Menjaja Bendera Merah Putih
Untuk merayakan kemerdekaan, biaya gerilya, sampai modal kawin.
AGUSTUS adalah bulan kemerdekaan. Menjelang 17 Agustus, pedagang musiman mulai menjajakan bendera merah-putih di pinggiran jalan. Tak sedikit yang mau membeli. Sebab, sesuai UU No 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, setiap warga negara wajib mengibarkan bendera setiap peringatan Hari Kemerdekaan.
Di awal kemerdekaan, mendapatkan bendera merah-putih bukanlah hal mudah. Kain adalah barang langka. Krisis tekstil ini sudah dimulai pada 1930-an, ketika Belanda membatasi impor serat-serat dan tekstil dari Jepang yang murah, terutama sarung dan rayon, untuk melindungi pabrik-pabrik Belanda, menaikkan harga, dan mengurangi pasokan.
Tak dapat dibayangkan, saat kain menjadi barang mewah, Fatmawati memerlukan kain berwarna merah dan putih untuk membuat bendera. Untuk itulah, Fatmawati kemudian meminta seorang pemuda bernama Chairul Basri untuk menemui pembesar Jepang yang dekat dengan kalangan pemuda maupun tokoh nasional, Shimizu yang dipastikan dapat membantu mencarikan kain merah-putih. Shimizu meminta pada Chairul agar kain merah-putih diberikan kepada Fatmawati.
“Bentuk dan ukuran bendera merah-putih yang dijahit Fatmawati tidak standar karena kainnya berukuran tidak sempurna. Kain bendera itu, atas permintaan Fatmawati, disumbangkan oleh Shimizu dan diserahkan kepada Fatmawati oleh Chairul Basri,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah nasional Indonesia Jilid VI. Bendera merah-putih inilah yang dikibarkan pada Proklamasi 17 Agustus 1945.
Segera setelah itu, para pemuda berupaya menyebarkan berita proklamasi melalui pers, surat selebaran, poster, hingga coretan di tembok-tembok dan gerbong kereta api. Mereka juga berupaya agar bendera merah-putih berkibar di rumah-rumah atau di sudut-sudut kota. Apalagi setelah muncul Maklumat Pemerintah 31 Agustus 1945, yang menetapkan mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Merah Putih terus dikibarkan di seluruh Indonesia.
Pemerintah Indonesia juga mengambil inisiatif untuk menyediakan dan membagi-bagikan bendera. Seperti dilakukan Jawatan Perekonomian Semarang yang menyediakan bahan-bahan untuk membuat bendera merah-putih ukuran besar. Pengerjaannya dilakukan oleh para perempuan. “Kini telah siap kurang lebih 300 helai bendera, yang segera nanti untuk permulaan akan dibagi-bagikan kepada kantor-kantor atau lembaga-lembaga negara yang hingga sekarang belum mempunyai lambang negara tersebut,” tulis Asia Raya, 24 Agustus 1945.
Begitu pula kantor Jakarta Syuutyoo (Karesidenan Jakarta). Untuk menyambut proklamasi dan agar para pegawai kantor Syuutyoo dapat merayakan hari bersejarah itu, kantor tersebut membagikan beratus-ratus bendera merah-putih kepada pegawainya. “Dengan jalan demikian suasana merdeka yang diliputi perdamaian itu dapat disambut oleh mereka yang merupakan sebagian besar dari penduduk kota ini,” tulis Tjahaja, 28 Agustus 1945.
Semarang Syuutyoo juga melakukan hal yang sama. “Telah disiapkan pembikinan 400 helai bendera merah-putih yang nanti akan diserahkan kepada semua Gun (kawedanan) dan Son (kecamatan) seluruh Semarang Syuu,” tulis Sinar Baroe, 26 Juni 1945, “supaya pada hari raya dapat dikibarkan bersamaan dengan Hinomaru... penyerahan tersebut akan dilakukan besok tanggal 29 Juni di kantor Syuutyoo bertepatan dengan akan diadakannya pertemuan segenap Kentyoo (bupati) dan Sityoo (walikota) seluruh Semarang.”
Bahkan di Bandung, bagi-bagi bendera merah-putih dilakukan oleh Perserikatan Penduduk Bangsa Nippon. “Pada tanggal 26 Juni 1945 dengan resmi menghadiahkan 1.112 buah bendera Kebangsaan Indonesia (Sang Merah Putih) untuk dipasang di gendung-gedung Hookookai, sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah yang dibolehkan mengibarkannya,” tulis Sinar Baroe, 27 Juni 1945.
Karena kelangkaan kain, Sukarno menginstruksikan pembuatan bendera dari kertas. “Rakyat kami senang sekali dengan lambang-lambang. Jadi kuperintahkan membuat 10 juta bendera merah-putih kecil dari kertas untuk dibagi-bagikan oleh kurir ke pelosok-pelosok terpencil di tanah air. Ini membuat rakyat di pulau-pulau yang jauh dari Jakarta merasakan bahwa mereka bagian dari perjuangan bangsanya,” kata Sukarno kepada Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Karena kebutuhan pengadaan bendera meningkat, tak heran jika ada yang menjadikannya sebagai barang dagangan. Penjualan bendera merah-putih mulai marak sejak masa revolusi. Terlebih, menurut William H. Frederick, associate professor bidang sejarah di Ohio University, selama bulan-bulan revolusi, identitas kebangsaan ditunjukkan dengan warna merah-putih sebagai simbol Republik, dan merah-putih-biru sebagai simbol Belanda. Fenomena ini sendiri bukanlah hal yang baru. Pada masa sebelum perang pemakaian lencana merah-putih, misalnya, cukup umum di antara orang-orang Indonesia urban muda, bahkan dalam lingkaran-lingkaran atau kesempatan-kesempatan yang belum tentu bersifat politik, seperti pesta dansa.
Baik kelompok maupun individu menunjukkan kepekaan yang luar biasa terhadap simbolisme dalam penampilan pribadi. Mereka menggunakannya untuk mengedepankan nilai-nilai politik dan ekonomi. “Menjual bendera atau pita merah-putih, misalnya, merupakan cara yang efektif untuk mempromosikan maksud nasionalis dan menggalang dana,” tulis Frederick, “Penampilan Revolusi: Pakaian, Seragam, dan Gaya Pemuda di Jawa Timur Tahun 1945-1949”, yang dimuat dalam Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan karya Henk Schulte Nordholt.
“Pada September 1945, anggota aktif Pemuda Republik Indonesia/Pemuda Sosialis Indonesia (PRI/Pesindo) di Surabaya menjajakan bendera-bendera kecil kepada umum untuk mendanai aktivitas-aktivitas mereka.”
Setahun kemudian di pedesaan luar kota Surabaya anggota-anggota PRI/Pesindo konon memaksa penduduk untuk membeli lencana merah-putih seharga 15 gulden (dalam mata uang Jepang) untuk mendukung organisasi mereka. Di kampung-kampung Surabaya –mungkin meniru praktik-praktik sinoman pada masa sebelum perang– menjual lencana kecil berwarna merah-putih atau pita-pita sebagai “tiket” pertunjukkan atau semacamnya merupakan taktik umum. Sinoman bagi masyarakat Jawa adalah aktivitas memberikan sumbangan atau titip barang dan menagihnya kembali ketika sedang membutuhkan.
“Sejumlah besar uang (1000 gulden bukanlah hal aneh) bisa didapatkan dengan cara ini. Meskipun sering digunakan untuk keperluan-keperluan seperti membiayai pernikahan dan semacamnya, dana ini juga dikabarkan dialihkan untuk mendukung kelompok-kelompok bawah tanah dan organisasi-organisasi gerilya. Hasil penjualan tersebut juga digunakan untuk memproduksi bendera-bendera merah-putih raksasa untuk pertemuan nasionalis,” tulis Frederick.
Karenanya militer Belanda di Surabaya menganggap sistem cockade (suatu hiasan atau materi yang dipasangkan di topi sebagai simbol pangkat, tingkatan, dan sebagainya) dan menjual bendera, apalagi mengibarkannya, sebagai ancaman serius. Mereka mengambil tindakan keras. Tapi para pejuang tak gentar. Mereka terus menjual dan mengibarkan bendera merah-putih, karena Indonesia telah merdeka.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar