Park Chung Hee, Napoleon dari Korea Selatan
Diktator Korea Selatan ini pernah dituduh Komunis. Perang Korea membuat kariernya melesat hingga menjadi salah satu pemimpin paling berpengaruh di negerinya.
KETIKA Syngmen Rhee (1875-1965) belum lama menduduki kursi presiden Republik Korea Selatan pada 1948, pemerintahannya “dihebohkan” penangkapan seorang perwira muda di angkatan bersenjatanya. Nama perwira itu Mayor Park Chung Hee. Dia ditangkap karena dianggap terlibat dalam gerakan komunis.
“Pada 11 Noveber 1948, Park ditangkap di Seoul oleh tim investigasi militer atas tuduhan terlibat dalam kegiatan komunis di ketentaraan, termasuk keterlibatan dalam pemberontakan militer Yosu-Sunchon pada tanggal 19 Oktober 1948,” tulis Hyung-A Kim dalam Korea's Development Under Park Chung Hee.
Namun, Park beruntung karena tidak termasuk orang yang harus dihukum mati. Lalu, kendati dinonaktifkan, Park dibiarkan bekerja sebagai pegawai sipil di markas besar Angkatan Darat meski zonder gaji.
Tentu kehidupan Park amat berat karena dia sudah punya istri, Kim Ho Nam yang dinikahinya sejak 1935, dan seorang putri. Ketiadaan gaji memperparah hubungan rumah tangganya.
Namun Perang Korea (1950-1953) “menyelamatkan” Park. Tak hanya menjadi titik balik kariernya yang mandek, perang juga membuatnya makin melesat dan yang pasti, ekonomi keluarganya membaik. Mayor Park diaktifkan kembali sebagai perwira intelijen.
Sepanjang Perang Korea, pangkatnya naik dua kali. Pada September 1950, pangkatnya naik menjadi letnan kolonel dan tujuh bulan kemudian naik lagi menjadi kolonel. Ketika itu dia baru bertugas lima tahun di Angkatan Darat Korea.
Dari intelijen, Kolonel Park yang pernah menjadi wakil direktur Biro Intelijen Markas Besar Angkatan Darat ini kemudian bertugas di kesenjataan artileri. Pada 1952, dari infanteri dia beralih ke artileri, di mana dia pernah memimpin Korps Artileri Kedua dan Ketiga selama Perang Korea.
Park akhirnya menjadi mirip Napoleon Bonaparte, tokoh Prancis idolanya, yakni sebagai jenderal artileri. Menurut buku Biographical Sketch of General Chung Hee Park, Chairman, Supreme Council for National Reconstruction, beberapa bulan berakhirnya Perang Korea pada 1953, Park dipromosikan menjadi brigadir jenderal. Usianya kala itu baru 36 tahun.
Baca juga:
Setelah itu, dari Januari hingga Juni 1954, Park belajar Sekolah Artileri Amerika Serikat di Fort Sill, Oklahoma. Sejak 1950-an beberapa negara di Asia yang belum terjangkit komunis memang diberi kesempatan mengirimkan perwira menengahnya untuk belajar ilmu kemiliteran di Amerika Serikat. Seperti Indonesia, Korea Selatan pun mengirimkan banyak perwira mudanya. Ribuan perwira yang pernah belajar militer di Amerika itu kemudian kerap dicap sebagai “Anak Pentagon”.
Sebagai “Anak Pentagon”, karier Park aman. Dia tak lagi dicap komunis seperti pada 1948. Setelah sebentar memimpin Korps Artileri Kedua, Park dijadikan komandan sekolah artileri di Kwangju. Pada 1957, dia kembali memimpin infanteri, sebagai komandan jenderal Divisi Infanteri ke-7 di Kangwon. Pada 1959 dia sempat menjadi komandan logitik militer dan deputi operasi dari kepala staf angkatan darat.
Pada 1960, Presiden Syngmen Rhee yang memenjarakan Mayor Park –yang kini mayor jenderal dan sudah menjadi orang berpengaruh– pada 1948 terganggu kekuasaannya. Pemerintahannya lalu lengser karena Kudeta 16 Mei 1961.
Yun Bo-soon lalu naik menjadi presiden dan Chang Myon menjadi perdana menteri pada 29 Juli 1960. Waktu itu, Park punya sekutu dalam Komite Revolusi Militer.
Baca juga:
Mulanya Kepala Staf tentara Jenderal Chang Do Yong yang dianggap orang terkuat dan punya kendali pasca-kudeta. Namun dia kemudian tersingkir. Setelah Jenderal Chang ditangkap pada Juli 1961, Park mengendalikan keadaan hingga stabil lalu berkuasa di Korea Selatan. Rakyat Korea yang lelah dengan ketidakstabilan era Chang Myon membuat Park dibiarkan berkuasa.
“(Duta Besar Marshall) Green terkesan bahwa Jenderal Park tidak memimpin kudeta untuk kepentingan pribadinya,” catat Walter Jung dalam Gen. Park Chung-Hee and South Korea’s Han River Miracle.
Amerika Serikat (AS) selaku sekutu Korsel juga membiarkan Park berkuasa. Setelahnya, Park adalah pendukung AS dalam Perang Vietnam.
Dukungan AS membuat Park, yang sudah pernah tersandung kasus komunis, amat berhati-hati dalam menjalin hubungan dengan “saudaranya” di utara (Korut). Sebetulnya Park berupaya “mengharmoniskan” hubungan dengan Korut.
“Kim Il Sung dan Park Chung Hee membuat gerakan simbolis untuk meredakan ketegangan dengan mendeklarasikan pernyataan bersama untuk penyatuan damai yang independen dari intervensi asing pada 1971,” tulis Seungsook Moon dalam Militarized Modernity and Gendered Citizenship in South Korea.
Namun, Park ingin itu tidak terlihat oleh AS selaku “bosnya”. Alasan itu membuatnya tega mengeksekusi Hwang Tae-song, kawan masa kecilnya yang diam-diam diutus Kim Il Sung menyusup ke Korea Selatan untuk mengupayakan peningkatan hubungan kedua Korea.
Baca juga:
Park yang otoriter memang tak segan “membereskan” semua yang dianggapnya mengganggu atau berpotensi mengganggu pemerintahannya. Kim Chi-ha, penyair Katolik Korsel, meskipun tak sampai dieksekusi mati tapi terpaksa harus menghabiskan hampir seluruh dekade 1970-annya di penjara karena puisi “Five Bandits”-nya mengusik Park. Selain itu, ribuan orang harus mengalami kerja paksa tanpa bayaran berikut penyiksaan dan pelecehan di dalamnya selama kampanye pembersihan sosial.
Di lain pihak, Park yang terinspirasi Napoleon, mengubah negerinya ke arah kemajuan. Pada 1970, dia meluncurkan Saemaul Undong (Gerakan Desa Baru) yang memodernisasi perdesaan di negerinya. Selain menyediakan listrik dan air ke pertanian, kampanye itu juga menyediakan jalan beraspal dan mengganti atap jerami rumah-rumah desa dengan seng atau asbes. Yang terpenting, Park dengan reformasi ekonominya meletakkan fondasi bagi industrialisasi Korea Selatan yang sekarang amat maju di mana Park menjadi salah satu pemimpin paling berpengaruhnya.
“Jika etos Jepang membantunya membentuk kontur modernisasi, nasionalisme memberi Park lokomotif mobilisasi sosial ekonomi dan depolitisasi untuk cara-cara otoriternya dalam modernisasi dan industrialisasi,” kata buku The Park Chung Hee Era: The Transformation of South Korea.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar