Mencari Indonesia versi 17 Agustus
Kartini adalah sang pemula dari proses revolusi nasional.
PADA kolom “17 Agustus versus 1 Oktober” yang lalu diakhiri dengan pertanyaan: “memilih Indonesia versi 17 Agustus 1945 atau Indonesia versi 1 Oktober 1965?”. Di dalam tulisan tersebut saya berusaha berpendapat bahwa 17 Agustus adalah simbol revolusi nasional Indonesia (yang belum tuntas) dan 1 Oktober simbol kontra-revolusi 1965 yang melahirkan Orde Baru Suharto (OBS). Tetapi dengan melemparkan dua pilihan tersebut, mungkin pantas juga sedikit membahas apa itu Indonesia versi “17 Agustus”. Apalagi hal ini masalah sejarah dan masalah kontemporer yang sangat menarik, menantang dan membutuhkan banyak diskusi.
Ada kemungkinan, dalam masa yang telah jauh berjarak itu, kita akan terseret ke dalam perspektif di mana revolusi nasional disamakan dengan Sukarno dan kontra-revolusi 65 disamakan dengan Suharto, sehingga seolah-olah pilihannya hanya Sukarno atau Suharto. Saya kira tak ada salahnya kita menyamakan kontra-revolusi 1965 dengan Suharto. Suharto memimpin proses ini dan melakukan kepimpinannya sebagai diktator dan berlangsung selama 32 tahun.
Tetapi “17 Agustus” bukan milik Sukarno saja. “17 Agustus” adalah milik bersama semua pejuang kemerdekaan: Sukarno, Hatta Syahrir, Sudirman, Bung Tomo, Tan Malaka, Natsir, Musso, Amir Syarifuddin, Ngurah Rai, dan puluhan, ratusan, ribuan bahkan jutaan orang lain. Bahkan juga Suharto. Juga para pujangga dan sastrawan seperti penyair Chairil Anwar yang juga menangkap semangat 45 pada waktu itu.Dalam sajaknya “Persetujuannya dengan bung karno”, Chairil menulis: Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu, tetapi di sajak “Kerawang Bekasi” dia juga menulis: Kenang, kenanglah kami/ Teruskan, teruskan jiwa kami/ Menjaga Bung Karno menjaga Bung Hatta menjaga Bung Sjahrir. Revolusi nasional milik semua, termasuk semua rakyat miskin pula yang angkat bambu runcing.
Bukan hanya itu, “17 Agustus” juga merupakan simbol hasil dari proses yang sudah berlangsung lama. Mungkin bisa diperdebatkan kapan titik awal bangkitnya revolusi nasional Indonesia. Saya kira, saya sendiri sependapat atau sejiwa dengan pandangan Pramoedya Ananta Toer bahwa semuanya dimulai oleh Kartini. Kartini menolak total kedudukannya sebagai seorang kawula yang nasibnya akan ditentukan oleh kekuatan “semi-gaib” (feodal dan kolonial). Dia sangat terobsesi dengan pendidikan, pengetahuan dan kebebasan adalah pemikir pembebas pertama dalam proses awal revolusi nasional. Sesudah Kartini, mulai muncul tokoh-tokoh lainnya: Tirto Adhisuryo, Ki Hajar Dewantara; Tjokroaminoto, Haji Misbach, Semaun, dan banyak lagi.
Pilihan “17 Agustus” melawan “1 Oktober “bukan merupakan pilihan antara Sukarno dan Suharto. Kemudian kalau mau milih “17 Agustus” sebenarnya memilih apa?
Revolusi nasional Indonesia (yang belum tuntas itu) memiliki banyak aspek. Ada dua aspek yang perlu digarisbawahi. Pertama, revolusi nasional memiliki aspek meraih kemerdekaan politik (dari kekuasan kolonial), yakni mencapai Indonensia Merdeka atau “Independence”. Ini berarti bangsa Indonesia berhasil merebut kemerdekaan politik dari kolonialisme tapi belum mencapai kemerdekaan ekonomi. Di bidang ekonomi, Belanda masih bisa kembali menguasai hampir semua sektor ekonomi modern (yang berproduktivitas tinggi), dan selain itu Indoensia masih berlokasi di dunia di mana ekonomi internasional merupakan satu ekonomi global yang kapitalis. Pada kurun 1956-1958, kekuatan ekonomi Belanda diusir, tetapi Indonesia tetap dikepung dalam ekonomi dunia imperialis – bahkan sampai sekarang.
Kedua, revolusi nasional ini juga menciptakan satu iklim politik yang kondusif bagi pertarungan gagasan atau ideologi dalam soal mau berkembang ke arah mana Indonesia merdeka ini? Periode bertarung itu terjadi pada kurun 1945-1965. Merebut kembali “Indonesia 17 Agustus” adalah merebut kembali kemerdekaan untuk bertarung– atau dengan kata lain merebut kembali demokrasi sepenuh-penuhnya. 1 Oktober merupakan simbol penghabisan periode merdeka bertarung. Tak ada lagi pertanyaan Indonesia mau kemana karena dengan semakin terkonsolidasikan OBS, semakin tak ada pertarungan dan menutup pertanyaan mau kemana Indonesia. Masalah Indonesia mau kemana sudah diputuskan: selesai.
Tetapi harus dicatat di sini pula bahwa sejarah itu tidak berkembang lurus, tetapi penuh dengan kelokan. Zig-zag itu biasanya mencerminkan kontradiksi atau pun cacat. Pembasmian kemerdekaan bertarung yang dimulai pada 1965 itu sebenarnya sudah pula ada proses pematangannya yang berkembang sebelumnya. Kalau mau merebut kembali “17 Agustus” dalam arti merebut kembali kemerdekaan bertarung (demokrasi sepenuh-penuhnya) ada bagusnya juga belajar dari sejarah.
Sejak awal selalu ada kubu yang berkali-kali menyerang kemerdekaan bertarung ini dengan kekerasan. Kubu itu biasanya bersarang dalam tubuh militer, meski juga selalu ada unsur dalam militer pula yang menentanganya, tetapi selalu minoritas dan biasanya kalah. Pengepungan istana tahun 1952; pemberontakan kolonel-kolonel di PRRI dan PERMESTA, usaha pembunuhan terhadap presiden Sukarno, penangkapan-penangkapan tahun 1960an (misalnya penangkapan Pramoedya tahun 1960), dan gerakan gerilyawan negara Islam di beberapa tempat. Saya kira digerakkannya polisi, tentara atau pun pemuda bersenjata untuk meresponsi aksi sepihak barisan Tani Indonesia (BTI) tahun 1960an juga sebuah contoh. Tindakan-tindakan kekerasaan ini sejak awal mencerminkan keinginan untuk mengakhiri kemerdekaan bertarung dengan paksaan. Dalam sejarah praktek begini kita bisa lihat kontinuitas dengan pembasmian yang terjadi pada tahun 1965-1998.
Tetapi selain penyerangan terhadap kemerdekaan bertarung, memang pernah juga terjadi kontradiksi dalam perjuangan mengisi kemerdekaan tersebut. Praxis politik Sukarno dan kubu kiri dalam sejarah Indonesia, menekankan membangun gerakan aksi massa, memperbesar organisasi gerakan aksi massa dan memperluas pendidikan politik (lewat baca, kursus dan berorganisasi) buat massa. Ini memang mulai berhasil dengan jutaan orang menjadi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasional Indonesia (PNI) dan ormas-ormasnya. Organisasi-organisasi ini bertumbuh lebih cepat daripada lawannya. Usaha ini saya kira merupakan strategi sah dan berguna dalam mengisi kemerdekaan bertarung dan memenangkan pertarungan.
Namun, kalau mau jujur, di kalangan orang kiri terjadi pula distorsi dan kontradiksi di dalam praxisnya. Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan MASYUMI sebagai lembaga dilarang karena perbuatan segelintir pemimpinnya (mendukung pemberontakan bersenjata PRRI). Ada kampanye untuk melarang Partai Murba ataupun Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan ada larangan terhadap Manifesto Kebudayaan. Mekanisme-mekanisme demokrasi yang juga merupakan hasil daripada revolusi 17 Agustus seperti pemilihan umum tertunda. Menurut Sukarno, konspirasi malam 30 September/ 1 Oktober 1965, selain mencerminkan permainan tangan asing mau pun internal militer, juga mencerminkan keblingeran segelintir pimpinan kiri. Semua hal ini juga pasti membantu mematangkan situasi menuju kontra-revolusi 1965.
Merebut kembali “17 Agustus” yang sejati, saya kira, adalah – antara lain – merebut kembali kemerdekaan bertarung untuk membawa Indonesia mau dibangun kemana, tiada peduli orang berideologi apa pun. “17 Agustus” adalah simbol dari kemerdekaan bertarung (demokrasi sepenuh-penuhnya), namun demikian merebut kembali “17 Agustus” belum cukup untuk menyelesaikan kemelaratan dan keterbelakangan rakyat Indonesia. Semua itu sama sekali tak akan selesaikan masalah selama Indonesia masih dikepung oleh ekonomi global imperialis (dan kekuatan politik kolaborator bangsa sendiri). Merebut kembali “17 Agustus” adalah merebut kembali demokrasi dan itu hanya berarti membuka pintu tentang kemungkinan dan kesempatan yang lebih luas untuk mencari solusi-solusi atas masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Ini jelas bukan soal gampang, tetapi semakin orang Indonesia memiliki kemerdekaan untuk mempertarungkan gagasannya, semakin mungkin pula menemukan solusinya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar