Makanan Buat Para Demonstran
Jangan pernah takut kelaparan jika anda bergabung dalam demonstrasi mahasiswa.
AKSI demonstrasi mahasiswa kerap kali menuai simpati. Setelah lelah berorasi dan unjuk rasa, ada saja masyarakat yang beriniasiatif menyediakan mereka makanan. Dalam aksi demo kemarin, selebgram Awkarin tersorot publik membagi-bagikan nasi kotak kepada mahasiswa yang turun ke jalan. Entah pencitraan atau bukan, tidak diketahui persis apa motif Awkarin.
Bagi-bagi makanan untuk para demonstran sudah lazim terjadi pada pertengahan 1960-an. Ketika itu gerakan mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) bersatu menumbangkan rezim Sukarno. Aksi mahasiswa skala besar terjadi pada 10 Januari 1966. Demo yang mirip pameran kekuatan inilah yang kemudian melahirkan Tritura: bubarkan PKI, rombak kabinet, dan turunkan harga. Masyarakat turut serta membantu mahasiswa dengan cara membagikan makanan. Bentuk solidaritas tersebut bisa dilakukan secara spontan ataupun suplai yang terencana.
“Ada orang-orang bersimpati ke kita, mereka kirim makanan. Karena itu, kita tidak pernah kekurangan makanan,” tutur Cosmas Batubara dalam Pengumpulan Sumber Sejarah Lisan: Gerakan Mahasiswa 1966 dan 1998. Cosmas tahu persis karena saat itu dirinya berkedudukan sebagai ketua Presidium KAMI.
Baca juga: Sang Demonstran dan Politikus Berkartu Mahasiswa
Menurut Cosmas bentuk sumbangan yang berasal dari masyarakat bermacam-macam. Ada nasi dengan lauk pauknya. Ada pula yang hanya memberikan buah-buahan. “Terasa sekali dukungan dari masyarakat luas,” katanya.
Kolega Cosmas, Fahmi Idris juga menuturkan pengalaman senada. Fahmi saat itu menjabat Ketua Senat Fakultas Ekonomi UI sekaligus aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Soal kebutuhan logistik, Fahmi mengakui kelompoknya mendapat makanan dari mahasiswi yang bersimpati.
“Beberapa mahasiswi yang mengirim kita makanan untuk kelompok kita itu. Makanannya enak-enak,” kata Fahmi masih Pengumpulan Sumber Sejarah Lisan: Gerakan Mahasiswa 1966 dan 1998. Fahmi mengenang, kelompoknya mendapat perlakuan istimewa dari mahasiswi. Bersama 14 orang kawannya, Fahmi beruntung disuguhi makanan lezat seperti roti, telur, dan susu.
Baca juga: Soe Hok Gie dan Para Penyusup di UI
“Waduh makanan orang sekolahan kita bilang. Kalau yang lain kan cuma nasi bungkus gitu kan. Tapi bagus makanannya, tersuplai tuh kita. Pagi dan malam. Kemudian ada lagi satu grup donatur yang nyumbang siang, besar sampai berlimpah-limpah tuh makanan,” tutur Fahmi.
Selama berbulan-bulan mendemo, pasokan makanan terhadap mahasiswa tetap berlangsung lancar. Arief Budiman, terkenang pada momen berkesan dalam kiprahnya sebagai aktivis mahasiwa Fakultas Psikologi UI bertitimangsa 12 Maret 1966. Waktu itu, Arief Budiman bersama ribuan demonstran sesama mahasiswa berkeliling Jakarta naik truk bersama RPKAD, tentara Divisi Siliwangi, dan pasukan Kostrad. Tiba-tiba mereka dilempari berpuluh-puluh ikat buah rambutan. Panen rambutan itu ibarat pawai kemenangan setelah Presiden Sukarno menyerahkan kekuatan lewat Surat Perintah 11 Maret (Supersemar).
“Inilah yang membuat penyair Taufik Ismail membuat sajak 'rambutan' pada istrinya. Semua itu terbayang kembali ketika saya (di masa tua -red) terduduk lelah pada sebuah kursi rotan yang sudah rusak menghadapi dua ikat rambutan yang dimakan bersama-sama,” kenang Arief Budiman dalam Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965—2005.
Baca juga: Meringkus Loyalis Sukarno
Hingga di masa awal Orde Baru, demonstrasi mahasiswa masih menggeliat walau tidak masif. Menteri Penerangan Boediardjo (periode 1968—1973) pernah menyaksikan sekumpulan mahasiswa mendemo Departemen Penerangan. Mereka datang berbondong-bondong menimbulkan hingar-bingar. Untuk meredam ketegangan, Boediardjo terpaksa putar akal dengan membiarkan mahasiswa masuk untuk berdialog.
“Sesekali saya ajak mereka makan bersama, sekedar meredakan amarah mereka,” kenang Boediardjo dalam dalam memoarnya Siapa Sudi Saya Dongengi.
Sekali waktu Boediardjo mengajak para pentolan mahasiswa demonstran untuk makan di kediamannya di Jalan Teuku Umar 32. Beberapa diantara mereka adalah tokoh mahasiswa yang disegani dalam angkatan 1970-an: Julius Usman dan Asmara Nababan. Nama terakhir melontarkan protes kepada sang menteri.
“Pak Boediardjo jahat. Kami mau berontak malah dikasih makan. Bagaimana kami bisa marah?” ujar Asmara Nababan dengan hati luluh. Pendemo dan yang didemo itu pun lantas menyantap hidangan dalam meja makan yang sama.
Baca juga: Cerita Lucu dari Demonstrasi Mahasiswa
Dalam aksi "menduduki" gedung DPR MPR pada 19-22 Mei 1998, soal makanan ini pun bukan masalah bagi para mahasiswa. Yusup, salah satu aktivis mahasiswa 1998 mengenang bagaimana makanan dan minuman selalu tersedia setiap waktu saat mereka berdemonstrasi di Gedung DPR/MPR Senayan.
"Salah satu yang gua masih ingat adalah kumpulan emak-emak yang berhimpun dalam SIP (Suara Ibu Peduli) pimpinan Bu Karlina (Supeli) yang hampir tiap hari selalu kasih kami makan," kenang karyawan swasta di sebuah perusahaan besar tersebut.
Bahkan selain makanan, pasokan sabun, pasta gigi dan handuk pun mengalir lancar ke posko-posko mahasiswa di seluruh Indonesia. Yusup masih ingat, hampir tiap hari posko yang dia tempati di kawasan Pejaten dan Depok selalu didatangi bapak-bapak dan ibu-ibu berpenampilan "borju" lengkap dengan mobil-mobil bagusnya.
"Mereka rata-rata kasih kami kebutuhan sehari-hari, semisal beras, telur dan mie instan," pungkas Yusup.
Baca juga: Di Balik Pendudukan Gedung DPR
Tambahkan komentar
Belum ada komentar