Pandemi Tuntut Pemaknaan Ulang Nasionalisme
Nasionalisme tak bisa lagi hanya bekerja sebagai slogan. Pandemi menuntut bangsa Indonesia memaknai ulang nasionalisme agar tetap relevan dengan zaman.
Nasionalisme bukanlah gagasan yang statis. Sepanjang sejarah, nasionalisme mengalami berbagai perubahan dan perkembangan makna. Dari satu gagasan abstrak yang dibayang-bayangkan para tokoh pergerakan, nasionalisme kini menuntut pemaknaan baru untuk menjawab tanda-tanda zaman yaitu pandemi.
Ide tentang nasionalisme Indonesia muncul pada dekade 1920-an. Kala itu, orang Indonesia mulai memiliki kesadaran sebagai sebuah bangsa. Kesamaan nasib, musuh, bahasa, dan cita-cita kemudian menumbuhkan gerakan perjuangan kemerdekaan yang bersifat nasional, bukan lagi kedaerahan.
Dari gerakan-gerakan nasional itu, ide untuk bersatu dalam sebuah negara muncul. Tonggaknya, Indonesia memproklamasikan diri pada 17 Agustus 1945.
Namun setelah itu, Indonesia yang dibayang-bayangkan ternyata masih dinamis sebagai sebuah ide. Menurut sejarawan Andi Achdian, dalam Dialog Sejarah “Memaknai Ulang Nasionalisme di Era Pandemi” di kanal Youtube dan Facebook Historia pada Selasa, 12 Januari 2021, pada awal terbentuknya negara-bangsa Indonesia, nasionalisme bersifat progresif.
“Dia maju. Dia merupakan sebuah antitesa terhadap kolonialisme dan imperialisme,” kata Andi.
Baca juga: Penggerak Nasionalisme
Memasuki dekade 1960-an, sambung Andi, nasionalisme berubah menjadi apa yang disebut sebagai office nasionalism atau nasionalisme resmi. Nasionalisme resmi ini seringkali diwujudkan pada upacara, baris-berbaris, dan hal-hal yang bersifat opresif atau menekan.
“Menjadi mundur sebenarnya, dalam artian praktik dari nasionalismenya tidak membebaskan,” jelas Andi.
Kemunduran makna nasionalisme makin jauh ketika Orde Baru berkuasa. Menyambung Andi, Ketua Umum Inovator 4.0 Indonesia Budiman Sudjatmiko menyatakan bahwa Orde Baru mengembalikan ciri pemerintahan kolonial Belanda. Bahkan, kolonialisme itu dikawinkan dengan feodalisme Nusantara sehingga melahirkan patrimonialisme, dan masih ditambah militerisme pada era Orde Baru.
“Orde Baru itu selama 32 tahun mempraktikkan sisa-sisa kolonial, cara berpikir kolonial yang memanipulasi loyalitas tradisi dalam wadah birokrasi modern, namanya patrimonialisme, ditambah militerisme,” ujar mantan aktivis reformasi ini.
Budiman mencontohkan, nasionalisme progresif yang seharusnya juga menghancurkan sisa-sisa struktur ekonomi feodalisme ternyata juga gagal menyusul lengsernya Sukarno. Sisa-sisa sistem ekonomi tradisional yang timpang itu justru dihancurkan oleh kapitalisme industri yang dibangun oleh Orde Baru.
Orde Baru memang kemudian runtuh juga. Namun Indonesia memiliki segudang pekerjaan rumah untuk membersihkan warisan-warisannya. Kini, pandemi menambah tantangan itu. Bagaimana Indonesia bisa menggunakan modal nasionalisme untuk menghadapinya?
Baca juga: Nasionalisme Dua Sisi
Dalam sejarah nasionalisme Indonesia, Andi menyebut bahwa satu temuan paling mendasar adalah organisasi. Organisasi merupakan senjata utama bangsa Indonesia membebaskan diri dan mewujudkan ide tentang nasionalisme itu sendiri. Hal ini juga yang membedakan gagasan era Kartini, misalnya, dengan gagasan-gagasan dekade 1920-an yang melahirkan banyak organisasi dari serikat buruh, organisasi kemasyarakatan, hingga partai politik.
Rezim Orde Baru, jelas Andi, memahami hal ini dan penghilangan hak-hak berorganisasi adalah hal pertama yang dilakukan untuk melanggengkan kekuasaan. Selama 32 tahun, tradisi berorganisasi bangsa Indonesia kemudian luntur.
Kehilangan tradisi berorganisasi itu kemudian melemahkan bangsa Indonesia. Ide-ide besar muncul, tetapi mewujudkannya melalui kerjasama dalam organisasi tidak terjadi. Hal yang sama juga terjadi dalam masa-masa kritis seperti pandemi.
“Kita bingung kan, gitu kan. Harus bagaimana untuk merespon ini? Bagaimana melakukannya? Beda dengan masyarakat yang punya tradisi berorganisasi yang lebih kuat ya,” jelasnya.
Dalam pandangan Andi, bentuk-bentul lama berorganisasi itu kembali muncul ketika pada masa awal pandemi, warga mengisolasi kampung-kampung dari orang luar. Namun tindakan alamiah ini masih terbatas karena memang tidak memiliki sistem organisasi yang kuat.
“Kenapa VOC yang cuma berapa gelintir orang bisa berkuasa di Nusantara? Satu jawabnya, mereka punya organisasi modern. Mereka membuat sebuah manajemen dalam menguasai imperium yang luas itu, di samping ada senjata dan lain sebagainya,” terang Andi.
Tradisi organisasi inilah yang harus kembali dibangun untuk menjawab tantangan-tantangan baru di tengah pandemi, jelas Andi. Tanpa tradisi berorganisasi, bayangan tentang masyarakat yang lebih maju akan selalu rentan.
Menimpali Andi, Budiman menekankan bahwa prinsip organisasi adalah kerjasama. Orang Indonesia, menurutnya, telah teruji selama ratusan tahun dalam kerjasama yang sifatnya tolong-menolong. Namun, Indonesia melum teruji dalam kerjasama untuk saling menguntungkan. Ini dapat dilihat dari gagalnya Indonesia membangun koperasi. Koperasi yang seharusnya menjadi wadah kerjasama produktif dan sama-sama menguntungkan, kini hanya menjadi bunyi-bunyian kosong.
“Bangsa Indonesia belum cukup teruji untuk kerjasama berorganisasi, berkolaborasi, dan berkoperasi untuk sesuatu yang produktif dan menghasilkan keuntungan,” ungkap Budiman.
Budiman mengingatkan bahwa generasi saat ini harus bisa berikir seperti Sukarno, Hatta hingga Tan Malaka dalam melihat tanda-tanda zaman. Untuk merdeka dari Belanda, mereka tidak berusaha untuk menghidupkan kembali Kerajaan Demak atau Kerajaan Majapahit, melainkan mengimajinasikan satu republik bernama Indonesia.
“Bisakah kita sekarang ini bergotong royongnya itu bukan sekadar bergotong-royong kembali ke masa lampau, sekadar menolong orang supaya tidak mati, tapi juga bergotong royong supaya sama-sama waras bareng, pinter bareng, sugih bareng?” Budiman melontarkan pertanyaan.
Sampai kuartal kedua 2020, Budiman menambahkan, hanya ada dua sektor yang pertumbuhannya positif: sektor digital dan pertanian. Dua sektor inilah, desa dan data, yang harus dikonsolidasikan untuk menjawab tantangan pandemi.
“Kalau kalangan startup digital ini menyatu dengan orang desa, merekalah pemilik masa depan peradaban. Pemilik masa depan negeri,” kata aktivis 1998 yang banyak memperhatikan sektor pedesaan itu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar