Pembantaian di Bali dan Protes Soe Hok Gie
Pasca Insiden Gerakan 30 September 1965, ribuan orang yang diduga anggota partai komunis dibunuh secara keji. Aktivis mahasiswa terkemuka pun mengecamnya sebagai bencana kemanusiaan yang tak terperi.
Tahun 1967, NBC TV menayangkan hasil liputan mereka di Indonesia pasca terjadinya Gerakan 30 September 1965. Menurut laporan salah satu jaringan televisi di Amerika Serikat (AS) tersebut, kurang lebih 300.000 orang yang diduga sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia (PKI) telah terbunuh di Indonesia. Itu terjadi akibat aksi balas dendam kaum non komunis, menyusul gagalnya kudeta yang dilakukan oleh PKI.
Salah satu tempat yang diliput oleh kru NBC TV adalah Bali. Di sana sepanjang 1966, puluhan ribu manusia telah kehilangan nyawanya. Proses pembunuhan mereka berlangsung secara sadis dan dingin. Sebagian korban bahkan terkesan “pasrah” dengan nasibnya sendiri.
“Mereka datang kepada Dewan Desa dan bertanya: kapan mereka akan dibunuh? Setelah diberitahu waktunya, mereka lantas minta izin untuk bersembahyang dulu di pura dan pamit kepada sanak keluarga. Besoknya mereka menyerahkan diri lalu digiring ke pemakaman desa dan langsung dipenggal dengan pedang,” ungkap Rata, seorang profesor muda yang juga ikut dalam operasi pembersihan orang-orang komunis di Bali.
Baca juga:
Dalam buku bertajuk Pengabdian Korps Baret Merah yang dikutip oleh Julius Pour dalam G30S: Fakta atau Rekayasa, disebutkan operasi penumpasan orang-orang komunis di Bali berawal pada 7 Desember 1965. Saat itu pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah pimpinan Mayor (Inf) Djasmin baru mendarat di Pulau Dewata tersebut.
“Seperti di daerah-daerah lain, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo mendampingi tim RPKAD yang bertugas ke Kodam XVII/ Udajana…” ungkap Pour.
Target pertama penumpasan dilakukan terhadap salah satu donatur Central Daerah Besar PKI Bali bernama I Gede Poeger. Pada 16 Desember 1965, ratusan mata warga Denpasar menyaksikan Poeger yang kedua tangannya terikat diseret oleh para prajurit RPKAD dan massa binaan tentara. Poeger yang berbadan gempal kemudian ditusuk dengan sebilah pisau komando hingga ususnya terburai, sebelum kemudian kepalanya ditembak sampai tewas seketika.
“Saya menyaksikan bagaimana massa di Bali membunuh Poeger…” ungkap Ben Mboi dalam Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja.
Menurut Mboi, dirinya sempat merasa aneh, bagaimana masyarakat Bali yang terkenal halus dan peramah, saat itu ternyata bisa berubah menjadi beringas dan sangat kejam. Dalam waktu yang lain, Mboi juga menyaksikan ada orang yang begitu saja dianggap komunis disiksa sampai mati bahkan ada yang dibakar hidup-hidup.
Kegilaan di Bali sepanjang Desember 1965-Januari 1966 memunculkan protes keras berbagai pihak. Salah satunya dari Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa anti Sukarno dan salah satu sekutu Angkatan Darat. Dalam artikelnya di Mahasiswa Indonesia edisi Desember 1967, Gie menyebut peristiwa di Bali sebagai malapetaka yang mengerikan dan “suatu penyembelihan besar-besaran yang mungkin tiada taranya dalam zaman modern ini.”
Pada awal tulisannya itu, Gie bilang bahwa dengan menyatakan protes bukan berarti dia membela Gestapu/PKI atau pun dapat membenarkan cara-cara mereka saat menghabisi lawan-lawannya.
“Perlakuan mereka yang kejam dan biadab, tentunya harus kita lawan dan kutuk, tetapi tidak sekaku dan sebiadab mereka pula…” ujar Soe Hok Gie.
Gie juga mengecam tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) Bali bernama Wedagama yang menyerukan orang-orang Bali untuk membunuh orang-orang PKI, karena menurutnya itu dibenarkan oleh Tuhan dan tidak akan disalahkan oleh hukum yang berlaku.
Menurut Gie, apa yang diserukan oleh para elit Bali seperti Wedagama hanya akan membuat pembunuhan-pembunuhan, penyiksaan-penyiksaan dan pemerkosaan-pemerkosaan semakin menggila. Itu dibuktikan dengan jatuhnya kurang lebih 80.000 jiwa (menurut perkiraan yang paling konservatif).
Guna menghentikan semua pembantaian tersebut, Gie menyerukan kepada Brigjen Sukertijo (Pangdam Udayana saat itu) untuk mengendalikan orang-orangnya dan memberlakukan aturan secara tegas dan tak pandang bulu.
“Jika mereka bersalah, adililah mereka dan hukum. Tetapi yang tidak bersalah supaya dibebaskan. Mereka adalah manusia, punya istri, anak, orangtua dan sahabat yang mengharap-harapkannya…” tulis Gie.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar