Partai Tentara Zaman Belanda
Di Indonesia Timur terdapat Persatoean Timoer Besar yang menghimpun anggota militer. Partai ini harapan pensiunan militer.
Banyak orang pribumi yang tidak lagi buta huruf setelah bekerja di tentara kolonial Hindia Belanda, Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL), dan Angkatan Laut Belanda Koninklijk Marine (KM). Setelah pensiun dari dinas militer, mereka hidup dari uang pensiun yang diberikan kerajaan.
Pada 1930-an, para pensiunan militer pribumi, terutama yang dari KNIL, banyak yang menghimpun diri di dalam Bond van Inheemsch Gepensioneerde Militairen (perkumpulan pensiunan militer). Perkumpulan ini berharap pemerintah kolonial memperhatikan kehidupan mereka. Mereka punya majalah Trompet yang rajin membahas kepahlawanan anggotanya.
Setelah Perang Dunia II pecah, Belanda tak bisa membayar uang pensiun mereka. Kehidupan menjadi sulit bagi mereka. Maka setelah Perang Dunia II selesai dan diikuti rusaknya perekonomian pasca-perang, para pensiunan itu berharap mendapat uang pensiun lagi. Mereka lebih memilih Belanda berkuasa lagi di nusantara meski Republik Indonesia (RI) sudah berdiri. Tentu karena Belanda lebih menjanjikan dalam hidup mereka daripada RI yang baru berdiri.
Setelah 1946, para purnawirawan KNIL dan KM di Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara dan sekitarnya banyak yang berhimpun di dalam Persatoean Timoer Besar (PTB).
“PTB adalah perhimpunan politik Indonesia Timur yang anggotanya terutama terdiri atas penduduk Ambon, Timor dan Manado. PTB berjuang untuk memperoleh status sendiri bagi daerah-daerah tersebut di dalam ikatan kerajaan,” catat Harry Poeze dkk. dalam Di Negeri Penjajah Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950.
Dekat dengan Belanda tentu akan membuat uang pensiun mereka jadi lebih dekat.
Ketua PTB adalah Lucas Polhaupessy. Koran Het Dagblad tanggal 30 Desember 1946 menyebut PTB menghimpunn banyak personel militer dari Angkatan Laut maupun KNIL. Namun ia menarik banyak orang hingga terus berkembang. Koran Nieuwe Courant tanggal 8 Februari 1947 menyebut PTB sudah memiliki cabang di Banjarmasin, Balikpapan, Hollandia (Jayapura), Pulau Timor, Kupang, dan Sumba.
Het Dagblad tanggal 24 Januari 1947 memberitakan, PTB pernah mengadakan rapat umum di Makassar. Ajudan De Fretes dari KNIL dan Sersan Fran Alexander Pandeirot Pitoi dari Angkatan Laut diundang sebagai pembicara. Dalam acara yang dihadiri 500 serdadu asal Ambon itu, banyak yang menentang kehadiran negara baru bernama Negara Indonesia Timur (NIT) karena dibentuk tanpa mendengar suara rakyat seperti mereka. Mereka juga menyatakan tak ingin bergabung dengan Republik Indonesia di Jawa.
Setelah terbentuk, NIT yang beribukota di Makassar dimanfaatkan banyak pihak, termasuk pendukung RI di Sulawesi seperti Arnold Mononutu. Di dalam parlemen NIT, Sersan Pitoi duduk di dalamnya. Koran Algemeen Indisch Dagblad tanggal 8 Februari 1947 menyebut Pitoi menjadi wakil PTB di parlemen.
Ketika RI, Belanda, dan BFO duduk bareng dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), perwakilan PTB turut hadir kendati bukan sebagai peserta resmi. Dalam konferensi di Den Haag itu, isu soal Ambon juga dibahas.
“Ada orang Ambon di dua delegasi Indonesia. Yang menarik bagi Ambon adalah dua isu terkait, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri dan keterwakilan PTB sebagai ‘kepentingan signifikan’. PTB menyadari bahwa mereka tidak dapat dengan sendirinya menjadi peserta konferensi tersebut, sehingga menuntut agar delegasinya menjadi bagian dari delegasi Belanda, karena mereka adalah warga negara Belanda dan ingin tetap menjadi bagian dari delegasi Belanda. Pertentangan PTB terhadap status quo konstitusional tidak menghasilkan apa-apa,” tulis Richard Chauvel dalam Nationalists, Soldiers and Separatists: The Ambonese Islands from Colonialism to Revolt, 1880-1950.
Pada 1949, setelah KMB berakhir, PTB bersekutu dengan Asosiasi Provinsi Kedua Belas Twaalfde Provincie (Twapro)—yang ingin menjadikan daerah Sulawesi Utara sebagai Provinsi ke-12 dari Kerajaan Belanda. Twapro dipimpin oleh pensiunan sersan KNIL Jan Mawikere. Trouw edisi 8 Oktober 1949 memberitakan PTB termasuk persekutuan yang menghendaki daerah di luar Jawa seperti Maluku dan Sulawesi menentukan nasib sendiri di luar Republik Indonesia.
Namun, PTB tak berumur panjang. Pada 1950, PTB sudah tak punya daya lagi lantaran wilayah-wilayah di dalamnya lebih banyak memilih bergabung ke dalam RI. Upaya Lucas Polhaupessy mengorganisir ratusan orang bekas KNIL dan KM ke dalam Commissie Rehabilitatie Ambonese Militairen en Schepelingen (CRAMS) tak banyak memberi berhasil.
Lucas akhirnya tinggal di Negeri Belanda. Dia menjadi seteru Ir. Johan Manusama, tokoh yang menduduki banyak jabatan penting di Republik Maluku Selatan (RMS). Nederlands Dagblad tanggal 21 Juni 1977 memberitakan bahwa Polhaupessy menuduh pemimpin RMS tidak berbuat apa-apa untuk rakyat, sementara pemimpin RMS menuduhnya sebagai pemimpin korup.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar