Pemuda Peranakan Tionghoa asal Palembang di Kongres Pemuda
Kwee Thiam Hong hadir di Kongres Pemuda tidak sekadar ikut-ikutan. Terpaksa mengganti nama karena anaknya sulit masuk universitas.
Malam Senin, 28 Oktober 1928, di gedung Indonesische Clubhuis, Kramat, Batavia. Para pemuda berkumpul, menyimak paparan wakil-wakil organisasi peserta Kongres Pemuda II tentang kepanduan, pergerakan pemuda, dan persatuan Indonesia. Kongres terbagi atas tiga sidang dan telah berjalan dua hari. Malam itu Kongres masuk agenda sidang terakhir.
Sugondo Djojopuspito, ketua Kongres, mendapat giliran bicara setelah paparan wakil-wakil organisasi permuda. Dia membacakan tiga keputusan Kongres: bertanah air Indonesia, berbangsa Indonesia, dan berbahasa Indonesia. Peserta Kongres menyetujui tiga keputusan itu secara bulat. Tak ada diskusi lagi. Peserta Kongres membaca ulang keputusan dengan nyaring.
Kemudian Wage Rudolf Supratman memainkan lagu Indonesia Raya dengan biola. Dolly, putri Haji Agus Salim, mengisi vokalnya. Peserta berdiri dan menyanyikannya bareng-bareng. Kongres pun selesai.
Peserta merayakan hasil kongres dengan cara dan kelompoknya masing-masing. Anggota Jong Sumatranen Bond (JSB) menggelar acara api unggun di daerah Tanah Tinggi, Batavia.
“Ternyata api unggun diserbu polisi Belanda, sehingga terpaksa bubar dan sebagian hadirin digiring ke Hopbiro (kantor polisi),” ungkap Kwee Thiam Hong dalam “Ada Juga Pemuda ‘Non-Pri’ dalam Sumpah Pemuda 1928”, termuat di Kompas, 25 Oktober 1978.
Kwee Thiam Hong kala itu remaja peranakan Tionghoa kelahiran Palembang. Umurnya 15 tahun dan duduk di MULO (setingkat SMP). Dia termasuk anggota JSB sekaligus peserta Kongres Pemuda II. Dia hadir bersama tiga orang kawannya: John Liauw Tjoan-hok, Oei Kay-siang, dan Tjio Dinkwie.
Baca juga: Kata Pemuda Zaman Kolonial tentang Sumpah Pemuda
Kwee diinterogasi oleh polisi semalaman di Hopbiro. Pertanyaan polisi berputar pada nama, alamat, dan jabatan organisasi Kwee. Terhadap pertanyaan jabatan organisasi, Kwee menjawab: “Pemukul genderang dalam kepanduan JSB.”
Nama Kwee dan kawan-kawannya jarang tersua dalam sejarah Kongres Pemuda. Padahal kehadiran mereka menandakan bahwa pemuda peranakan Tionghoa turut mendukung Sumpah Pemuda.
Aktif di JSB
Kwee datang ke Kongres tidak sekadar ikut-ikutan. Dia memiliki kesamaan pandangan dengan para pemuda penyelenggara dan peserta kongres. “Kami merasa senasib dan sependeritaan, menghadapi lawan yang sama, yaitu kolonialisme Belanda. Saya tidak benci Belanda lho, tapi yang kami lawan adalah stelsel kolonialismenya,” kata Kwee.
Baca juga: Tionghoa dalam Sumpah Pemuda
Kesadaran Kwee terhadap adanya kolonialisme muncul ketika dirinya merasakan sendiri diskriminasi di HBS (pendidikan setingkat SMP untuk golongan terpandang). Dia tidak betah bersekolah di HBS dan memilih pindah ke MULO. “Di MULO siswanya campur baur dari pelbagai daerah suku dan keturunan… Melahirkan suatu solidaritas yang mengatasi suku dan golongan,” cerita Kwee.
Kwee lantas bergabung dengan JSB. “Sebab saya wong Palembang, saya lahir di Palembang.” JSB berdiri pada 9 Desember 1917 di Batavia.
Bahder Johan, salah satu pendiri JSB, mengatakan bahwa tujuan JSB antara lain menghilangkan semua prasangka mengenai ras atau suku bangsa dan memperkuat ikatan di antara pemuda-pemuda Sumatra yang sedang belajar di perantauan. Demikian catat almarhum Magdalia, pengajar Program Studi Sejarah Universitas Indonesia, dalam Jong Sumatranen Bond.
JSB juga mengadakan kursus politik informal untuk mencapai tujuan lainnya, yaitu membentuk pemimpin di masyarakat. Pematerinya tokoh-tokoh pergerakan Nasional seperti H.O.S Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, dan Sukarno.
Baca juga: Organisasi Mahasiswa di Balik Sumpah Pemuda
Dari kursus-kursus politik itulah Kwee memperoleh pandangan tentang Indonesia merdeka. “Ketika itu kami sudah menghendaki Indonesia merdeka. Hanya waktunya belum dapat dipastikan,” kata Kwee dalam Tempo, 6 November 1982.
JSB tercatat sebagai salah satu organisasi penyelenggara Kongres Pemuda II. Ikhtiar JSB dan organisasi pemuda lainnya menggelar Kongres Pemuda II mengarahkan para pemuda ke tindakan kebangsaan yang lebih luas. Misalnya dengan membentuk organisasi persatuan pemuda bernama Indonesia Moeda pada 31 Desember 1930.
Tapi Kwee tidak lagi terlibat dalam peristiwa itu. Dia bilang tidak tertarik lagi terjun ke dunia pergerakan dan kepemudaan setelah Kongres. Dia absen selama beberapa lama dari dunia tersebut.
Jadi Intel Sjahrir
Menjelang kemerdekaan, ketertarikan Kwee pada gerakan kebangsaan mencuat lagi. Dia sangat kepincut dengan gagasan Sutan Sjahrir dan mengikuti diskusi-sikusi politiknya. “Mengagumi pikiran-pikiran sosialismenya Sjahrir, di belakang hari Thiam Hong menjadi anggota Partai Sosialis Indonesia,” catat Tempo.
Ketertarikan dan keterlibatan Kwee dengan gagasan Sutan Sjahrir tidak lepas dari lingkaran pergaulannya semasa sekolah MULO. Dia punya teman sekamar bernama Djohan Sjahroezah. Temannya ini kelak menjadi menantu Haji Agus Salim dan penggerak Partai Sosialis Indonesia.
Kedekatan Kwee dengan Djohan tergambar dalam peristiwa pembebasan Djohan pada masa Agresi Militer Belanda pertama (Juli—Agustus 1947). Belanda sempat menahan Djohan beberapa waktu. Kwee mengetahui penahanan ini. Dia melapor ke Haji Agus Salim. “Atas pertolongan mertuanya yang memang disegani lawan dan kawan itulah Djohan selamat,” lanjut Tempo.
Pembebasan ini melambungkan nama Kwee di hadapan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Kwee memperoleh tugas tidak resmi menjadi intel Republik dari Sutan Sjahrir. “Soalnya Belanda kan selalu bersikap lunak menghadapi orang-orang keturunan Tionghoa daripada terhadap orang Indonesia asli,” kata Kwee.
Setelah kekuasaan Sjahrir tumbang, aktivitas politik Kwee kembali samar. Dia lebih banyak terlibat urusan bisnis dan ekonomi. Dia mendukung penuh gagasan ekonomi koperasi ala Bung Hatta dan pembauran keturunan Tionghoa.
Baca juga: Koperasi Penyelamat Ekonomi Rakyat
Kwee mengganti namanya menjadi Daud Budiman pada 1965. Sebabnya bukan karena dia setuju pembauran, melainkan lantaran anaknya dipersulit masuk universitas. Melalui perubahan nama, anaknya baru bisa masuk universitas.
Kwee tak pernah suka namanya berganti. Menurutnya pembauran tak mesti berhubungan dengan perubahan nama. “Nama itu kan pemberian orangtua yang sudah dipikirkan masak-masak waktu lahir… Buat apa pakai nama Indonesia kalau jiwanya bukan Indonesia lagi?” ungkap Kwee.
Kwee lebih menekankan pentingnya pembauran melalui gagasan dan perilaku ketimbang lewat hal-hal formal dan lahir dari situasi terpaksa. Dia juga sempat menyayangkan masih adanya pengotakan garis rasial pribumi dan non-pribumi.
Kwee tutup usia pada 1997, setahun sebelum kerusuhan berbau etnis pada Mei 1998. Meski dia telah lama meninggal, kegusarannya masih terasa hingga sekarang. Terutama menjelang pemilu atau pilkada ketika politik identitas dimunculkan untuk memperoleh suara.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar