Penyambung Lidah Sukarno dari UI
Peter Kasenda menembus sekat kelaziman di zaman Orde Baru. Menyemai pemikiran Sukarno di tengah kuatnya arus desukarnoisasi.
DI KALANGAN mahasiswa angkatan 1980-an, mempelajari pemikiran Bung Karno merupakan perbuatan tabu. Setidaknya hal itulah yang dialami Hilmar Farid yang kini menjabat Dirjen Kebudayaan. Pria yang akrab disapa Fay ini masuk Universitas Indonesia (UI) pada 1987 dan memilih jurusan Ilmu Sejarah.
“Itu pada puncak-puncaknya kekuasaan Orde Baru yang tentu kita tahu dilakukan Desukarnoisasi secara TSM (terstruktur, sistematis, dan masif),” kata Hilmar saat membuka seminar mengenang Peter Kasenda bertajuk “Bung Karno Sebagai Pewaris Zamannya” di Galeri Museum, Menteng, Jakarta Pusat, 27 Juni 2019.
Pun ketika di bangku SMA, lanjut Hilmar, dia tidak pernah mendengar soal ide kebangsaan Sukarno dan Marhanisme diajarkan. Apalagi mendengar soal gagasan Trisakti – yang dikemukakan Sukarno pada 1964 - dijadikan sebagai suatu landasan pembangunan. Di Kampus Kuning, Hilmar dan kawan seangkatannya mendalami pemikiran Sukarno justru dari seorang senior bernama Peter Kasenda melalui karya-karyanya. Hilmar dan Peter terpaut tujuh angkatan.
Peter Kasenda alumni sejarah UI angkatan 1980. Dia menulis skripsi tentang pemikiran Sukarno muda periode 1926—1933 bertajuk “Machtsvorming dan Machttsaanwending: Studi awal terhadap tulisan-tulisan Soekarno tahun 1926–1933”. Pada 2010, skripsi ini dibukukan oleh Penerbit Komunitas Bambu dengan judul Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926–1933. Namanya di kemudian hari di kenal sebagai sejarawan Sukarnois dan juga peneliti yang produktif. Peter Kasenda meninggal pada 10 September 2018 lalu. Karya-karya Peter menjadi rujukan bagi siapa saja yang hendak menggumuli pemikiran Bapak Proklamator itu.
Baca juga: Sejarawan Sukarnois Berpulang
“Waktu mahasiswa, kita dapat makalah kuliahnya (Peter) yang dipresentasikan itu sudah hebatnya bukan main. Itulah cara kita untuk belajar dan berpikir tentang sejarah secara lebih berani dan mulai mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berbeda dengan guru-guru kita,” ujar Hilmar.
Bagi Hilmar, sosok Peter bukan hanya sebagai guru tapi juga teman yang sangat akrab. Peter tidak segan ikut berkegiatan bersama para juniornya. Hilmar masih ingat bahwa Peter adalah pribadi yang rendah hati. Ketika itu, angkatan Hilmar mengadakan pameran buku-buku bekas dari pedagang Pasar Senen dan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang dibawa ke kampus untuk gelar dagangannya di Fakultas Sastra.
“Itu yang namanya Peter, dia senior waktu itu, sudah skripsi tapi skripsinya lama, termasuk mahasiswa abadi di kampus,” kenang Hilmar sembari berkelakar. “Dia sudah sangat senior tapi bersedia angkat-angkat kardus dan segala macam. Peter orang yang sangat humble yang membagi pengetahuannya kepada kita hingga sekarang ini.”
Sejarawan Taufik Abdullah yang juga ketua Akademi Jakarta juga menuturkan kisahnya. Taufik adalah salah satu penguji skripsi Peter Kasenda pada 1987. Dengan kritisnya, Taufik mengatakan bahwa dirinya seperti orang yang buta huruf sewaktu membaca skripsi Peter. Taufik menyarankan agar si mahasiswa yang sedang disidang itu memperbaiki gaya bahasanya supaya bisa dipahami oleh orang yang membaca. Bertahun-tahun berselang, Taufik baru menyadari seperti apa kualitas calon sarjana yang pernah dia uji tersebut.
“Kini tanpa gembar-gembor telah tampil sebagai ilmuwan muda yang kreatif dan bahkan juga teramat produktif. Ia adalah Peter Kasenda,” kata Taufik Abdullah.
Baca juga: Onghokham, Sejarawan yang Doyan Makan
Menurut Taufik, saat ini belum ada sejarawan Indonesia yang secara kuantitatif menyamai jumlah karya yang dihasilkan Peter Kasenda. Indikator kuantitatif digunakan Taufik Abdullah sebagai ukuran yang paling objektif. Taufik sendiri memiliki tujuh karya Peter Kasenda yang tersimpan dalam perpustakaan pribadinya. Buku-buku karya Peter itu antara lain: Bung Karno Panglima Revolusi (terbit 2014), Hari-hari Terakhir Sukarno (2012), Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926-1933 (2010), Soekarno di bawah Bendera Jepang 1942-1945 (2015), Zulkifli Lubis: Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI AD (2012), Hari-hari Terakhir Orde Baru: Menelusuri Akar Kekerasan Mei, 1998 (2015), Sarwo Edhie dan Tragedi 1965 (2015), Cendekiawan dalam Arus Sejarah (2018).
“Tetapi satu hal yang tidak bisa dibantah, Peter Kasenda adalah ilmuwan dan sejarawan Indonesia yang terbanyak menghasilkan karya tentang Proklamator Kemerdekaan Bangsa; Presiden Pertama Republik Indonesia,” pungkas Taufik.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar