Pemuda Indonesia Berperang Melawan Nazi
Irawan Soejono turut serta memerangi Nazi saat Jerman menduduki Belanda. Pemerintah Belanda mengabadikan namanya sebagai nama jalan.
Di sebuah sudut di bilangan Osdorp, pinggiran Amsterdam, terhampar sebuah jalan yang tak terlalu panjang. Jalan itu merentang 200 meter, menghubungkan jalan Rudi Bloemgartensingel dengan Trijn Hullemanlaan dan diapit oleh dua jalan: Jacob Paffstraat dan Geertruide Lierstraat.
Pemerintah Kota Amsterdam memberi jalan itu nama: Irawan Soejonostraat. Irawan Soejono bukan sosok terkenal, terlebih bila dibandingkan tokoh-tokoh Indonesia lain yang dijadikan nama jalan di Belanda, seperti R.A. Kartini (Kartinistraat), Mohammad Hatta (Hattastraat), dan Sutan Sjahrir (Sjahrirstraat).
Nama Irawan diabadikan karena perjuangan dan pengorbanannya di negeri, yang ironisnya, menjajah tanahairnya. Jalan Irawan Soejonostraat diresmikan pada 4 Mei 1990, bersamaan dengan peringatan para pahlawan dan korban-korban pendudukan Nazi-Jerman.
Ayah Irawan, Raden Adipati Ario Soejono, orang Jawa yang menjadi menteri tanpa portofolio dalam kabinet Belanda yang dibentuk di pengasingan di London. Soejono meninggal pada 5 Januari 1943 di usia 56 tahun.
Irawan tiba di Belanda pada 1934 untuk kuliah di Leiden. Ketika Belanda diduduki Nazi-Jerman pada 10 Mei 1940, para pelajar Indonesia ikut berjuang melawan tentara fasis, antara lain menyiarkan propaganda anti-Nazi melalui koran bawah tanah.
Menurut sejarawan Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah, sesudah suratkabar bawah tanah, Feiten (Fakta) berhenti terbit, sebagai penggantinya diterbitkan suratkabar De Bevrijding (Pembebasan). Irawan masuk dalam jajaran redaksi bersama Pamoentjak, Alex Ticoalu, Soeripno, I.A. Mochtar, Rozai Koesoemasoebrata, dan FKN Harahap.
De Bevrijding terbit tiga kali seminggu, sampai Mei 1945. Oplahnya antara 3.500-20.000 eksemplar. Sampai Maret 1945, koran ini berbentuk stensilan, baru setelah itu cetakan. Dari suratkabar ini sendiri tak dapat diketahui bahwa koran ini diterbitkan oleh Perhimpunan Indonesia. Di Leiden, koran ini bekerjasama dengan koran-koran bawah tanah lain. Masalah suplai kertas dan listrik mengakibatkan diterbitkannya koran-koran gabungan. Koran ini dikirim dengan kereta api ke Den Haag dan Rotterdam.
Baca juga: Kisah Keluarga Soejono Melawan Fasisme
Sampai pada September 1944, De Bevrijding juga terbit di Den Haag di bawah redaksi Tamzil, Moewaladi, Sie Soe Giang, dan Oelam Simatoepang, yang sebelumnya bekerja di Feiten. Koran stensilan ini terbit tiga kali seminggu, bahkan belakangan setiap hari dengan oplah 4.000 eksemplar. Kendati namanya sama, isi koran De Bevrijding di Den Haag dan Leiden, berbeda. Ikatan kedua koran ditunjukkan oleh kata-kata geautoriseerde uitgave (diterbitkan dengan izin). Koran ini hampir seluruhnya berisi berita tentang jalannya perang. Hanya tiga kali muncul artikel tentang Indonesia.
De Bevrijding juga terbit di Rotterdam pada September 1944 di bawah redaksi Joesoep Moeda Dalam dan Gondo Pratomo. Penerbitan koran ini mendapatkan bantuan dari kelompok-kelompok perlawanan Belanda. Bahkan, Gondo Pratomo berhasil menyewa satu rumah untuk menyimpan mesin stensilan, yang juga mencetak koran bawah tanah, De Vrije Katheder edisi Rotterdam. Rumah ini juga menjadi tempat pertemuan dan persembunyian anggota Perhimpunan Indonesia.
Dalam in memoriam Irawan di majalah Indonesia, 1 September 1945, pemimpin Perhimpunan Indonesia, Soeripno menulis bahwa kalangan pergerakan bawah tanah menyebut Irawan sebagai “Henk VAN de Bevrijding” atau “Henk dari Pembebasan.”
Sebutan tersebut, menurut Soeripno sangat tepat karena “ia dibebani tugas urusan teknis majalah bawah tanah kami. Ia adalah ‘direktur’ dan ‘administratur’, ia mengurus mesin-mesin, kertas dan pesawat-pesawat radio, dan ia mengangkutnya dengan sepeda bak, kereta dorong, atau koper. Cuaca baik atau buruk, berbahaya atau tidak, malam larut, Henk senantiasa siap. Dengan saksama ia melaksanakan tugasnya, membuat dirinya termasuk salah seorang anggota Perhimpoenan Indonesia yang paling patut dipuji, dan menjadi nyawa ‘Pembebasan’.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar