tiba di tangga Istana Negara. Sesampai di puncak tangga, ia lantas mengangkat tinggi-tinggi kedua tangannya. Lautan manusia yang tadinya bergemuruh pun sontak terdiam. Sama sekali tak ada yang bergerak.
“Alhamdulillah! Kita merdeka!”
Suara bergemuruh kembali membahana. Kota Jakarta kembali tenggelam dalam suka cita dan pesta.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar