Papua, Hadiah Ulang Tahun untuk Raja Belanda
Papua diumumkan sebagai bagian dari Kerajaan Belanda pada hari ulang tahun ke-56 Raja Willem I.
KONTAK pertama bangsa Belanda dengan tanah Papua terjadi pada era perdagangan abad ke-19. Saat itu, Belanda sedang menjalin hubungan dagang dengan orang-orang yang ada di wilayah Maluku. Kehadiran orang-orang Belanda di perairan Maluku ini tidak dapat dirasakan langsung oleh penduduk Papua.
Satu-satunya kesempatan untuk keduanya bertemu hanya saat Sultan Tidore meminta bantuan tentara Belanda memungut pajak dari penduduk di pantai Papua. Keterbatasan akses menuju Papua juga cukup merugikan Belanda karena mereka tidak dapat melakukan penjelajahan sumber daya alam di wilayah itu.
“Penduduk pribumi Irian (Papua) tidak pernah mengalami upaya dari pihak Belanda untuk sungguh-sungguh menegakkan kekuasaannya di bumi mereka,” tulis H.W. Bachtiar dalam “Sejarah Irian Jaya” dimuat Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk.
Barulah pada Juli 1828 untuk pertama kalinya pejabat Belanda mengupayakan penguasaan tanah Papua secara sungguh-sungguh. Di pantai selatan, sebelah utara Kepulauan Aru, berlabuh dua kapal Belanda. Salah satu kapal mengangkut A.J. van Delden, seorang komisaris pemerintah Belanda yang dikirim oleh Gubernur Belanda di Maluku untuk persiapan pembangunan benteng sebagai basis militer Belanda di tanah Papua.
Baca juga: Papua di Antara Konflik Dua Negara
Dalam catatan yang dibuat oleh peneliti Belanda, J. Modera (1830), disebutkan bahwa benteng itu nantinya akan menjadi simbol kekuasaan Belanda atas tanah Papua. Sehingga tidak ada satupun bangsa yang boleh menganggu wilayah tersebut. “Kecuali daerah-daerah yang dikuasai oleh Sultan Tidore”.
Van Delden, didampingi bawahannya J.J. Steenboom, memilih daerah di kaki gunung Lamenciri sebagai tempat mendirikan benteng. Ia beranggapan daerah itu mudah dijangkau kapal, iklimnya pun baik untuk para tentara, dan tanahnya sangat subur sehingga cocok untuk bertahan hidup. Setelah diputuskan, dimulailah pembangunan dengan menebang sebagian rimba di sana. Tidak lebih dari sebulan, benteng itupun akhirnya rampung.
Pada 24 Agustus 1828, bertepatan dengan ulang tahun Raja Willem I ke-56, para pejabat mengadakan upacara peresmian benteng Belanda pertama di tanah Papua, yang diberi nama Du Bus. Salah satu rangkaian pada upacara tersebut adalah pembacaan proklamasi oleh van Delden sebagai perwakilan Kerajaan Belanda di wilayah Papua. Bagaimana bunyinya proklamasi tersebut?
Dalam Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk karya Koentjaraningrat, dituliskan: “Atas nama dan untuk Sri Baginda Raja Nederland…. bagian daerah Nieuw-Guinea (sebutan Belanda untuk Papua) serta daerah-daerah di pedalaman yang mulai pada garis 141° BT di pantai selatan sampai ke Semenanjung Goede Hoop di pantai utara, selain daerah yang dimiliki oleh Sultan Tidore, dinyatakan sebagai hak milik”.
Setelah pembacaan proklamasi selesai dilakukan, bendera Belanda dinaikkan di puncak benteng dan sebanyak 21 dentuman meriam ditembakkan dari benteng tersebut. Maka sejak itu, resmilah Belanda menguasai Papua sebagai bagian dari jajahan kerajaan mereka.
Baca juga: Setengah Abad Papua Bersama Indonesia
Pihak Belanda kemudian membuat sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh Sendawa, Raja Namatotte; Kassa, Raja Lakahia; dan Lutu, penguasa Lobo dan Mawara. Ketiga orang itu masing-masing diangkat menjadi kepala daerah yang mewakili pemerintah Belanda di Papua. Selain mereka, diangkat juga 28 kepala daerah bawahan.
Sementara itu di Eropa, pembacaan proklamasi dari pegawai Kerajaan Belanda atas Papua dianggap sebagai tanda kedaulatan bagi tanah yang dimaksud. Tidak boleh ada yang mendekati atau beraktifitas di Papua tanpa seizin Belanda. Sehingga tanah Papua telah menjadi satu dengan tanah jajahan mereka di Hindia Belanda.
Namun rupanya kehidupan di Papua tidaklah seperti yang dibayangkan para pejabat Belanda. Keadaan iklim di sana tidak sesuai dengan mereka dan sangat mengganggu kesehatan para tentara. Banyak korban berjatuhan akibat penyakit khas wilayah itu.
Karena pertimbangan tersebut, pada 1835 pemerintah Belanda memutuskan membongkar benteng Du Bus dan secepat mungkin mencari tempat lain yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan para pejabat Belanda selama bertugas di Papua. Namun bukanlah perkara mudah menemukan tempat yang sesuai bagi mereka.
“Baru dalam tahun 1861 pemerintah Belanda terpaksa mengambil keputusan untuk tidak mendirikan benteng baru di Irian Jaya. Usaha pertama untuk menegakkan kekuasaan Belanda di Irian Jaya untuk sementara mengalami kegagalan,” tulis Bachtiar.
Baca juga: Papua dan Ambisi Presiden Pertama
Tambahkan komentar
Belum ada komentar