Petualangan Orang Makassar di Kesultanan Banten
Setelah terusir dari tanah airnya, para pelaut Makassar mencari peruntungan di wilayah barat Jawa. Bukannya berbuat baik, mereka malah berkonflik dengan penguasa setempat
Pertengahan Agustus 1671 di Jepara muncul seorang bernama Kassi’-jala. Kehadirannya cukup menggemparkan residen setempat. Hal itu disebabkan dia membawa serta 150 orang bersamanya. Mereka tidak terlihat seperti penduduk Jawa. Perawakannya kekar, warna kulit serta wajahnya terlihat asing untuk disamakan dengan orang-orang sekitarnya. Diketahui mereka adalah kelompok pelaut dari Makassar.
Berdasar catatan harian pejabat VOC di Jepara (Daghregister, 24 Agustus 1671), Kassi’-jala dan kelompoknya datang untuk menemui dua pangeran Makassar, Kraeng Bonto Marannu dan Kraeng Luwu’. Bersama dua peangeran itu, rencananya mereka akan berlayar menuju Banten. Menurut sejarawan H.J. De Graaf, keterangan tersebut menjadi berita pertama kepindahan orang Makassar ke Banten.
Dikisahkan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, pelayaran orang-orang Makassar itu terjadi setelah Gowa mengalami kekalahan perang pada 1669. Pemerintahan Arung Palakka yang bersifat menindas juga menjadi alasan para pelaut itu rela meninggalkan tanah airnya menuju tempat asing yang belum tentu menerima keberadaan mereka.
“Pada 1670-an, Banten menjadi pusat pengungsi politik dari Makassar, yang membuat VOC sangat khawatir,” terang Edward A. Alpers dalam The Indian Ocean in World History.
Baca juga: Wabah Penyakit dalam Perang Makassar
Rombongan Makassar tiba di Banten pada akhir Agustus 1671. Kraeng Bonto Maranmu membawa sekira 800 orang dalam tiga kapal sedang dan sebuah perahu besar. Begitu merapat di pelabuhan, mereka disambut oleh perwakilan istana. Menurut De Graaf dalam bukunya, Runtuhnya Istana Mataram, rupanya kedatangan mereka telah dinanti penguasa Banten. Para tamu dari Timur itu pun diberikan tempat di daerah Pontang, sebelum dipindahkan ke pusat kota, dekat pasar utama.
“Tidak secara tiba-tiba mereka datang di Banten. Semangat juang mereka ditakuti, jumlah mereka yang besar diperhitungkan. Orang Banten sudah dapat menduga bahwa setelah kemenangan Speelman atas Gowa, maka merekalah yang akan mendapat giliran,” kata De Graaf.
Mulanya sambutan penguasa Banten dilakukan agar orang-orang Makassar itu merasa nyaman tinggal di wilayahnya. Namun belakangan mereka diketahui mencoba memanfaatkan pengalaman orang-orang Makassar di medan tempur untuk persiapan mengahadapi serangan VOC. Kawan dari Pulau Sulawesi itu diharapkan dapat menjadi tambahan kekuatan bagi Banten. Terlebih, imbuh De Graaf, orang-orang Makassar tidak terpengaruh oleh kekalahan yang telah mereka derita pada pertempuran sebelumnya di Gowa.
Baca juga: Taktik Banten Taklukkan Pakuan Pajajaran
Tanpa disadari penguasa Banten, kian hari jumlah orang-orang Makassar di wilayahnya kian bertambah. Mereka datang dari berbagai daerah di pesisir Jawa. Tak ayal kondisi itu membuat penguasa Banten kewalahan dalam memberi kebutuhan harian mereka. Merawat ratusan orang Makassar bersama keluarganya tanpa imbalan memadai, tentu membuat beban ekonomi semakin berat. Untuk sementara kondisi itu bisa diatasi Sultan Banten, namun tidak bisa berlangsung selamanya. Maka sultan pun meminta para kraeng mengerahkan tenaga para pengikutnya untuk pekerjaan kasar, yakni menggali terusan dari Pontang ke Tanara.
“Pemerintah Kompeni sendiri meragukan apakah orang-orang Makassar dengan sukarela mau melakukan pekerjaan kasar itu. Sesungguhnyalah orang-orang Makassar itu dipaksa semua oleh kraeng-kraeng mereka untuk bekerja di Pontang (Banten),” ujar De Graaf.
Keberadaan Syekh Yusuf
Kedatangan Kraeng Bonto Marannu dan rombongannya memang tercatat sebagai yang terbesar, namun bukan yang pertama. Dicatat De Graaf, berdasar laporan pejabat VOC, hubungan Banten dan Makassar paling awal dilakukan oleh seorang ulama besar Makassar, yang dikemudian hari dikenal sebagai Syekh Yusuf Makassar.
Pada 1644, dalam usia 18 tahun, Syekh Yusuf meninggalkan Gowa menuju Mekah. Dia bermaksud menuntut ilmu agama di pusat peradaban Islam tersebut. Dia pun memulai perjalanannya dengan menumpang kapal Melayu. Permberhentian pertamanya adalah Banten. Menurut Abu Hamid dalam Syekh Yusuf Makassar: Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang, nama Banten sudah tidak asing bagi Syekh Yusuf. Dia sering mendengarnya dari pedagang-pedagang Melayu, bahwa Banten adalah pusat perdagangan di Barat, sama seperti tempat tinggalnya yang didapuk sebagai pusat niaga di Timur.
“Di Banten, Yusuf cepat menyesuaikan diri dan berkenalan dengan ulama-ulama, ahli agama, dan pejabat-pejabat agama. Yusuf sempat bersahabat baik dengan putra mahkota Pangeran Surya yang dikenal kemudian sesudah menjadi sultan dengan nama Arab, Abdul Fathi Abdul Fattah Sultan Ageng Tirtayasa,” tulis Hamid.
Tidak diketahui dengan pasti kapan Syekh Yusuf kembali dari Tanah Suci. Tetapi sepulang dari sana dia memilih bermukim di Banten. Dia diketahui tidak kembali ke tanah airnya, Gowa. Dicatat Frederick De Haan dalam Priangan: De Preanger-Regentschappen onder het Nederlandsch bestuur tot 1811, Syekh Yusuf bahkan menikah dengan seorang saudara perempuan Sultan Banten. Hal itu membuat dia memiliki kedudukan tetap di Kesultanan Banten.
Keberadaan Syekh Yusuf menjadi salah satu alasan orang-orang Makassar datang ke Banten. Ulama kharismatik itu memiliki pengaruh yang besar di Kesultanan Banten. Dia mengajar ilmu agama di lingkungan istana, di sekitar keluarga sultan. Syekh Yusuf juga membawa kebudayaan Timur Tengah ke Banten, seperti perubahan dalam cara berpakaian sehari-hari yang terlalu terbuka, hingga larangan peredaran candu.
Orang Makassar Bertingkah
Pada Oktober 1671, seorang panglima perang Makassar dalam berbagai pertempuran dengan Belanda bernama Kare Mamu tiba di Banten. Dia segera bergabung dengan Kraeng Bonto Maranmu dan Kraeng Luwu’ untuk membantu rencana pertahanan Banten. Kare Mamu menjanjikan kekuatan sebesar 3000 pasukan kepada Sultan Banten. Mereka berasal dari orang-orang Makassar yang sudah lebih dahulu tinggal di pesisir Jawa.
Tawaran indah itu tentu diterima dengan senang hati oleh Sultan. Sebagai gantinya, pihak Banten harus memberikan sebuah kapal besar, lengkap dengan isinya untuk mengangkut pasukan tersebut. Kedua pihak sepakat. Namun ketika hendak membuang sauh di pelabuhan, mata-mata Sultan Banten memberi laporan bahwa Kare Mamu mulai bertingkah dengan membawa lima budak Banten di atas kapalnya. Hal itu membuat sultan berang. Pelayaran pun dibatalkan.
Baca juga: Melabuhkan Cinta di Makassar
Tindakan Kare Mamu telah mengurangi kepercayaan sultan kepada orang-orang Makassar itu. Ditambah para tamunya itu terus menguras pemasukkan Banten karena sebagian besar dari mereka benar-benar menggantungkan hidupnya dari pemberian sultan. Persitiwa lain yang semakin memperburuk hubungan Banten dan Makassar adalah kasus pencurian yang dilakukan orang Makassar di istana.
Pada pertengahan 1673, dua orang Makassar tertangkap basah menyelinap masuk ke kamar sultan di istana. Mereka mencuri banyak perhiasan, pakaian-pakaian mahal, dan sejumlah senjata. Keduanya segera diboyong keluar. Di depan gerbang istana, tangan kanan keduanya dipotong dan sultan menghukum mereka dengan tusukan tombak.
“Tetapi semua pemuka Makassar tegak di hadapan Sultan, berlutut, dan minta ampunan. Hati Sultan menjadi lunak dan hukuman itu diubah menjadi pembuangan kembali ke Makassar,” imbuh De Graaf.
Tapi rupanya pengampunan itu tidak cukup membuat jera. Pada 1674, dua orang Makassar mengamuk di kota. Sejak saat itu sultan menyuruh penjagaan ketat dilakukan di istana, dan melarang orang Makassar masuk ke pusat kota Banten. Selain itu, sultan juga memberlakukan jam malam bagi orang Makassar. Siapapun yang melanggar aturan itu akan dibunuh di tempat.
Baca juga: Mega Proyek Sultan Banten
Lebih buruk lagi, penduduk Banten dilarang memberi hunian kepada orang Makassar. Sehingga perlahan orang-orang Makassar terusir dari Banten. Pemimpin mereka juga mulai diperintahkan keluar dari wilayah Banten, membawa serta rombongan yang dibawanya.
“Kepastian menjadi jelas setelah diperoleh berita bahwa dari pantai timur Jawa kedua orang pemimpin Makassar itu menyatakan perang terhadap Sultan Banten. Segera pula raja menyuruh mempersiapkan sepuluh kapal untuk mengangkut orang-orang Makassar yang masih tersisa di Banten,” tulis De Graaf.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar