Mencari Museum yang Mendidik
Mayoritas museum di Indonesia masih menampilkan sisi rekreasi.
IRAMA lagu dangdut mengalun di sisi barat Museum Kereta Api Ambarawa, Kabupaten Semarang. Rupanya, pengelola museum membuat panggung kecil untuk memberi hiburan kepada para pengunjung selama dua hari ini, 14-15 Oktober 2017, dalam rangka menyemarakkan Hari Museum setiap 12 Oktober. Sebagian besar pengunjung tampak berkerumun, menikmati suguhan lagu, sembari menunggu giliran naik kereta api wisata dari stasiun Ambarawa ke stasiun Tuntang.
Di sisi yang lain, sesela lokomotif-lokomotif tua, beberapa anak muda usia SMP berseragam kaos kuning, nampak bergerombol. Mereka menikmati paparan sejarah dari seorang ahli perkeretaapian Indonesia, Tjahjono Rahardjo.
Lokasi museum Kereta Api Ambarawa merupakan titik pertemuan antara jalur dengan lebar kereta 1.435 mm ke arah Kedungjati dengan jalur lebar kereta 1.067 mm ke arah Yogyakarta via Magelang. Museum ini berdiri pada 6 Oktober 1976 untuk menyimpan lokomotif uap, ketika jalur rel 1.435 mm ditutup.
“Dari kunjungan ini ada hal baru yang saya ketahui, seperti masih adanya kereta uap yang sampai sekarang masih beroperasi. Dari Ambarawa ke Jambu. Dan ada pula kereta wisata yang hanya melayani dari Ambarawa ke Tuntang. Dan gerbongnya lucu. Tua gitu,” ujar Hosea Adi Prasetyo, siswa kelas 7 SMP Masehi PSAK Ungaran.
Hosea tak sendiri. Ia bersama sekira 30-an siswa dari beberapa SMP di Kabupaten Semarang sedang mengikuti Lomba Detektif Sejarah yang dihelat Paguyuban Citra Bawana Lestari, museum Kereta Api Ambarawa.
“Membuat event seperti Lomba Detektif Sejarah ini bagus. Artinya ada animo kuat dari masyarakat untuk mengetahui museum-museum yang ada di sekitarnya. Nah sekarang tugas saya dan teman-teman di museum kereta api khususnya, untuk bisa memberikan yang lebih menarik, tidak membuat bosan,” ujar Tjahjono Rahardjo.
Jika Hosea yang baru berkunjung ke museum kereta api baru pertama kalinya, hal berbeda diungkapkan pengunjung museum KA yang sudah beberapa kali kesana.
“Ya membosankan. Gak ada hal baru. Ini karena mengajak anak saja kesini yang selalu pengen naik kereta wisata,” ujar Ratih Hapsari, pengunjung dari Semarang.
Ujaran Ratih itu seperti diaminkan oleh Tjahjono Rahardjo. Ia melihat banyak musum kurang atraktif, sehingga sepi pengunjung.
“Dalam suasana sekarang ini, yang biasa dengan gawai dan internet, agak susah jika mengajak atau meminta mereka datang ke museum. Apa sih museum itu, barang-barang tua, dengan sedikit teks keterangan. Ini tidak menarik. Tidak hidup,” ujar Tjahjono Rahardjo, pengajar di Universitas Katholik Soegijapranata kepada Historia.
Menurutnya, pengelola museum sekarang harus dituntut kreatif, jika ingin menjaring pengunjung dari kalangan muda.
“Ada satu pengalaman saya saat ke museum kereta api terbesar di dunia, di York, Inggris. Disana terdapat atraksi di salah satu koleksi museum itu. Jadi di depan satu koleksi, ada seorang dengan busana yang ada sejaman dengan koleksi tersebut. Nah dia mendongeng. Tidak kaku, tapi dengan bahasa populer. Bukan hanya anak muda yang tertarik, tapi saya pun yang sudah berumur ini, juga tertarik,” ujar anggota Indonesian Railway Preservation Society sejak 2006 ini.
Tjahjono memberi apresiasi besar terhadap animo masyarakat untuk berkunjung ke museum. Namun ia menyayangkan, pihak museum seperti belum siap.
“Di sini banyak koleksi yang bagus ya, namun seperti bisu. Jadi ya pengunjung yang datang hanya mendapatkan hiburan atau rekreasi semata, belum pada taraf edukatif,” pungkas Tjahjono.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar