Mengulik Lirik Indonesia Raya
Lirik lagu kebangsaan Indonesia Raya diusulkan direvisi.
BELASAN pelajar dari SMP 14 Jakarta, pagi itu (28/10) mengunjungi Museum Sumpah Pemuda, Jalan Kramat Raya 106, dibawah pengawasan Adro’i Abdullah, guru mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. “Memberikan pelajaran sejarah seperti ini efektif untuk mengenalkan anak-anak dengan sejarahnya, tragis kalau anak-anak sampai tidak tahu,” ujarnya.
Semakin siang, suasana di museum semakin meriah ketika datang serombongan remaja, dengan kemeja dan celana panjang putih, memasuki ruangan utama gedung itu. “Kami dari Cilay Ensemble, Jakarta, siang ini akan menyanyikan usulan revisi lagu Indonesia Raya, momentum 84 tahun Sumpah Pemuda dan museum ini sengaja kami pilih untuk lebih mudah diingat,” ujar Cilay, pemusik asal Padang, pendiri sekaligus pimpinan Cilay Ensemble. “Sumpah Pemuda tahun 1928 dilaksanakan pada hari minggu, dan tahun ini jatuh pada hari minggu pula, kami berpandangan ini kebetulan yang baik,” tambahnya.
Tak beberapa lama, paduan suara yang terdiri dari sebelas remaja berseragam putih-putih tersebut menyiapkan diri, dipimpin oleh seorang dirigen, diiringi alat musik akustik gitar, dimainkan oleh Cilay, dan biola. Lagu Indonesia Raya ‘baru’ itu dinyanyikan hingga tiga kali dan cukup menyita perhatian pengunjung Museum Sumpah Pemuda.
Lagu Indonesia Raya ‘baru’ yang diperdengarkan tersebut, tampak tidak nampak perubahan dalam komposisi nada, namun ada beberapa lirik yang berubah. Perubahan lirik terdapat di kalimat “disanalah Aku berdiri, jadi Pandu Ibuku”. Perubahan lirik tersebut diusulkan menjadi dua versi, versi pertama menjadi “dengan tegak Aku berdiri jadi pandu bangsaku” dan versi kedua “dengan sigap aku bersiap untuk membela negriku”. Lalu dibagian kedua/reffrain, menjadi “Indonesia Jaya” dan diakhiri tetap dengan “Indonesia Raya”.
Usulan revisi tersebut sudah lama digagas, sejak era Orde Baru. “Jika kami mengajukan waktu pak Harto mungkin susah, dan mungkin saja nasib kami sama dengan WR Supratman dulu yang diburu pemerintah kolonial,” kata Eddy Herwani Didied Mahaswara, ketua Lembaga Musik Indonesia, sekaligus penyelenggara acara tersebut. “Kami merasa lirik (lagu) yang lama ada yang multitafsir sehingga akan kehilangan daya magis sebagai sebuah lagu kebangsaan. Nah, dengan usulan revisi ini, maka lagu Indonesia Raya akan lebih memiliki kekuatan makna,” imbuh Eddy.
Lagu Indonesia Raya pertama kali diperdengarkan pada saat Kongres Pemuda Kedua, sidang ketiga, di gedung Indonesische Club Gebouw di Jalan Waterlooplein (sekarang Jalan Kramat Raya 106). Pada hari Minggu, 28 Oktober 1928, diselenggarakan rapat ketiga yang menjadi rangkaian dari Kongres Pemuda kedua. Organisasi kepemudaan yang hadir dalam kongres tersebut antara lain Jong Soematra, Jong Bataksbond, Jong Java, Sekar Roekoen, Pemoeda Kaoem Betawi, Jong Celebes, Pemuda Indonesia, Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia. Pada akhir rapat, dihasilkan rumusan kongres yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda.
Pada penutupan sidang ketiga, minggu malam, Wage Rudolf Supratman, komponis dan wartawan Sin Po, memperdengarkan lagu Indonesia Raya pertama kali di depan umum. “Liriknya dinyayikan oleh Dolly, putra H. Agus Salim,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia 3.
Pasca mengumandangkan lagu Indonesia Raya di kongres tersebut, WR Supratman semakin dikenal dan kemudian dianggap Bapak Lagu Indonesia Raya. “Namanya semakin popular setelah lagu Indonesia Raya dijadikan piringan hitam pada tahun 1929 oleh firma Tio Tek Hong,” catat Anthony C Hutabarat dalam dalam Wage Rudolf Supratman.
Ketenaran WR Supratman ternyata menjadikannya incaran PID (Politieke Inlichtingen Dienst). Pemerintah kolonial Belanda kemudian melakukan pemanggilan kepada WR Supratman, Jaksa Agung Hindia Belanda kemudian melarangnya untuk mencantumkan kata “Merdeka, Merdeka” dalam lagu Indonesia Raya.
“Demi alasan keamanan, syair lagunya kemudian ditulis tersamar seperti memakai nama Indones untuk nama Indonesia dan Moelia untuk menggantikan kata Merdeka,” kata Eddy.
Kehidupan WR Supratman harus berpindah untuk menghindari incaran polisi rahasia Belanda. Dari Gang Tengah Jakarta, dia memilih pindah ke daerah Cimahi pada 1934; di sini dia berusaha menyembuhkan penyakit gangguan jantung yang dideritanya sejak dari Jakarta. Dia terus diincar reserse Belanda, maka dia pindah ke Randudongkal, Pemalang, Jawa Tengah pada 1935. Pada 1936, dia pindah lagi ke Surabaya dan tinggal di rumah kakaknya Roekijem Soepratijah van Eldik, di Jalan Mangga, Tambaksari.
Di Surabaya, WR Supratman dapat kembali berkarya dengan menggubah lagu Mars Parindra dan lagu Mars Surya Wirawan. Dia kembali berurusan dengan PID karena lagunya yang berjudul Matahari Terbit. “WR Supratman dibawa dua orang PID untuk diinterograsi soal lagu Matahari Terbit untuk mengetahui maksud dan tujuan menggubah lagu itu,” tulis Anthony. Tuduhannya, lagu tersebut sarat muatan politik Jepang, namun tak terbukti.
Penyakit yang diderita WR Supratman sudah parah. Pada 15 Agustus 1938, dia dikunjungi kakak iparnnya, Oerip Kasansengari, dan sempat berpesan. “Mas, nasibku sudah begini, inilah yang disukai pemerintah Belanda... berjuang dengan caraku, dengan biolaku. Saya yakin Indonesia pasti merdeka,” tulis Anthony. Dua hari kemudian, 17 Agustus 1938, WR Supratman menghembuskan nafas penghabisan dan dimakamkan di pekuburan umum Kapas, Jalan Kenjeran, Surabaya.
Pemerintah Indonesia secara resmi mengatur lagu kebangsaan ini dengan UU No. 44 tahun 1958 tentang lagu Indonesia Raya dan UU No. 24 tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
Saat ini, sekelompok orang mencoba merevisi lagu Indonesia Raya. “Jika usulan revisi mengenai lagu ini disetujui pemerintah, WR Supratman tetap sebagai penciptanya,” kata Cilay.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar