Pencipta Neraka di Barat Jawa
Kisah sebuah kesatuan tentara Republik yang sangat ditakuti sekaligus dibenci militer Belanda.
GAR Soepangat (90) masih ingat insiden yang terjadi di Purwakarta pada 22 Oktober 1948. Sebuah kereta api logistik milik militer Belanda yang tengah bergerak dari Bandung menuju Jakarta tetiba terguling di kawasan Bendul. Sejumlah penumpang tewas seketika dan puluhan lainya mengalami luka-luka.
“Tentara Belanda marah dan besoknya langsung melakukan pembersihan. Sepuluh kawan kami berhasil mereka ciduk berkat petunjuk para pengkhianat,” ujar eks gerilyawan Republik di wilayah Purwakarta tersebut.
Sabotase terhadap kereta api rute Bandung-Jakarta memang kerap terjadi di wilayah barat Jawa. Pihak militer Belanda mensinyalir aksi tersebut dijalankan oleh suatu organisasi ekstrimis bernama SP 88 (Satoean Pemberontak 88) pimpinan seorang Letnan Kolonel TNI bernama Oesman Soemantri.
”Selain sabotase, SP 88 pun terbukti menjadi dalang di balik pemogokan para buruh kereta api jurusan Jakarta-Cirebon,” demikian laporan NEFIS (Dinas Intelijen Belanda) yang dilansir oleh Arsip Nasional Belanda dalam sebuah dokumen tertanggal 23 Oktober 1948. Siapakah sebenarnya SP 88?
Bermula dari Barisan Hitam
Sesuai kesepakatan Perjanjian Renville pada awal 1948, Divisi Siliwangi meninggalkan wilayah Jawa Barat. Namun, menurut Siliwangi dari Masa ke Masayang ditulis Sedjarah Militer Daerah Militer VI Siliwangi (Sendam VI), secara diam-diam Panglima Besar Jenderal Soedirman memerintahkan Siliwangi menyisakan sebagian kecil anggotanya di Jawa Barat untuk terus mengobarkan perlawanan.
Di Purwakarta, salah satu yang tetap bertahan adalah Field Preparation Barisan Hitam (FPBH), sebuah kesatuan campuran tentara dan lasykar. Di bawah pimpinan Letnan Kolonel Oesman Soemantri, sejak 1 Februari 1948 FPBH lantas mengubah namanya menjadi SP 88.
“Itu dilakukan untuk memberi kesan kita adalah kesatuan para pemberontak yang terlepas dari TNI,” ujar Gar Soepangat yang merupakan eks anggota SP 88.
Embel-embel angka “88” diartikan para anggota SP 88 sebagai simbol dari nama dua pemimpin Republik: Sukarno-Hatta. Angka 8 yang pertama adalah huruf S (sa), huruf kedelapan dalam afabet Jawa. Adapun 8 yang kedua adalah H, huruf kedelapan dalam alfabet Romawi.
“Jadi kami melakukan pemberontakan terhadap Belanda tetap mengatasnamakan Sukarno-Hatta, pemimpin Republik Indonesia,” ujar Soepangat.
Menurut Affandi Bratakoesoemah dalam Sejarah Gerilya SP 88, para pemimpin SP 88 sendiri menyamarkan nama mereka dengan menggunakan bahasa Sansekerta. Misalnya, Oesman Soemantri disamarkan menjadi Tritunggal sedangkan wakilnya A.S. Wagianto memakai nama Sang Dewata. Robert B. Cribb, sejarawan berkebangsaan Australia, merekam strategi penyamaran nama itu dalam bukunya Gangsters and Revolutionaries. Malah, menurut Cribb, bukan hanya mengadopsi nama-nama berbau Sansekerta, para komandan SP 88 pun kerap menggunakan nama-nama “berbau barat” seperti Phantom Bom.
Anggota SP 88 terbilang besar; ditaksir lebih dari 1.500 personel dengan kekuatan senjata sekitar 450 pucuk. Menurut Sudjono Dirdjosisworo dalam Siliwangi dari Masa ke Masa edisi III, pasukan ini terpencar di Jarong-Cibungur (Purwakarta)-Cikampek-Dawuan (Karawang). Soepangat malah menyebut wilayah operasi SP 88 lebih luas lagi. Selain Karawang dan Purwakarta, SP 88 beraksi di Bekasi, Jakarta Timur, Subang dan sebagian wilayah Cianjur Utara.
Dalam aksinya, SP 88 mengutamakan kecepatan dan kerahasiaan. Sesuai motto mereka “datang seperti angin dan pergi pun laksana angin”, sebisa mungkin para anggota SP 88 tidak menarik perhatian saat tengah menjalan aksi-aksinya.
“Pokoknya kami menciptakan neraka buat Belanda,” ungkap Gar Soepangat seraya terkekeh.
Organ Teror
Sepanjang tahun 1948, situasi Karawang dan Purwakarta mencekam. Aksi kelompok berseragam hitam yang menamakan diri SP 88 cukup membuat ciut nyali kaum bumiputra yang bekerja sebagai mata-mata atau pegawai pemerintah sipil bentukan Belanda. Menurut Cribb, di beberapa tempat seluruh kader pemerintah tingkat bawah bentukan Belanda tiba-tiba lenyap begitu saja.
“Bahkan ada rencana SP 88 menyerang rumah bupati Karawang dalam satu serbuan,” tulis Cribb.
Operasi kontra-intelijen menjadi spesialisasi SP 88. Dalam berbagai aksi, SP 88 tidak hanya melibatkan anggota laki-laki tapi juga perempuan. Salah satunya bernama Roekiah. Dia merupakan komandan intel SP 88 yang beroperasi di wilayah Cicariang, Purwakarta kota, Kembangkuning, Cikuya, Perkebunan Jatiluhur, Cilutung, Cilalawi, dan Cicariang. “Laporan-laporannya sangat valid dan berguna buat kesatuan,” kata Gar Soepangat.
Namun tak ada aksi SP 88 yang membuat polisi dan tentara Belanda sangat jengkel selain operasi agitasi-propaganda dan sabotase mereka. Mereka memasang puluhan bendera merah-putih di kota Purwakarta setiap menjelang peringatan Hari Kemerdekaan RI. Selain itu, SP 88 beraksi lewat coretan-coretan propaganda di tembok-tembok gedung dan keretapi. Penyebaran poster ancaman kepada mata-mata Belanda pun kerap mereka lakukan di berbagai pusat keramaian.
Gar Soepangat masih ingat bagaimana dia memimpin aksi corat-coret dan penempelan poster di dalam kota Purwakarta. Biasanya aksi itu dilaksanakan beberapa menit sebelum tengah malam atau lewat tengah malam. “Kami harus kucing-kucingan dengan patroli tentara Belanda,” kenangnya.
Usia SP 88 sendiri terbilang panjang. Ketika Divisi Siliwangi kembali ke Jawa Barat pada Desember 1948, eksistensi organ teror ini tetap dipertahankan. Mereka pun kembali menjadi andalan kekuatan militer Republik mengobrak-abrik pertahanan Belanda hingga tercapainya kesepakatan gencatan senjata pada 10 Agustus 1949.
“Usai komandan kami gugur karena ditembak secara misterius pada akhir 1949, Januari 1950 SP 88 secara resmi dibubarkan, “ungkap Gar kepada Historia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar