Perkara Lampu, Bung Karno Digampar Serdadu Jepang
Lalai mematikan lampu saat tanda bahaya berbunyi, seorang kapten tentara Jepang menampar Bung Karno hingga berdarah-darah.
Era penjajahan Jepang (1942-1945) dikenang bangsa Indonesia sebagai masa-masa penuh kesengsaraan. Selain merampas bahan-bahan sandang seperti tekstil dan bahan pangan utama rakyat seperti beras, tentara Jepang pun tak segan-segan melakukan tindakan keras kepada rakyat yang dianggap tak patuh kepada peraturan mereka.
“Paling ringan kalau tidak menurut, kita digampar oleh mereka,” ujar Atma (92) kepada Historia. Atma salah seorang anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) yang saat itu tinggal di Bogor.
Main tangan yang dilakukan militer Jepang itu tak saja dialami oleh rakyat kecil. Presiden pertama Republik Indonesia Sukarno juga ternyata pernah mendapatkan gamparan dari seorang perwira Kenpeitai (Polisi Militer Angkatan Darat Jepang) berpangkat kapten.
Ceritanya suatu malam, seperti biasa sirene tanda bahaya berbunyi. Bung Karno yang saat itu sudah tinggal di Jakarta terlambat memadamkan lampu seperti yang sudah diwajibkan pemerintah militer Jepang jika rakyat mendengar suara sirene.
“Secercah kecil cahaya selama satu detik tampak bersinar dari luar yang gelap…” ujar Sukarno seperti dituturkannya kepada Cindy Adams dalam Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Begitu Bung Karno mematikannya, tak lama kemudian terdengar derap sepatu lars tentara Jepang di halaman rumahnya. Tak lama kemudian terdengar pintu digedor-gedor secara keras dan secara cepat pula dibuka oleh isteri Bung Karno saat itu, Inggit Garnasih.
“ Ada apa?” tanya Inggit dengan suara gemetar.
“ Siapa pemilik rumah ini!?” tanya seorang kapten Kenpeitai dalam nada menggertak.
“ Saya…” jawab Inggit pelan.
“Bukan, yang kami maksud siapa kepala keluarga di rumah ini?! Di mana suami Nyonya?”
Khawatir terjadi sesuatu dengan Inggit, Bung Karno lantas keluar dari kamarnya. Saat melihat kemunculan Bung Karno, perwira itu langsung mendekat dan plak! Plak! Plak! Tanpa basa-basi dan seraya diiringi bentakan kasar, ia lalu menampar wajah, pipi kanan dan kiri pemimpin rakyat Indonesia tersebut secara keras.
Demi melihat sang suami diperlakukan demikian, Inggit menjerit dan spontan jatuh berlutut. “Jangan! Jangan pukul dia. Sayalah yang harus bertanggungjawab, bukan dia! Ini bukanlah kesalahan dia! Mohon dia dimaafkan. Sayalah yang melakukannya,” teriak Inggit.
Alih-alih menghentikan aksinya, perwira Jepang itu malah semakin brutal memukuli Bung Karno. Akibatnya, darah mengalir dari hidung dan bibir Sukarno. Kendati dalam situasi demikian, Sukarno tetap berdiri tenang.
“Aku tidak mengucapkan sepatah kata pun. Aku tidak berusaha membela diriku sendiri. Biarlah kesakitan ini menjadi kerikil di jalan menuju kemerdekaan. Hatiku berkata: langkahilah dia. Kalau engkau jatuh karenanya, berdirilah dan terus berjalan…” ujar Bung Karno.
Penganiayan perwira Kenpeitai itu selanjutnya diprotes keras oleh Sukarno dan kawan-kawannya langsung kepada Gunseikanbu (pemerintah sipil yang dibentuk militer Jepang di Indonesia). Menurut Mr. Sudjono, sebagian kecil orang Indonesia yang menjadi perwira dalam ketentaraan Jepang saat itu, dirinya tak diam saja mendengar Bung Karno diperlakukan secara kasar.
“Meskipun mereka tak dapat mencegahnya, namun secara resmi pihak Gunseikanbu meminta maaf atas terjadinya peristiwa itu,” tulis Mr. Sudjono dalam buku Mendarat dengan Pasukan Jepang di Banten 1942.
Secara pribadi, Kepala bagian Pemerintahan militer Jepang, Kolonel Nakayama meminta maaf langsung kepada Sukarno. Ia berdalih bahwa sang kapten Kenpeitai tidak tahu apa-apa dan tidak paham siapa Sukarno sebenarnya.
“Segera akan diambil tindakan terhadap orang itu…” demikian janji Kolonel Nakayama kepada Bung Karno. Lantas dihukumkah kapten Kenpeitai tersebut? Tak ada pernah kejelasan soal itu hingga sekarang.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar