Moerad, Sjahrir, Hatta dan Persahabatan yang Terlupakan (2)
Di tengah nama besar kedua sahabatnya, sosialis sejati itu menapaki hidupnya yang penuh perjuangan hingga dia berjumpa dengan kematian.
Di Digul, Moerad hidup dalam situasi pengasingan yang tentu saja jauh dari kenyamanan. Kepada anak-anaknya, dia pernah berkisah bagaimana liarnya alam di tanah Papua itu. Selain gangguan nyamuk malaria dan binatang berbisa seperti ular batik, para digulis pun harus menghadapi kerasnya perlakuan petugas-petugas yang dibayar oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengawasi mereka.
“Banyak yang terkena malaria. Namun tidak diobati tapi malah ditembak Belanda,” ungkap Ida menukil ceritanya ayahnya.
Masa kegetiran itu berlangsung hingga tentara Jepang masuk ke Hindia Belanda pada awal Maret 1942. Suasana sedikit berubah. Terlebih ketika menjelang 1943, Moerad dan rekan-rekannya didatangi Ch. O. van der Plas, seorang pejabat tinggi Hindia Belanda yang berpengaruh. Kepada mereka, Van der Plas meminta para digulis untuk ikut melawan fasisme dari Australia. Upaya itu sebenarnya untuk menghindari bergabungnya para digulis dengan bala tentara Jepang.
Sementara itu Jepang membebaskan Hatta dan Sjahrir dari pengasingan Hindia Belanda di Sukabumi. Praktis karena jarak mereka sangat berjauhan, Moerad yang berada di Australia putus kontak dengan dua sahabatnya itu. Syahdan di Sukabumi, Hatta dan Sjahrir masih melakukan kontak dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti Amir Sjarifudin, Dr. Tjipto Mangunkusumo, Sastra dan Subagyo. Namun keduanya kemudian berpisah arah perjuangan: Hatta menjalankan politik kooperasi dengan Jepang sementara Sjahrir melakukan gerakan bawah tanah melawan Jepang.
Baca juga: Menjadi Gila Akibat Isolasi di Digul
Suasana Australia yang penuh dengan pengawasan dari orang-orang Belanda tak menurunkan hasrat berorganisasi para digoelis. Moerad bersama Rantulalo, Boerhanoeddin, Soeka, Maskoen, Djamaloeddin Thaib, Raden Mohamad Singer (mantan Wedana Digul), Alibasah Winanta, dua letnan Angkatan Laut Kerajaan Belanda bernama M. Nelwan dan Abdoelrachman Atmosoediredjo berkumpul pada 24 Mei 1944 untuk membentuk sebuah organisasi. Tiga bulan kemudian Van der Plas merestui organisasi yang mereka rancang dan baru pada 6 Agustus 1944 Serikat Indonesia Baroe (SIBAR) pun berdiri di Australia.
Seiring dengan itu, angin perubahan berhembus di palagan Pasifik. Militer Jepang yang terkenal kuat itu ternyata bisa dikalahkan oleh Sekutu. Bersama 1.400 digulis lainnya, Moerad pun bertolak ke Jawa dengan menumpang kapal Esperence Bay berbendera Inggris. Demikian menurut penuturan Soewarsono, Herman Hidayat, Ana Windarsih, dkk dalam Jejak Kebangsaan: Kaum Nasionalis di Manokwari dan Boven Digoel.
Setibanya di Tanjung Priok pada Oktober 1945, Moerad yang memendam rindu tak tertahankan kepada keluarga langsung bertolak ke Parungseah di Sukabumi. Namun betapa kecewa dan sedih dirinya ketika mengetahui sang istri yang dinikahinya pada 18 September 1939 ternyata sudah meninggal dunia.
Merasa tak harus berpanjang-panjang dalam kesedihan, Moerad pun melakukan kontak dengan Edeng Abdullah di Sukabumi kota. Edeng adalah tokoh yang dikirim ke Jakarta bersama Djakaria saat berita proklamasi berhembus dan memastikan tentang adanya proklamasi kemerdekaan. Atas saran Maruto Nitimihardjo, Edeng dan para pejuang berhasil melakukan pengambilalihan kekuasaan dari Jepang pada 1-2 Oktober 1945.
Baca juga: Jejak Hatta dan Sjahrir di Sukabumi
Di rumah orangtua Edeng yang dijadikan markas para pejuang tersebut, Moerad dikenalkan kepada adik Edeng yang bernama Siti Saudah yang kelak dinikahinya. Selanjutnya Moerad melakukan kontak dengan Sjahrir dan membantu menggalang kekuatan para pengikut sosialisme di Sukabumi yang saat itu sudah tergabung dalam PESINDO (Pemuda Sosialis Indonesia) pimpinan S. Waluyo (sepupu dari tokoh komunis, Wikana) yang menjabat sebagai kepala Biro Perjuangan Sukabumi.
Selain Moerad, di Sukabumi saat itu tinggal pula mantan digulis lainnya seperti Sambik (pemimpin Laskar Sosialis) dan dua tokoh PSI lokal bernama Oscar Karel dan Haji Amin. Selain itu ada juga ada juga tokoh lain seperti Gatot Mangkupraja (pendiri PETA), Dr. Abu Hanifah (Direktur Rumah Sakit Lidwina) dan A.M Sipahutar. Atas insiatif para aktivis yang tergabung dalam Pejuang Cikiray 10B, mereka semua lantas ditampung di markas kelompok itu sesudah keluar dari penjara Jepang pasca proklamasi.
Angin perubahan pasca proklamasi membawa Sjahrir ke posisi puncak di republik baru tersebut. Belanda nampak enggan melakukan perundingan dengan Sukarno-Hatta yang dianggap kolaborator Jepang. Situasi politik internasional memaksa Presiden Sukarno mengeluarkan maklumat 3 November 1945 tentang pendirian partai politik guna menghapus kesan bahwa Republik Indonesia adalah negara fasis. Sjahrir yang dianggap bersih dari pengaruh Jepang kemudian diangkat menjadi perdana mentri dan mengumumkan susunan kabinet pada 14 November 1945.
Sebagai kawan sehaluan, Moerad kemudian didapuk oleh Sjahrir untuk menjadi wakil menteri keamanan rakyat di bawah Amir Sjarifudin sebagai menteri keamanan rakyat. Namun usai pengangkatan muncul banyak protes yang menilai susunan kabinet terlalu Sjahrir sentris.
Diprotes demikian, Moerad tak mau menjadi perintang. Dia kemudian memutuskan mundur dan tak melanjutkan tugasnya. Maka pada Januari 1946 Moerad digantikan oleh S. Josodiningrat karena dianggap tidak menjalankan tugasnya.
Usai meletakan jabatan yang termasuk penting itu, Moerad lantas pulang ke Sukabumi dan menikahi adiknya Edeng Abdullah. Tak lama setelah menikah, pada 19 Juni 1947 Siti Saudah lantas melahirkan seorang putri yang kemudian diberi nama Mustika Rosadah. Ketika Belanda menyerbu Sukabumi sebulan kemudian, keadaan Sukabumi menjadi genting. Para pejuang pro republik sebagian besar menghindar ke Nyalindung dan bergabung dengan TRI (Tentara Republik Indonesia). Moerad sendiri memutuskan untuk bertahan. Suatu keputusan yang menjadikannya tawanan Belanda.
“Papi dikhianati bangsa sendiri dan dilaporkan ke Belanda. Ketika sedang shalat beliau digerebek Belanda…,” ujar Ida.
Baca juga: Cerita Sukabumi Saat Agresi
Moerad lalu ditahan di penjara Paledang, Bogor. Ketika pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada akhir 1949, dia baru dilepaskan. Dia kemudian memboyong keluarganya ke Jakarta. Di sanalah lahirlah Ida, anak kedua-nya lahir pada 1950.
Semenjak itu Moerad aktif di politbiro PSI. Sesekali dia ke Sukabumi guna mengunjungi mertuanya. Di sela-sela kegiatan politiknya, dia masih menyempatkan diri menulis di majalah Sikap. Ida mengenang rumah mereka do Jalan Tanah Abang II sering menjadi tempat rapat dan kerap dikunjungi tokoh-tokoh politik.
“Papi menjadikan rumahnya sebagai kantor partai, bahkan ada plangnya, Pak Sjahrir dan Hatta dan tokoh partai sosialis seringkali dating,” ujar Ida.
Dalam keseharian hidupnya, Moerad mencerminkan watak seorang sosialis tulen. Nyaris selama hidupnya, dia tak mempunyai rumah. Kecintaan Moerad kepada sesama manusia diperlihatkannya dengan berpantang naik becak karena tidak tega melihat tukang becaknya yang mengayuh sampai ngos-ngosan. Kepada setiap temannya yang berkunjung selalu dikasih bingkisan.
“Rumah di Tanah Abang II pun bukan miliknya, tapi Hatta memintanya untuk tinggal di rumah itu. Dia baru bisa membeli rumah di Kebonkacang sesudah menjual kapal penangkap ikan miliknya,” kenang Ida.
Moerad memang sempat menjadi anggota DPRD Kotapraja Jakarta pada masa Gubernur Sudiro di pada 1957. Sebagai anggota parlemen Jakarta, dia dikenal dengan kejujurannya. Karena sifatnya itulah, dia sempat ditegur oleh seorang pejabat karena tidak memanfaatkan peluang bisnis yang diberikan oleh yang bersangkutan. Di luar aktifitasnya, Moerad masih menjalin hubungan erat dengan Hatta. Tak jarang Hatta berkunjung ke rumahnya dan bahkan ketika semua anak-anak Moerad bertemu jodoh hampir selalu dipastikan Hatta akan hadir selalu hadir dalam setiap upacara pernikahan mereka.
Baca juga: Wasiat Bung Hatta
Sikapnya yang lurus juga dijalankan terhadap keluarga, saat menjabat komisaris Bank Niaga. Dikisahkan, dia pernah menolak mentah-mentah ketika salah seorang anaknya ingin bekerja di Bank Niaga. Lebih baik kerja di tempat lain, katanya. Moerad senang membantu, tapi dengan cara yang benar. Dia bahkan pernah menolak seseorang yang meminta keterangan pernah berjuang dan dibuang ke Digul demi kepentingan mendapat uang pensiun. Betapa sangat pedulinya dia kepada persaudaraan.
“Ada satu yang selalu saya ingat dari begitu banyak nasehatnya yakni kalau mau mengaku saudara, datangi saudara-saudara kamu yang tak punya, dia akan senang dan bangga karena merasa dihargai. Tapi jika kamu datang ke saudaramu yang kaya, kamu seperti sedang meminta,” ungkap Ida.
Memasuki pertengahan 1960, PSI mendapat musibah besar. Partai Sosialis binaan Sjahrir itu dituduh Presiden Sukarno terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Pada 21 Juli 1960, pimpinan PSI dipanggil ke Istana Merdeka. Moerad pun memasang dada dengan mendampingi sahabatnya Sjahrir, Djohan Sjahruzah, Soebadio Sastrosatomo, dan Djoeir Moehamad. Mereka diminta menjelaskan posisi PSI. Sjahrir kemudian menjelaskan melalui surat jawaban ke Istana yang membantah keterlibatannya. Namun penjelasan tersebut tidak memuaskan Sukarno. Pada 17 Agustus 1960, PSI bubar karena Keputusan Presiden Nomor 201 Tahun 1960.
Moerad mengalami kekecewaan yang sangat. Hatinya luka. Dia lebih terpukul dan sakit kala tokoh-tokoh PSI seperti Sjahrir dan Soebadio ditangkap. Sejatinya Moerad pun termasuk yang akan ditahan. Tetapi karena kondisinya sedang sakit, penahanan terhadap dirinya pun dibatalkan.
Baca juga: Riwayat Rumah Tahanan Hatta dan Sjahrir di Sukabumi
Pada April 1966, Sjahrir meninggal sebagai tahanan politik. Moerad sangat bersedih. Itu terlihat jelas saat dirinya melayat ke rumah Sjahrir. Semenjak kematian Sjahrir, Moerad memutuskan mundur dari dunia politik. Namun dia masih sering menemui teman-temannya di Bandung dan Sukabumi untuk sekedar bersilaturahmi. Bahkan dia sempat menulis tentang Hatta, bersama beberapa tokoh lainnya.
Waktupun semakin berlalu. Moerad yang tak lagi muda semakin letih dimakan usia. Kondisinya pun mulai sakit-sakitan. Pada suatu hari, sakitnya semakin parah. Kawan-kawan seperjuangan-nya mendengar itu dan beramai-ramai datang menjenguknya tepat pada 17 Agustus 1988. Saat masuk, rombongan kawan-kawannya itu berdiri tegap di hadapan Moerad seraya mengepalkan tangan dan mengucapkan: Merdeka Bung Moerad! Lantas apa yang dilakukannya? Pejuang tua itu hanya tersenyum dan melambai pelan. Air matanya berlinang.
“Saat itu kondisinya sudah parah…” kenang Ida.
Tiga hari setelah pertemuan emosional itu, Moerad pergi meninggalkan dunia selamanya. Jasadnya dimakamkan di Pemakamam Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Ya, semasa hidupnya Moerad memang berpesan untuk tidak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Dia hanya ingin dimakamkan di dekat sahabat seperjuangannya, Hatta.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar