Perang Pidato Aidit-Sukarno
Gegara masalah HMI, ketegangan terjadi antara Ketua Umum CC PKI dengan Presiden RI
AWAL 1965. Wajah Menteri Agama Saifuddin Zuhri tetiba mengeruh. Pernyataan Presiden Sukarno yang memberitahukan bahwa pemerintah berencana akan membubarkan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) sama sekali tak bisa diterimanya. Ketika ditanya alasannya, Bung Karno menyebut HMI merupakan organisasi anti revolusi.
“Kadar anti revolusi-nya sampai di mana,Pak?” tanya Zuhri, seperti dikisahkannya dalam buku Berangkat dari Pesantren.
“Yaahh, mereka suka bersikap aneh, tukang kritik, bersikap liberal, seolah-olah hendak mengembalikan adat kebarat-baratan dan lain-lain,” jawab Sukarno.
Zuhri lantas menolak tuduhan itu. Dia secara halus menyebut presiden hanya akan jatuh kepada tindakan berlebihan jika membubarkan HMI. Sukarno menukasnya dan terjadilah “perdebatan” sengit.
“Kalau Bapak tetap hendak membubarkan HMI, artinya pertimbangan saya bertentangan dengan gewetan (perasaan hati) Bapak, maka tugas saya sebagai pembantu Bapak cukuplah hanya sampai di sini,”ujar Zuhri. Sukarno terdiam.
“Oohhhhh, jangan berkata begitu. Saya tetap memerlukan saudara untuk membantu saya…” katanya kemudian.
Setelah perdebatan itu mereda dan kedua pihak sempat terdiam, tetiba Bung Karno berkata memecahkan kesunyian: “Baiklah! HMI tidak saya bubarkan. Tetapi saya minta jaminan HMI akan menjadi organisasi yang progresif. Kau bersama Nasution, Ruslan Abdulgani dan Syarif Thayeb harus membimbing HMI.”
Batalnya pembubaran HMI oleh pemerintah menjadikan organisasi-organisasi yang berafiliasi ke PKI berang. Aksi pengganyangan HMI pun tetap berlanjut dengan pengerahan demonstrasi-demonstrasi di berbagai daerah oleh Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dan organ-organ kiri lainnya.
“Dapat dipahami jika situasi kemudian menjadi panas. Generasi Muda Islam (Gemuis) pada 13 September 1965 lantas mengadakan demonstrasi (tandingan) di Jalan Merdeka Barat dalam rangka solidaritas terhadap HMI,” tulis Sulastomo dalam Hari-Hari yang Panjang 1963-1966.
Di kampus UI Salemba, terjadi kekisruhan. Seorang pemimpin mahasiswa yang dikenal pro PKI diturunkan secara paksa oleh para aktivis HMI pimpinan Fahmi Idris. Gegara-nya: sang pimpinan mahasiswa itu menyerukan aksi pengganyangan HMI di UI.
Puncak kekisruhan terjadi pada 29 September 1965. Malam hari, CGMI mengadakan rapat umum “menuntut pembubaran HMI” yang dihadiri puluhan ribu anggota PKI di Istana Olahraga Senayan, Jakarta. Seperti diceritakan oleh Ganis Harsono dalam Cakrawala Politik Era Sukarno, kegiatan itu juga menghadirkan para tokoh, di antaranya: Presiden Sukarno, Menteri Perguruan Tinggi&Ilmu Pendidikan Johannes Leimena, Menteri Penerangan Achmadi dan Ketua CC PKI D.N. Aidit.
Sikap pemerintah sendiri awalnya akan disampaikan oleh Menteri Penerangan Achmadi. Namun begitu berdiri di depan mikrofon, teriakan-teriakan “bubarkan HMI” dari puluhan ribu peserta rapat umum seolah tak mau berhenti. Karena tak berhasil menenangkan massa, Achmadi merasa kesal lalu turun dari podium.
Gagal menyampaikan sikap, pidato lantas dilanjutkan oleh Leimena. Dengan berteriak sekeras-kerasnya, sang menteri berkata:
“Pemerintah tidak mempunyai niat untuk membubarkan HMI! HMI adalah organisasi yang nasionalistik, patriotik dan loyal kepada pemerintah. Pemerintah banyak mendapatkan sokongan dari HMI dalam perjuangan melawan Nekolim.”
Usai Leimena, tibalah giliran Presiden Sukarno. Seperti biasanya dengan suara mengguntur, Si Bung berkata di hadapan lautan manusia yang ada di depannya:
“Saudara-saudara! Sebelum memulai pidato, saya ingin menyampaikan hal berikut ini. Saudara-saudara baru saja mendengar tentang kebijakasanaan pemerintah yang disampaikan oleh Pak Leimena mengenai kedudukan HMI. HMI tidak akan dibubarkan! Karena saudara-saudara telah mendengarkan kebijaksanaan pemerintah, mungkin saudara-saudara ingin pula mengetahui sikap Ketua Partai Komunis Indonesia, saudara Aidit. Dia hadir sekarang di sini. Walaupun dia tidak tercantum dalam daftar yang akan berpidato malam ini, ada baiknya kalau kita mendengar bagaimana sikapnya sebelum saya melanjutkan dengan pidato saya,setuju?!”
Massa menjawab ajakan Bung Karno dengan teriakan “setuju”. Saat dipanggil namanya, menurut Ganis, Aidit sendiri terlihat agak malas saat naik ke atas podium. Namun dia akhirnya berpidato juga di hadapan para anggotanya.
“Kalau pemerintah tidak akan membubarkan HMI, maka janganlah kalian berteriak-teriak menuntut pembubaran HMI! Lebih baik kalian bubarkan sendiri! Dan kalau kalian tidak mampu melakukannya, lebih baik kalian jangan pakai celana lagi tapi tukar saja dengan sarung!”
Seterusnya pidato Aidit tidak terbendung. Bukan hanya memprovokasi pembubaran HMI, dia pun memperingatkan kepada para anggotanya tentang bahaya pemimpin-pemimpin palsu yang merampok uang rakyat dan memelihara istri hingga sampat empat dan lima. Jelas-jelas dia sudah menantang Presiden Sukarno dalam “perang pidato” itu.
Baca juga: "Say Cheese, Mr. Aidit!"
Sukarno sendiri berusaha untuk tampil elegan dan tak terpancing oleh pidato Aidit. Sebelum meninggalkan Senayan, dengan lantang dia menegaskan bahwa tidak ada pembubaran terhadap HMI. Soal, organisasi kontra revolusioner, dia mengatakan sudah pasti soal itu akan ditangani oleh pemerintah.
“CGMI pun, apabila ternyata kontra revolusioner, juga akan dibubarkan!” kata Bung Karno.
Ketegangan pun terus berlangsung. Gegara soal HMI, hubungan Sukarno-Aidit memburuk. Hingga terjadi Gerakan 30 September dua hari kemudian.
Baca juga: Lima Versi Pelaku Peristiwa G30S
Tambahkan komentar
Belum ada komentar