Polisi Berat Menjadi Seperti Hoegeng
Keteladanan Kapolri Hoegeng Iman Santoso dianggap terlalu berat dijalani oleh polisi masa kini.
Hoegeng Iman Santoso selama menjabat Kapolri (1968–1971) menunjukkan keteladanan yang luar biasa. Rasanya terlalu berat bagi polisi saat ini untuk memenuhi standar keteladanannya.
Sehingga, menurut Aris Santoso, penulis dan pengamat militer, Hoegeng kurang relevan sebagai contoh polisi teladan hari ini. Sebab, hari ini seseorang menjadi polisi untuk mencari kesejahteraan.
“Pengen jadi polisi, itu (mencari) kesejahteraan. Apakah masih relevan keteladanan Pak Hoegeng terhadap generasi sekarang?” kata Aris dalam diskusi bertajuk “Riwayat Hoegeng Kapolri Jujur”, live di Youtube, Facebook, dan Twitter Historia.id, Kamis, 14 Juli 2022.
Baca juga: Kisah Hoegeng Disetrap Bung Karno
Aris mengatakan, sosok Hoegeng hari ini hanya menjadi “cagar budaya”. Sejarah dan kisah keteladanannya dilestarikan, tapi tak pernah menjadi aktual. “Jadi, kalau kita [menuntut polisi] seperti Pak Hoegeng, menurut saya itu terlalu ekstrem sebagai teladan,” kata Aris.
Menurut Aris, Hoegeng mungkin hanya akan ada satu dalam sejarah Indonesia. Zaman telah berubah dan tak perlu meminta seorang polisi untuk menjadi seperti Hoegeng.
“Misalkan, polisi ngomong, ‘tiru Pak Hoegeng’. Emang dia mau makan garam doang. Pak Hoegeng kan bilang, ‘saya sanggup makan pakai garam’,” kata Aris.
Hoegeng memang dikenal karena kesederhanaannya. Sebagai polisi, ia terbiasa hidup susah.
Baca juga: Kisah Hoegeng dan Anak Menteri
Di Yogyakarta misalnya, pada masa agresi militer Belanda kedua, Hoegeng tak menerima gaji. Dia hanya sesekali mendapat bantuan keuangan dari Sultan Hamengkubuwono IX. Saat itu, Hoegeng beruntung mendapat tugas rahasia sebagai intel. Dia menyamar sebagai pelayan restoran Pinokio yang tak jauh dari rumahnya.
“Dengan menjadi pelayan restoran, setidaknya kebutuhan makan Hogeng sudah terpenuhi,” tulis Aris Santoso dkk. dalam Hoegeng, Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa.
Hoegeng juga dikenal karena kejujurannya. Sebagai pejabat, dia tak mau sama sekali menerima pemberian orang karena merasa nanti menanggung beban balas budi. Dikisahkan, dia pernah ditawari rumah dan mobil ketika diangkat sebagai Kadit Reskrim Kantor Polisi Provinsi di Medan. Hoegeng menolak semua fasilitas itu.
Ketika hendak menempati rumah di Jalan Rivai 26, Medan, Hoegeng dikejutkan oleh perabotan mahal telah memenuhi rumah yang seharusnya kosong. Piano, kulkas, tape recorder, hingga kursi tamu telah menyambutnya.
Baca juga: Dari Bugel Menjadi Hoegeng
Aris Santoso dkk. menyebut Hoegeng langsung meminta agar perabotan itu dikeluarkan dari rumah karena perabotan keluarganya hendak dimasukan. Namun, perintah itu tak kunjung dilaksanakan.
“Hoegeng sudah tidak sabar lagi sehingga saat perabotan keluarga Hoegeng datang, Hoegeng memerintahkan kepada anggota kepolisian yang membantu dan kuli agar perabotan mewah itu dikeluarkan, dan diletakkan begitu saja di tepi jalan depan rumah,” tulis Aris Santoso dkk.
Keteladanan Hoegeng itu rasanya sulit ditiru oleh polisi saat ini. Oleh karena itu, menurut Aris, polisi tidak harus menjadi Hoegeng, tapi cukup dituntut menjalankan tugasnya dengan baik dan benar. Para perwira juga harus sejahtera agar dia bisa menanggung berbagai macam biaya, termasuk untuk kebutuhan anak buahnya. Ini diharapkan bisa mencegah korupsi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar