Noto Soeroto dan Ide tentang Aristokrasi
Menganggap orang Indonesia belum siap merdeka, Noto Soeroto usulkan konsep aristokrasi di bawah ratu Belanda.
Noto Soeroto tidak percaya bahwa kemerdekaan bisa diperoleh dengan cara revolusi. Melalui bukunya yang terbit pada 1931, Van Overheersching Naar Zelfregeering, Noto berargumen bahwa kemerdekaan bersifat evolutif.
Oleh karena itu, sambung Noto, masyarakat Hindia Belanda harus disiapkan dulu sebelum merdeka. Tidak bisa ujug-ujug merdeka. Dalam buku berisi dasar-dasar pemikiran Noto Soeroto tentang aristokrasi itu, Noto menganjurkan konsep pemerintahan harus dibangun dari desa. Parlemen tinggat desa harus dibentuk, kemudian memilih lurah hingga gubernur.
“Jadi fokus dia itu rakyat, bukan negara, kata dia,” ungkap Aminuddin TH Siregar dalam Dialog Sejarah “Noto Soeroto yang Terlupa” di saluran Facebook dan Youtube Historia, Selasa, 6 November 2020.
Negara yang dibayangkan Noto Soeroto adalah negara yang dipimpin oleh aristokrat. Sosok aristokrat yang ideal menurutnya adalah Mangkunegara VII yang terpelajar serta mengerti seni dan budaya. Namun, pemimpin tertinggi tetap ratu Belanda.
Baca juga: Noto Soeroto dan Sejarah Seni Rupa Indonesia
Konsep persemakmuran ini diperlukan karena menurutnya Indonesia belum bisa lepas dari Belanda. Perlu waktu untuk mentransfer teknologi dan ilmu pengetahuan dari Belanda ke orang Indonesia.
Noto juga menyebut bahwa Indonesia tidak bisa serta-merta mengambil demokrasi Barat. Karena demokrasi di Barat lebih dipakai untuk memenuhi tugasnya di bidang sosial-ekonomi.
“Sementara di Jawa, kata dia, karakternya harus lebih bersifat sosial etis. Itulah alasan kenapa kita menjadi Timur, kata dia gitu,” jelas Aminuddin.
Cita-cita Noto Soeroto, lanjut Aminuddin, adalah mengharmonikan Barat dan Timur.
Sejarawan Sri Margana menyebut bahwa untuk melihat kontroversi Noto Soeroto, titik tolak pentingnya adalah ketika ia dipecat dari Perhimpunan Indonesia (PI) pada 1924. Ia dikeluarkan dari organisasi pelajar Indonesia di Belanda itu karena dianggap menyimpang dari jalur-jalur organisasi. Musababnya adalah dua tulisan Noto di majalah Belanda. Dan yang fatal adalah tulisan Noto tentang Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz, pemimpin perang Aceh yang kemudian menjadi Gubernur Jenderal.
“Kesan dia terhadap jenderal inilah yang sebetulnya menjadi kunci untuk memahami sebetulnya sikap Noto Soeroto dan juga pandangan dia tentang Indonesia seperti apa,” kata Sri Margana.
Baca juga: Soerjopranoto Si Raja Mogok
Dalam tulisan itu Noto terlihat menaruh simpati pada Van Heutsz. Jenderal itu disebutnya mirip dengan tokoh Bima. Noto juga memujinya sebagai pribadi yang hebat, jujut, ksatria, sederhana, dan setia; berkebalikan dari orang Jawa yang menurutnya lembek dan tidak setia kawan. Selain itu, Noto juga menyebut bahwa penaklukan Van Heutsz atas Aceh berjasa menyatukan wilayah Indonesia dalam satu administrasi. Inilah yang menurutnya menjadi embrio Indonesia.
“Jadi benar, ini dikatakan tahun ’24 ketika kita belum merdeka. Tapi itu bagi orang-orang seperti Hatta, Cipto Mangunkusumo, dan sebagainya itu, orang-orang yang secara langsung berkonfrontasi dengan Noto Soeroto itu, menganggap menyimpang dari asas-asas partai yang non-kooperatif untuk mencapai Indonesia merdeka,” jelas Margana.
Menurut Margana, ide pokok Noto Soeroto ialah bekerjasama. Ia tidak setuju konfrontasi akan mewujudkan kemerdekaan karena dalam pandangannya orang Indonesia sendiri belum siap.
Saat itu, di Hindia Belanda telah banyak didirikan universitas atau sekolah-sekolah yang melahirkan banyak insinyur. Noto menyoroti bahwa orang-orang ini hanya akan pandai membangun infrastruktur, bukan mental.
“Bagaimana mentalitas itu dipupuk, bagaimana nalar dan kekuatan mental itu dipupuk, dia mengusulkan pembangunan universitas yang fokus pada pelajaran bahasa, sastra dan seni. Itu menariknya. Bahwa bahasa, sastra dan seni itu memang belum ada lembaga tersendiri pada masa itu,” sambung Margana.
Baca juga: Ki Hajar dan Sekolah Liar
Lulusan bahasa, sastra dan seni diharapkan dapat membangun mentalitas bangsa Indonesia dan dapat melahirkan orang-orang yang bisa duduk di pemerintahan. Namun, Noto memang tidak mengatakan adanya kemerdekaan. Sekali lagi, konsepnya adalah bekerjasama dengan pemerintah Belanda.
Berangkat dari konsep itu, Noto meminta kepada pemerintah Belanda agar lebih banyak lagi orang Indonesia yang diangkat dalam Volksraad agar suara-suara orang Indonesia lebih menentukan.
Menurut Margana, ide-ide politik Noto ini bisa dipahami karena latar belakangnya di masa lalu. Politik konfrontasi ternyata membuat muak Noto. Ia merasa menjadi korban dari perang dan konflik internal yang disebabkan oleh konfrontasi dengan Belanda seperti pada Perang Jawa yang dipimpin Diponegoro.
“Secara psikologis dia memahami benar sebagai anak bangsawan bagaimana keluarga mereka sudah dipecah belah. Bagaimana orang Jawa, aristokrasi Jawa terpecah belah karena konfrontasi-konfrontasi yang menggunakan kekerasan seperti itu. Berdarah-darahlah istilahnya,” terang Margana.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar