Politisi Australia Sahabat Indonesia
Beberapa tokoh politik Australia memihak perjuangan kemerdekaan Indonesia.
PERDANA Menteri Australia, Tony Abbott, sempat menyatakan tidak akan meminta maaf dan memberikan penjelasan apapun terkait terbongkarnya aksi penyadapan terhadap Indonesia. Dia kemudian menyatakan penyesalannya setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan penghentian sementara kerjasama dengan Australia.
Jika Tony Abbot menunjukkan citra Australia yang bermusuhan dengan Indonesia, sebaliknya Perdana Menteri Joseph Benedict Chifley dari Partai Buruh, cenderung mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ini ditunjukkan dengan mendukung aksi boikot serikat buruh pelabuhan Australia terhadap kapal-kapal Belanda yang membawa senjata ke Indonesia. Dukungan serupa juga datang dari Menteri Luar Negeri Australia, HV Evatt.
Menurut Rupert Lockwood dalam Armada Hitam, sesudah terjadinya Aksi Polisionil Belanda terhadap Indonesia pada 1947, Evatt diam-diam membiarkan pemboikotan itu walaupun melanggar undang-undang yang pernah dilaksanakannya selama menjadi Jaksa Agung.
“Karena terkejut oleh usaha Belanda untuk menegakkan kembali kekuasaannya di Batavia dengan serangan militer,” tulis Lockwood, “maka Dr Evatt pun mengajukan persoalan Indonesia kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan pada tahun 1948 dengan berani dia mengecam Washington, karena Washington telah mendukung serangan-serangan Belanda terhadap Republik.”
PBB kemudian membentuk Komite Jasa Baik yang bertugas menengahi konflik Indonesia-Belanda. Indonesia memilih Australia (Sir Richard C. Kirby) sebagai wakilnya, Belanda memilih Belgia (Paul van Zeeland), dan Amerika Serikat (Dr. Frank Graham) sebagai pihak netral.
Menurut Margaret J. Kartomi dalam Gamelan Digul, Di Balik Sosok Seorang Pejuang: Hubungan Antara Australia dan Revolusi Indonesia, di Indonesia sendiri politik pemerintah Australia jelas terasa bergeser ke arah yang lebih aktif mendukung Republik. Pada Juli 1946, misalnya, ketika Sir Richard Kirby mengunjungi Yogyakarta bersama Perdana Menteri Sutan Sjahrir, disambut massa dengan teriakan-teriakan gembira “Australia! Australia!” dan ditaburi dengan lemparan bunga-bunga.
Richard Kirby kemudian digantikan diplomat muda Thomas Kingston Critchley. Critchley memiliki opini tersendiri, dan sedikit banyak tersanjung, atas penunjukkan Australia oleh Indonesia. “Orang-orang Indonesia ini begitu berani. Melihat fakta bahwa beberapa tahun lalu mereka dan kami nyaris tak saling kenal, mereka justru memilih Australia sebagai wakilnya. Mereka terpengaruh atas simpati yang ditunjukkan di Australia, dan dengan rasa hormat yang tinggi, pengaruh andil besar blokade buruh Australia terhadap kapal-kapal Belanda yang memberikan dampak emosional besar bagi mereka,” tulis Critchley, seperti dikutip Bilveer Singh dalam Defense Relations Between Australia and Indonesia in the Post-Cold War Era.
Pandangan antikolonial Critchley membuatnya dekat dengan tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia, terutama dengan Mohammad Hatta dan Sjahrir. Ketika agresi militer Belanda kedua pada Desember 1948 membuat pemimpin-pemimpin Indonesia diasingkan ke Bangka, Critchley secara pribadi mengunjungi dan menyemangati mereka.
“Aku menceritakan kepada Critchley bahwa aku dan Sukarno tidak punya kekuasaan lagi sebab kekuasaan pimpinan negara pada tanggal 19 Desember 1948 sudah kami serahkan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera Barat,” kata Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku. “Namun Critchley mengatakan bahwa dunia internasional, demikian juga United Nations, hanya kenal pada Sukarno-Hatta sebagai pimpinan negara Republik Indonesia. Tuan Critchley mengatakan bahwa dia akan mengusahakan sesuatu di Jakarta.”
Seakan ingin menepati janjinya kepada Hatta, Critchley memanfaatkan agresi militer Belanda itu untuk menekan Belanda di dunia internasional. Dalam laporannya kepada PBB, dia membuktikan bahwa Republik Indonesia masih eksis dan sanggup melawan. Hasilnya, Belanda luluh, tawanan politik dibebaskan dan kekuasaan Republik dipulihkan.
Selanjutnya, dengan kekuasaan yang lebih besar sebagai ketua delegasi Australia dalam Komisi PBB untuk Indonesia, pengganti Komisi Jasa Baik sejak 28 Januari 1949, Critchley berandil besar mempersiapkan Konferensi Meja Bundar yang berlangsung 23 Agustus-2 November 1949 di The Hague, Belanda. Hasilnya, penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia.
Critchley kemudian menjadi duta besar Australia untuk Indonesia periode 1978-1981. Pada 1992, dia dianugrahi Bintang Dharma Putra oleh pemerintah Indonesia melalui kedutaan besar Indonesia atas jasa-jasanya di masa lalu untuk Indonesia.
“Para pemimpin nasionalis akan selalu mengingat saat Republik nyaris tiada dan diisolasi oleh Belanda, Critchley-lah yang berjuang secara efektif menangkis propaganda Belanda dan akhirnya menuntun perjuangan Indonesia mendapatkan kedaulatannya,” kenang Sabam P. Siagian, mantan duta besar Indonesia untuk Australia (1991-1995), dalam obituari Critchley sebulan setelah kematiannya pada Juli 2009 di Sydney, Australia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar