Nawaksara Ditolak, Terbit TAP MPRS XXXIII/1967
Menjerat lewat aturan untuk mendongkel Sukarno, lalu menaikkan Soeharto menjadi presiden.
SILATURAHMI kebangsaan yang dihadiri Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri dan perwakilan keluarga Presiden RI ke-1 Sukarno dihelat pimpinan MPR RI hari ini, Senin, 9 September 2024. Selain Megawati, hadir pula di Ruang Delegasi, Gedung Nusantara V MPR/DPR/DPD RI itu Guntur Soekarnoputra sebagai perwakilan keluarga Bung Karno.
Dalam pertemuan itu, Ketua MPR Bambang Soesatyo bersama pimpinan MPR lain menyerahkan surat pimpinan MPR tentang dicabutnya TAP MPRS Nomor 33/MPRS/1966. TAP MPRS Nomor 33 produk hukum yang mengakhiri kekuasan Sukarno sebagai presiden. Ia merupakan "kunci penyelesaian" kemelut politik tanah air yang membara sejak G30S meletus tahun 1965.
"Huru-hara 1965 menjadi puncak ketegangan PKI dan TNI-AD. Dalam pandangan AD, PKI adalah dalang. Sebaliknya, PKI menilai oknum jenderal di AD sebagai penyebabnya. Kekuasaan Sukarno melemah, sedangkan AD menguat. Sehingga mudah bagi mereka untuk menyingkirkan PKI selama-lamanya dalam ranah kekuasaan di Indonesia," tulis Hendaru TH dalam "Palu Arit dan Baju Hijau", Historia No. 26 Th. III.
Setelah G30S, kursi kepresidenan Sukarno tergoyang. Kekuatan politik di Indonesia saat itu mulai beralih ke Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto yang terus meningkat pengaruhnya. Dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 (baca: Supersemar) yang didapatkannya dari Sukarno, Letnan Jenderal Soeharto kian nyata sebagai penguasa kendati jabatan presiden secara resmi masih di tangan Sukarno. Soehartolah yang menjadi harapan kaum yang ingin Sukarno turun.
Buntut dari perseteruan Sukarno-Soeharto itu antara lain adalah seringnya muncul demonstrasi. Mahasiswa yang mengatasnamakan rakyat pada 1966 memunculkan Tritura (tiga tuntutan rakyat), berisi: pembubaran PKI, perombakan kabinet Dwikora, dan turunkan harga.
MPRS yang diketuai Jenderal Abdul Haris Nasution pada 1967 mengadakan Sidang Istimewa (SI) untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Sukarno. Nasution berseberangan dengan Presiden Sukarno sejak pra-G30S. Pangkalnya, Nasution yang anti-komunis tidak setuju pada Sukarno yang menganakemaskan Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Jenderal Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat dan orang pilihan Washington, menyatakan kepada Duta Besar Howard Jones pada 1960 bahwa militer tidak akan pernah membiarkan PKI turut serta di level eksekutif pemerintahan,” tulis Vincent Bevins dalam Metode Jakarta: Amerika Serikat, Pembantaian 1965, dan Dunia Global Kita Sekarang.
Sukarno lalu memberikan pidato pertanggungjawabannya dalam SI MPRS. “Nawaksara”, demikian dia memberi judul pidatonya itu, yang disusul dengan “Pelengkap-Nawaksara”.
MPRS menolak pertanggungjawaban tersebut. Pada 12 Maret 1967, MPRS mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomor 33/MPRS/1967.
“Tidak memenuhi harapan Rakyat pada umumnya. Anggota-anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara pada khususnya, karena tidak memuat secara jelas pertanggungan-jawab tentang kebijaksanaan Presiden mengenai pemberontakan kontra-revolusi. G-30-S/PKI beserta epiloognya, kemunduran ekonomi dan kemerosotan akhlak,” demikian kata TAP MPRS tersebut merespon pidato “Nawaksara” dan “Pel-Nawaksara”.
Tap MPRS tersebut juga berpendapat bahwa ada petunjuk-petunjuk bahwa Presiden Sukarno telah melakukan kebijaksanaan yang secara tidak langsung menguntungkan G-30-S/PKI dan melindungi tokoh-tokoh G-30-S/PKI.
Orang-orang yang disebut “ tokoh-tokoh G-30-S/PKI” itu bukanlah para perwira yang terlibat dalam penculikan para jenderal Angkatan Darat pada dinihari 1 Oktober 1965, yang dikenal sebagai Gerakan 30 September 1965 (G30S) pimpinan Letnan Kolonel Untung Syamsuri. Kebetulan, Untung adalah komandan batalyon Kawal Kehormatan I Resimen Tjakrabirawa yang menjaga keselamatan Presiden Sukarno sejak 1962.
Orang-orang sohor dalam Kabinet Dwikora yang dituduh “ tokoh-tokoh G-30-S/PKI” itu lalu pada Maret 1966 ditangkapi. Mereka yang ditangkap adalah Wakil Perdana Menteri I Dr. Subandrio, Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh, Menteri Urusan Bank Sentral Jusuf Muda Dalam, Menteri Pengairan Rakyat Ir. Surachman, Menteri Negara Oei Tjoe Tat, SH, Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Sumardjo, Menteri Urusan Listrik dan Ketenagaan Ir. Setiadi Reksoprodjo, Menteri Pertambangan Armunanto, Menteri Perburuhan Soetomo Martopradoto, Menteri Kehakiman Astrawinata SH., Menteri Penerangan Mayor Jenderal Achmadi, Menteri Transmigrasi dan Koperasi Drs. Achadi, Gubernur DKI Mayor Jenderal Dr. Soemarno Sosroatmodjo, Menteri/Sekjen Front Nasional JK. Tumakaka, Menteri Khusus urusan pengamanan Ibukota Letkol Imam Sjafei.
Kebanyakan dari mereka tak ada kaitannya dengan PKI –yang dituduh sebagai otak peristiwa berdarah G30S– dan tak satu pun tahu, apalagi ikut serta dalam penculikan para jenderal Angkatan Darat dini hari 1 Oktober 1965. Hanya Armunanto yang pernah punya kaitan dengan PKI. Itu pun sudah lama karena ketika penculikan terjadi, Armunanto sudah tidak di PKI tapi jadi pimpinan Partindo. Oei Tjoe Tat juga orang Partindo. Menurut Asvi Warman Adam dalam Menguak Misteri Sejarah, ke-15 menteri itu sejatinya pendukung Sukarno. Mereka loyalis yang harus dihabisi untuk melemahkan Sukarno.
Hal terpenting bagi pembuat TAP MPRS Nomor 33/1967 itu adalah, mencabut kekuasaan Sukarno.
“Presiden Sukarno telah tidak dapat memenuhi pertanggungan-jawab konstitusional dan telah tidak dapat menjalankan haluan dan putusan MPRS,” kata TAP MPRS tersebut.
Selain pencabutan kekuasaan, TAP MPRS tersebut juga membatasi hak politik Sukarno.
Pasal 3 TAP MPRS itu menetapkan, “Melarang Presiden Sukarno melakukan kegiatan politik sampai dengan pemilihan umum dan sejak berlakunya Ketetapan ini.
Kelanjutan jalannya roda pemerintahan kemudian diatur dalam pasal berikutnya oleh TAP MPRS tersebut. Dalam pasal 4 TAP MPRS No. 33/1967 ditegaskan: “Menetapkan berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) No. XV/MPRS/1966, dan mengangkat Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum.”
Nasib Sukarno yang dijadikan pesakitan oleh TAP MPRS tersebut juga diatur. Pasal 6 TAP MPRS itu menyebut: “Menetapkan penyelesaian persoalan hukum selanjutnya yang menyangkut Dr. Ir. Sukarno, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, dan menyerahkan pelaksanaannya kepada Pejabat Presiden.”
Nasib Sukarno pun berada di tangan Soeharto, salah satu jenderalnya yang pernah dia juluki “kopig”. Dengan demikian, inti dari Tap MPRS Nomor 33/1967 itu adalah pendongkelan Sukarno sebagai presiden dengan alasan tidak sesuai mandat dan tidak menjalankan haluan MPRS, mengaitkan Sukarno dengan G30S, dan menaikkan Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden RI.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar