Presiden dari Bali
Orang berdarah Bali kedua yang jadi presiden. Tjokorda Gde Raka Soekawati menjadi presiden Negara Indonesia Timur.
Tak semua presiden di Indonesia berdarah Jawa. Setidaknya dalam sejarah Indonesia, setelah Sukarno ada orang berdarah Bali lain yang menjadi presiden. Namanya Tjokorda Gde Raka Soekawati. Ia satu-satunya presiden negara berumur pendek bernama Negara Indonesia Timur (NIT) pada masa Indonesia berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS).
NIT hanya hidup dari akhir 1946 hingga 1950. Ibu kotanya di Makassar. Wilayahnya bekas Provinsi Timur Besar, yang meliputi Sulawesi, Kepulauan Maluku, Kepulauan Nusa Tenggara yang dulu disebut Sunda Kecil, ditambah Papua.
Tjokorda Gde Raka Soekawati dipilih sebagai presiden NIT setelah Konferensi Denpasar berakhir pada 24 Desember 1946. Konferensi itulah yang melahirkan Negara Timur Besar alias Negara Indonesia Timur.
Menurut koran De Trouw, 27 Desember 1946, Tjokorda Gde Raka Soekawati lahir di Ubud pada 15 Januari 1899. Ia adalah anak bangsawan Bali.
Anak sepertinya, setelah sekolah dasar diharapkan masuk OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren), sekolah anak-anak priayi. OSVIA terdekat untuk anak bangsawan Bali berada di Probolinggo, Jawa Timur.
Baca juga: Sejarah Negara Indonesia Timur
Buku Sejarah Kebangkitan Nasional (1900–1942) Daerah Bali menyebut Soekawati pernah belajar dari kelas 1 hingga kelas 6 di Sekolah Melayu Gianyar. Ia kemudian melanjutkan ke OSVIA di Probolinggo dari tahun 1913 hingga 1918. Setelah lulus, ia menjadi mantri polisi di Denpasar dan hampir menjadi pengawas keuangan di Badung.
Setelah ayahnya meninggal tahun 1919, Soekawati naik menggantikan ayahnya sebagai penggawa di Ubud. Ia juga berkarier dalam politik sejak muda. Antara tahun 1924 hingga 1930, ia menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) dari Bali.
Dari 1931 hingga 1932, Soekawati pernah berada di Eropa. Koran De Indische Courant, 8 Mei 1935 menyebut ia memimpin kelompok tari Bali dalam pameran kolonial Internasional di Paris. Dari Paris, ia pergi ke Negeri Belanda untuk belajar tentang pertanian dan peternakan. Semasa di Eropa, ia juga mengunjungi Inggris, Jerman, Swiss, dan Italia.
Kala itu, Soekawati sudah menikah dengan Gusti Agung Niang Putu. Anak mereka yang lahir pada 1 Februari 1923, Tjokorda Ngurah Wim Soekawati, juga ikut ke Eropa. De Trouw menyebut ketika di Paris, Soekawati berkenalan dengan seorang wanita Prancis bernama Gilbert Vincent. Perempuan ini dinikahi Soekawati pada 1933 dan memberinya dua anak lagi.
Setelah kembali ke Bali pada pertengahan 1932, Soekawati dipekerjakan sebagai pejabat yang terkait dengan hukum adat oleh Residen Bali dan Lombok. Daerah kerjanya Badung, Karangasem, dan Buleleng. Sejak 1938, ia menjadi anggota Baliraad atau Dewan Bali. Ia lalu menjadi orang berpengaruh di Bali setelah tentara Jepang kalah.
Pengangkatan Soekawati sebagai presiden NIT rupanya tidak menjadi masalah bagi otoritas Belanda. Termasuk bagi Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus van Mook dan para pejabat Belanda lainnya.
“Mayoritas pejabat Belanda di Makassar dan Bali menganggap Tjokorda Gde Raka Soekawati sebagai ‘mempesona’ dan sekaligus ‘berwawasan’. Dan meskipun Van Mook mencemooh Soekawati secara pribadi, ia jelas tidak terlalu khawatir sang presiden akan meluncur di luar kendali Belanda,” tulis Geofrey Robinson dalam Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik.
Baca juga: Setelah Republik Indonesia Serikat Habis
Naiknya Soekawati dan Anak Agung Gde Agung diperkirakan akan merangsang bangkitnya keluarga-keluarga bangsawan Bali dalam dunia politik. Di masa ini, putra Soekawati sudah menjadi perwira polisi.
Selama Soekawati menjadi presiden NIT, urusan pemerintahan negara parlementer ini diserahkan kepada Perdana Menteri. Mulai dari Nadjamoeddin Daeng Malewa, Samuel Josef Warouw, Anak Agung Gde Agung, J.E. Tatengkeng, J. Diapari, dan Martinus Putuhena pernah mengisi jabatan Perdana Menteri.
Sebagai presiden NIT, Soekawati pernah dikawal Letnan Andi Azis dari KNIL. Setelah menjadi kapten TNI, Andi Azis memimpin pemberontakan tentara KNIL pada 5 April 1950 karena menolak kedatangan TNI dari Jawa.
Soekawati termasuk orang yang tidak mendukung pemberontakan tersebut. Setelah pemberontakan itu, NIT pun bubar dan Soekawati tidak lagi jadi presiden. Jauh setelah Soekawati tak jadi pesiden lagi, putranya lalu menjadi diplomat dan sempat menjadi Duta Besar di Swiss. Soekawati meninggal pada 1967.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar