Pemimpin
Apakah stok tokoh di negeri ini masih tersedia banyak?
DALAM sebuah diskusi muncul pertanyaan peserta tentang apa bedanya antara pemimpin zaman dulu dengan zaman sekarang. Jawaban pukul rata sama suka langsung dilontarkan dengan cara slebor sekenanya tapi ada juga benarnya: kalau pemimpin dulu dipenjara dulu baru berkuasa kalau sekarang berkuasa dulu baru dipenjara.
Lantas datang lagi pertanyaan apa bedanya negarawan dengan politikus? Sang penanya tentu sudah mengerti jawabannya. Dia hanya ingin memperkuat asumsi-asumsinya saja tentang beda jenis kepemimpinan itu. Karena berdasarkan pengetahuan umum yang tersebar entah lewat mana, ada opini yang menempatkan bahwa politikus itu kelasnya di bawah negarawan.
Anggapan itu makin kekal ketika orang melihat panggung politik sekarang bak arena sirkus. Jungkir balik jumpalitan berjuang buat kepentingan diri dan kelompoknya saja. Maka wajarlah muncul kekecewaan sambil berharap muncul sosok negarawan yang bakal mengatasi semua masalah. Tokoh yang dirujuk pun adalah tokoh yang hidup di masa lalu, yang dianggap memenuhi gambaran konstruksi moral yang semestinya dimiliki oleh setiap pelaku politik.
Persoalannya apakah pelabelan itu mewakili kenyataan sebenarnya: politikus selalu berada di bawah kelas negarawan; karena tak semua politikus bisa dikategorikan sebagai negarawan. Sedangkan sosok negarawan selalu dicitrakan sebagai manusia yang nyaris sempurna mengabdikan dirinya kepada kepentingan orang banyak dan model ideal dari pemimpin bangsa.
Sebutlah Tjokroaminoto, Semaun, Sukarno, Hatta, Tan Malaka mulanya juga politikus pada zamannya. Mereka berpolitik sejak zaman Hindia Belanda belum bernama Indonesia dan masih berada di bawah kekuasaan kolonialis.Mereka terjun ke arena politik dengan kesadaran bahwa berpolitik pada zaman itu adalah memperjuangkan cita-cita; menebar benih kesadaran kebangsaan; menegakkan kemerdekaan walau dengan resiko berakhir di penjara.
Yang dimiliki mereka, para pemimpin di era pergerakan, dan tak dimiliki oleh kebanyakan para pelaku politik di zaman sekarang adalah keontentikan. Tjokroaminoto rela “bunuh diri kelas” dari semua pegawai pemerintahan menjadi buruh pabrik gula Rogojampi dan kemudian menjadi pemimpin utama dari Sarekat Islam. Tan Malaka menjadi bohemian, berkeliling dunia melawan pemerintahan imperialisme dengan caranya sendiri. Semaun menjadi pemimpin buruh yang dielu-elukan kolega kulit putihnya di Belanda. Hatta dan Sukarno memilih jalan pergerakan yang tiada mendatangkan kekayaan dan meninggalkan kesempatan untuk jadi pegawai pemerintah kolonial.
Lalu datanglah kini sebuah masa di mana pemimpin bisa dikarbit. Cara kerennya: di-branding. Ideologi tak lagi diperlukan, seakan membuktikan nujum Daniel Bell bahwa ideologi telah mampus. Partai politik hanya perlu program kerja pro-rakyat, atau minimalnya terkesan pro-rakyat. Ketika saatnya Pemilu tiba, maka semua bersaing merebut hati rakyat. Namun ketika Pemilu selesai, saatnya bagi-bagi jatah kuasa. Mirip pekerjaan kartel seperti yang ditulis oleh ilmuwan politik Dodi Ambardi dalam bukunya Mengungkap Politik Kartel. Yang ada cuma transaksi, tak perlu hati nurani karena kalkulator jauh lebih bermanfaat.
Tapi toh rakyat tak bodoh-bodoh amat. Muak dengan kelakuan partai, muncul kesempatan bagi mereka yang berniat maju jadi kepala daerah lewat cara independen. Buktinya pada Pilkada DKI yang lalu pasangan Faishal-Biem berhasil mengalahkan pasangan calon yang diusung oleh partai besar cap pohon beringin yang telah berakar-urat sejak zaman Mayjen Suharto masih jadi komandan Kostrad.
Sosok-sosok pemimpin yang bersahaja yang bahkan mengatakan bahwa dirinya tak ada potongan jadi gubernur pun malah nyangkut di hati warga. Ini menjelaskan bahwa sebetulnya rakyat sudah bosan melihat cara main dan gaya yang itu-itu saja dari waktu ke waktu. Seorang menteri yang ngamuk-ngamuk di pintu tol sambil melempar-melempar kursi justru mendapat dukungan walaupun tentu cara itu kurang elok.
Inilah kenyataan dari sebuah negeri yang telah lama kehilangan sosok pemimpin. Sampai-sampai harus membuat istilah yang membedakan “politikus” dengan “negarawan” untuk membuat mitos bahwa menjadi politikus itu belum sempurna kalau tak bertabiat seperti negarawan. Kata orang bijak, “setiap zaman melahirkan pemimpinnya.” Hanya itulah harapan yang kita tunggu-tunggu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar