Nasib Mahasiswa Indonesia di Jepang Pasca Perang
Perjalanan pulang warga Indonesia yang tertahan di Jepang mendapat bantuan dari pihak Sekutu. Berbagai cara dilakukan oleh mereka untuk supaya cepat sampai tanah air.
Pada 19 Agustus 1945, kabar kemerdekaan Indonesia sampai juga di Jepang. Perasaan senang, sedih, bingung, bercampur di benak semua warga Indonesia di sana. Mereka cukup sulit merespon kabar tersebut. Salah-salah mereka akan mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari warga Jepang. Sebagian kecil orang memilih diam. Seolah tidak pernah mendengar kabar tersebut.
Kelompok itu umumnya hidup nyaman, dan telah membangun keluarga di Jepang. Seoarang alumni sekolah di Jepang, Sudibjo Tjokronolo, dimuat Suka Duka Pelajar Indonesia di Jepang, menyebut banyak mahasiswa yang terlanjur senang hidup di negeri para Samurai tersebut. Jepang yang berhasil memukul mundur Rusia dianggap sejajar dengan bangsa Eropa. Semangat nasionalisme mereka disebut menjadi contoh yang baik.
Baca juga: Nasib Orang Indonesia di Jepang Pasca Perang
Sementara bagi kelompok lain, Jepang tidak bisa begitu saja menggantikan Indonesia. Mereka tetap berhasrat untuk kembali ke keluarga di tanah air. Kelompok ini bersedia memakai segala cara untuk pulang. Meski harus dengan cara tercepat nan berbahaya: meminta bantuan pihak Sekutu. Sejarawan Aiko Kurasawa mencatat keberadaan mereka lebih besar dibanding kelompok yang ingin menetap.
Dalam bukunya Sisi Gelap Perang Asia, Aiko menyebut repatriasi orang-orang Indonesia itu melalui proses yang tidak mudah. Mereka harus bisa meyakinkan pemerintah Belanda kalau Jepang tidak memengaruhi mereka untuk melawan pihak Sekutu. Pada 22 September 1945, Letjen Oyen dari KNIL mengirim sepucuk surat dari Manila, Filipina kepada General Head Quarter (Markas Besar) tentara Sekutu di Tokyo.
“Banyak orang Indonesia pergi ke Jepang untuk belajar secara sukarela. Diharapkan bahwa pemerintah Hindia Belanda jangan memulangkan mereka bersama dengan tawanan perang dan orang sipil yang diinternir, tetapi menahan di Jepang sampai diadakan screening terhadap masing-masing orang,” demikian bunyi surat itu.
Baca juga: Pelajar Indonesia Terlibat Perang Jepang
Proses screening pada dasarnya dilakukan untuk melihat sejauh mana keterlibatan orang-orang Indonesia dengan pihak Jepang. Sekutu mencoba menjauhkan para mahasiswa itu dari propaganda Jepang. Di lain pihak, proses itu juga dilakukan untuk membatasi orang-orang yang pro-Indonesia, terutama bagi mereka yang sebelum ke Jepang telah terlibat di dalam gerakan politik tertentu.
Berdasar hasil survei badan intelijen Sekutu di Jepang, diketahui ada dua orang Indonesia yang berbahaya karena anti-Belanda, yakni Majid Usman dan Mahjuddin Gaus. Menurut sejarawan Universitas Waseda Ken’ichi Goto dalam Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia, keduanya berasal dari Sumatera Barat. Usman belajar ilmu hukum di Universitas Meiji, sedangkan Gaus belajar kedokteran di Universitas Jikei. Mereka sangat vokal menyuarakan pandangan tentang orang-orang Belanda. Aktivitasnya membuat golongan anti-Belanda semakin besar di Jepang.
“Mereka pasti dipengaruhi oleh fasisme anti-Belanda selama tinggal di Jepang. Mungkin tidak masalah kalau memulangkan kaum intelektual ini ke Jawa dan Sumatera. Lagi pula, kalau kaum yang dimobilisasi oleh musuh bisa pulang tanpa kesulitan, hal ini akan menimbulkan kejutan bagi pihak yang ditindas oleh penjajah dan menderita,” tulis Menteri Dalam Negeri Hindia Belanda seperti dikutip Aiko.
Menjadi Warga Jajahan
Satu syarat penting yang harus dipenuhi para mahasiswa Indonesia jika ingin keluar dari Jepang adalah memiliki paspor untuk urusan imigrasi. Sayangnya mereka yang datang ke Jepang selama perang tidak mempunyai paspor atau surat semacam itu. Kebanyakan dari mereka datang bersamaan dengan urusan pemerintah Jepang, sehingga di masa lalu syarat itu tidak wajib dipenuhi.
Baca juga: Pelajar Indonesia Berjuang di Jepang
Pemerintah Indonesia juga tidak bisa berbuat banyak. Tidak adanya kantor perwakilan di Jepang membuat pemerintah tidak bisa turun tangan mengatasi persoalan tersebut. Sadar akan kekurangan negara barunya, kata Aiko, warga Indonesia di Jepang telah lama mencari informasi melalui Kedutaan Besar Swedia yang mewakili kepentingan Belanda sebelum adanya Kantor Misi Militer Belanda di Jepang.
“Mereka hanya bisa mohon untuk memperoleh paspor Belanda. Untuk itulah, mereka harus datang ke Kantor Misi Militer Belanda dan mengakukan diri sendiri sebagai onderdaan (baca: warga di bawah kuasa Belanda). Namun, ada kelompok yang menganggap hal itu tidak pantas. Keraguan pun menyebar di antara mahasiswa Indonesia,” kata Aiko.
Tentang menjadi onderdaan Belanda, perwakilan Serikat Indonesia di Jepang pernah mengirimi Perdana Menteri Sutan Sjahrir surat pada September 1946. Dia menanyakan apakah jika status onderdaan diterima mereka dianggap melawan kesetiaan negara dan dicap sebagai pengkhianat negara atau tidak. Mengingat tidak ada lagi cara untuk mereka pulang ke Indonesia. Ironisnya, surat itu tidak pernah berbalas. Aiko menduga surat dari Serikat Indonesia itu sampai terlebih dahulu di tangan perwakilan Belanda, sehingga tidak pernah tersampaikan ke pemerintah Indonesia.
Menumpang Kapal Belanda
Pada November 1946, melalui Perjanjian Linggarjati, Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia di Jawa dan Sumatera. Di sinilah kesempatan mahasiswa Indonesia untuk pulang. Belanda secara remsi memperbolehkan para mahasiswa di Jepang ke Tanah Airnya. Kesempatan ini menjadi yang terakhir dan satu-satunya. Jika terlewat, mereka harus tinggal di Jepang tanpa bantuan biaya apapun.
Pemerintah Belanda menyiapkan kapal dari Java China Paketvaart Lijen, bernama Cibadak. Kapal itu direncanakan berangkat sebanyak empat kali dari wilayah Kobe sepanjang 1947 (Februari, Maret, Mei, dan Agustus). Kepulangan terbesar mahasiswa Indonesia, hampir 100 orang, terjadi di bulan Februari. Sementara sisanya tersebar di tiga kloter selanjutnya.
Baca juga: Penyintas Bom Atom Hiroshima dari Indonesia
“Di antara mahasiswa Indonesia, masih ada rasa keberatan untuk pulang dengan kapal Belanda, tetapi di lain pihak, juga ada yang berpendapat bahwa mereka wajib pulang secepat mungkin dengan paspor Belanda agar bisa menyumbang perjuangan kemerdekaan,” tulis Aiko.
Berdasar hasil wawancara dengan mahasiswa yang menumpang kapal Cibadak, Aiko Kurasawa memperoleh informasi bahwa selama di kapal mahasiswa Indonesia ditempatkan di dek kapal. Nahkoda kapal mengira mereka adalah romusha. Setelah melakukan protes keras, akhirnya mereka dipindahkan ke kabin.
Kapal Cibadak tiba di Tanjung Priok sekitar akhir 1947. Para penumpang asal Indonesia langsung diserahkan kepada Palang Merang Indonesia. Mereka dikembalikan ke daerahnya masing-masing. Ken’ichi Goto mencatat sejumlah mahasiswa segera menyumbangkan diri ke pemerintah RI. Diketahui empat orang di antaranya menjadi anggota TNI. Menurutnya, hal itu membuktikan semangat patriotisme mahasiswa Indonesia dari Jepang.
Lantas bagaimana nasib mahasiswa yang tidak ikut pulang pada 1947? Menurut Aiko Kurasawa kebanyakan dari mereka berhasil menamatkan pendidikan di Jepang sambil bekerja di kantor-kantor Sekutu. Sewaktu pulang ke Indonesia tahun 1950-an, setelah penyerahan kedaulatan, mereka mendapat sambutan baik dari pemerintah Indonesia. Juga memperoleh posisi baik di pemerintahan, karena pemilik gelar sarjana masih cukup langka.
“Mereka mengambil peranan penting dalam hubungan dengan Jepang pada tahun 1950-an,” kata Aiko.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar