Lakon Masyumi Zaman Revolusi
Arena politik membuat partai Islam ini terombang-ambing di antara dua keputusan: ikut berkuasa atau jadi oposisi setengah hati.
Perbedaan di antara faksi Masyumi segera terlihat di awal revolusi, yang membuat Masyumi bersikap mendua: memilih menjadi partai oposisi tapi membiarkan anggota-anggotanya, atas nama perorangan, masuk Kabinet Sjahrir. Pertentangan terbuka pecah ketika kabinet menandatangani Perjanjian Linggarjati. Masyumi, yang menolak perundingan, memerintahkan anggota-anggotanya mengundurkan diri dari kabinet, tapi mendapat penolakan. Namun pertentangan ini tak sampai meruntuhkan partai.
Justru sikap oposisi Masyumi yang berdampak pada perpecahan. Beberapa mantan pemimpin PSII yang merasa kurang mendapat tempat dalam jajaran kepemimpinan Masyumi ikut dalam pembentukan Kabinet Amir Sjarifuddin. Mereka menghidupkan kembali PSII dan memilih keluar dari Masyumi.
Baca juga: Riwayat Berdirinya Partai Masyumi
Agresi militer Belanda akhirnya mendorong Masyumi ambil bagian dalam kabinet, karena “merasa bertanggung jawab atas perjuangan Republik Indonesia menghadapi Belanda.” Peranan Masyumi dan tokoh-tokohnya begitu kuat di masa Kabinet Hatta. Sjarifuddin memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) ketika Yogyakarta jatuh. Roem memimpin perundingan Roem-Royen, yang menjadi langkah menuju pengakuan kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar. Peranan tokoh-tokoh Masyumi dari faksi Natsir, tulis Remy, “menguatkan kedudukan mereka di tubuh partai.”
Ini terlihat dalam muktamar di Yogyakarta pada Desember 1949 di mana Natsir terpilih sebagai ketua umum. Sementara Sukiman, dengan alasan menghormati kapasitasnya sebagai figur sentral, diangkat menjadi “ketua kehormatan”, “Ketua Muktamar dan Dewan Partai”.
Baca juga: Dua Faksi Partai Masyumi
“Kedudukan Sukiman justru memunculkan dualisme kepemimpinan Masyumi. Pada 1952, kedudukan itu dihapuskan dan Sukiman menjadi wakil ketua partai di bawah Natsir,” tulis Deliar Noer.
Muktamar tahun 1949 juga memperlemah barisan pendukung Sukiman. Fungsi Majelis Syuro, yang berisi para kyai atau ulama, dipreteli, menjadi hanya sebagai dewan konsultatif yang tak mempengaruhi kebijakan partai.
Sejak itu kelompok Natsir lebih memainkan peranan penting, kendati perlawanan kelompok Sukiman juga tak melemah.
Baca juga: Ketika Masyumi Memimpin Kabinet
Tambahkan komentar
Belum ada komentar