Perempuan dalam Pemilu Pertama
Mulanya hanya untuk mendulang suara namun bisa jadi jalan perempuan masuk ke politik praktis.
MENJELANG pemilu nasional pertama, 1955, beragam manuver politik dilakukan partai politik. Salah satunya, usaha menjaring pemilih perempuan. Beberapa partai politik mengambil cara dengan membentuk organisasi sayap perempuan. Partai Murba membentuk Perwamu (Persatuan Wanita Murba), Partai Kebangsaan Indonesia mendirikan Parkiwa (Partai Kebangsaan Indonesia bagian Wanita), Partai Indonesia Raya membentuk Wanita Nasional, dan Wanita Demokrat Indonesia berafiliasi dengan PNI.
“Setelah Pemerintah RI kembali ke Jakarta, partai politik mengadakan perkumpulan-perkumpulan wanita. Mungkin untuk membantu perolehan suara dalam pemilihan umum,” kata Sujatin Kartowijono dalam memoarnya Mencari Makna Hidupku.
Organisasi sayap perempuan ini bertugas memperkenalkan partai pada kelompok-kelompok perempuan dan menyebarluaskan ideologi mereka. Kegiatan yang dilakukan beragam, seperti bakti sosial atau kegiatan perkumpulan perempuan di kampung-kampung. Usaha kedua, seringnya cukup efektif lantaran anggota yang kadung masuk akan merasa sungkan bila tidak memilih partai yang berafiliasi dengan organisasinya.
Keaktifan organisasi perempuan sayap partai ditambah dengan rutinnya mereka bersinggungan dengan rakyat bawah otomatis membuat citra partai menjadi baik di mata rakyat. Rakyat yang terkesan kemudian menyumbangkan suara mereka dalam pemilu. “Suara rakyat ini menjadi jalan utama partai untuk mendudukkan wakilnya yang mayoritas laki-laki di parlemen, padahal kerja-kerja akar rumput tersebut dilakukan oleh perempuan,” tulis Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia.
Organisasi sayap perempuan yang sudah dibentuk jauh sebelum pemilu 1955, seperti Aisyiyah dan Wanita Katolik, juga digunakan untuk mendulang suara. Aisyiyah yang berada dalam naungan Muhammadiyah, menjadi agen kampanye Masyumi sebagai wadah politik organisasi Islam. Pun dengan Wanita Katolik yang merupakan sayap perempuan Partai Katolik.
Selain pembentukan sayap perempuan, partai politik juga menjalin relasi dengan organisasi perempuan yang ada. Sukanti Suryochondro dalam Potret Pergerakan Wanita Indoesia menyebut PKI menjadi dekat dengan Gerwani (semula bernama Gerwis) menjelang pemilu 1955.
Baca juga: Manuver Politik Jelang Pemilu 1955
Kedekatan antara parpol dan organisasi perempuan tak semata untuk penjaringan suara. Kanal-kanal ini menjadi perantara suara-suara perempuan dalam politik. Beberapa anggota Gerwani, seperti Nyonya Mudikdo dan Umi Sarjono, masuk DPR dari Fraksi PKI. Bhayangkari, organisasi istri polisi, juga mendapat jalan untuk menyalurkan suaranya.
Bhayangkari memang memutuskan tidak ikut pemilu 1955 secara mandiri melainkan berkampanye untuk angkatan kepolisian. Sebagai imbalan dari dukungan Bhayangkari, kepolisan menambahkan tiga butir tuntutan dalam kampanye mereka: UU perkawinan yang adil, menolak Peraturan Presiden No. 19 tahun 1952 tentang Uang Pensiun Janda PNS, dan pembuatan lembaga pengadilan anak.
Berbeda lagi dengan Perwari yang sejak semula tak mau ikut andil dalam pemilu. Alih-alih merapat ke partai politik seperti Gerwani, Perwari mengirimkan program perjuangan yang berisi penghapusan buta huruf, pembentukan UU perkawinan yang adil, dan kesejahteraan nasib buruh ke 15 parpol. Namun hanya PSI dan PNI yang menyetujui program tersebut. Meski secara organisasi Perwari tidak mendekat ke partai mana pun, beberapa anggota Perwari masuk ke PNI. Supeni, yang kemudian hari menjadi duta besar RI keliling, salah satunya.
Baca juga: Saling Hajar Masyumi-PKI
Dalam tubuh PNI, Supeni duduk sebagai Ketua Badan Pekerja Aksi Pemilihan Umum PNI (PAPU PNI). Tugasnya mengunjungi daerah-daerah untuk memberi penjelasan tentang pemilu. Seringkali Supeni memberi ceramah politik pada kader-kader PNI tentang tata cara kampanye untuk memenangkan PNI dalam pemilu.
Hasilnya tak sia-sia, PNI menjadi partai dengan suara terbesar dalam pemilu. Namun, pemilihan umum itu mengecewakan kaum perempuan karena sangat sedikit wakil perempuan yang dipilih. Dari 257 kursi di DPR, hanya ada 19 perempuan yang terpilih, yakni 4 orang dari PNI dan Masyumi, 5 dari NU, serta 1 dari PSI.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar