Melawan Sumber Bermasalah
John Roosa baru saja merilis bukunya. Masih tentang peristiwa 1965.
SEJARAH 1965 adalah sejarah yang masih bermasalah. Akibatnya kebanyakan orang hanya mengingat, bahkan hanya membesar-besarkan kematian para jenderal Angkatan Darat (AD) tanpa menghiraukan kematian atau penderitaan jutaan orang yang dikambinghitamkan tanpa pengadilan pasca-kematian para jenderal tersebut.
Mereka yang dikambinghitamkan dituduh bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI), padahal mereka bukan anggotanya dan tak paham apa itu marxisme. Mereka dituduh G30S/PKI walau bukan anggota PKI dan tidak pernah terlibat dalam kematian para jenderal tersebut. Sepanjang masa kekuasaan Orde Baru, narasi tentang PKI sebagai pelaku G30S dan anti-Tuhan terus didengungkan. Fakta banyak anggota PKI yang shalat ataupun ke gereja dikubur dalam-dalam.
Para pelaku penculikan yang kemudian berujung pada kematian para jenderal tersebut, mayoritas berasal dari Angkatan Darat. Perwira yang menjadi komandan G30S bahkan sama- pernah bertugas di Jawa Tengah seperti Letnan Jenderal Ahmad Yani dan ironisnya, di batalyon yang didirikan Yani yang menjadi korban gerakan tersebut. Narasi Orde Baru kerap menyebut para perwira yang menculik itu adalah bagian dari PKI yang disusupkan ke AD.
Baca juga: Drama 1965 di Atas Panggung Asia
Terkait peristiwa tersebut, sekali lagi John Roosa merilis buku tentang 1965. John Roosa telah merilis dua buku tentang 1965 yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto dan Tahun Yang Tak Pernah Berakhir: Memahami Pengalaman Korban 65. Kedua buku tersebut bahkan telah lama digratiskan.
Beberapa tahun silam, John Roosa merilis Buried Histories: The Anticommunist Massacres of 1965-1966 in Indonesia. Kini, buku tersebut diterjemahkan Hendarto Setiadi dan diterbitkan Marjin Kiri dengan judul Riwayat Terkubur: Kekerasan Antikomunis 1965-1966 di Indonesia.
Bagian awal buku ini membahas persaingan antara PKI dengan AD –sejak di bawah kepemimpinan Abdul Haris Nasution hingga Ahmad Yani– di masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965. Kemudian John Roosa membahas pula bagaimana propaganda antikomunis dilancarkan Angkatan Darat dan sekutunya. Tak lupa John bicara soal penghancuran kelompok kiri, yang disertai pembantaian, di Solo dan juga Bali.
“Sikap antikomunis Nasution, sama seperti sikap antikomunis banyak rekannya di kalangan perwira, antara lain berakar pada elevasinya mengenai kepentingan Indonesia dalam konteks global perang dingin,” tulis John Roosa dalam Riwayat Terkubur.
Baca juga: G30S di Mata Saudara Tua
Lawan dari Nasution dkk. adalah PKI yang dipimpin oleh Dipa Nusantara Aidit. Tanpa bedil, sepanjang Demokrasi Terpimpin PKI begitu mengandalkan media dalam menghadapi AD. Salah satunya Harian Rakjat.
Sebaliknya, AD baru belakangan benar-benar mengedepankan media. Setelah G30S pecah, dengan melarang terbit Harian Rakjat dan membiarkan terbit media-media yang satu kepentingan dengannya.
“Setelah para jenderal Angkatan Darat mengambil-alih kendali atas media dan menyisihkan Sukarno, mereka terus mengeluarkan berita-berita bohong yang dimaksudkan sebagai pembenaran atas serangan kekerasan terhadap para pendukung PKI,” sambung John Roosa.
Berita bohong yang terus didengungkan ke masyarakat sumbu pendek Indonesia itu menjadi “kebenaran” bagian sebagian pihak. “Kebenaran” itu pula yang teguh dipegang hingga hari ini.
Baca juga: Apakah Rezim Mao Terlibat G30S?
Dalam buku ini, John Roosa melaporkan banyak wawancaranya dengan beberapa orang yang mengalami masa 1965. Di antaranya Kolonel Abdul Latief yang menjadi wakil komandan G30S, seorang kapten Angkatan Udara yang pada pada 1970 dituduh menjadi anggota PKI rahasia, dan juga seorang perwira Angkatan Laut yang pada 1974 dituduh menyediakan senjata untuk PKI Blitar Selatan. Selama sekitar 20 tahun, John Roosa mendalami sumber-sumber lisan, terutama dari para korban 1965.
“John dalam buku ini juga mengingatkan kita bahwa salah satu problem besar dalam rangkaian peristiwa ini adalah sumber peristiwanya yang sangat terbatas. Bahkan lebih jauh John juga menyatakan sumber yang sangat terbatas itu malah bermasalah,” sebut sejarawan Hilmar Farid, yang kini Direktur Jenderal Kebudayaan RI, dalam diskusi buku Riwayat Terkubur di Balai Rakyat Garuda, Pinang Ranti, Jakarta Timur, 30 Maret 2024.
Hilmar menceritakan bahwa dulu pernah dibentuk sebuah komisi pencari fakta soal 1965. Namun, laporan komisi ini tidak bisa diandalkan. Laporan komisi tersebut tidak bisa diandalkan bukan karena para anggotanya, melainkan karena kesulitan mereka dalam mendapatkan fakta di lapangan. Para anggota komisi ini dengan sengaja dibatasi ruang gerak kerjanya. Surat kabar pasca-Oktober 1965 juga “tidak bisa diandalkan” dalam menguak kebenaran. Sebab, media yang bertahan hanya yang segaris dengan kepentingan para jenderal AD saja.
Yang pasti, setelah Oktober 1965 Indonesia berubah. Para jenderal AD di dalam klik Soeharto tampil sebagai pemenang. Arah politik luar negeri Indonesia juga akhirnya berubah. Di masa Sukarno berkuasa, dalam hubungan internasional Indonesia adalah non-blok sehingga bisa bebas bergoyang ke Barat dan juga ke Timur. Ketika di Barat mampet, dari blok Timur Sukarno bisa mendapat banyak senjata canggih. Di zaman Soeharto, Indonesia jauh dari blok Timur. Buku pelajaran sejarah di sekolah era itu mengatakan pemerintahan Sukarno condong kepada blok Timur yang komunis, namun Orde Baru yang anti komunis akhirnya membuat Indonesia jadi satu kubu dengan blok Barat justru tak disebut.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar