Kudeta Paman Sam di Vietnam
Perbedaan pandangan membuat AS menyingkirkan "bonekanya", Presiden Vietnam Selatan Ngo Dinh Diem.
HARI ini, 2 November, 56 tahun lalu. Presiden Vietnam Selatan Ngo Dinh Diem dan saudaranya Ngo Dinh Nhu tewas dibunuh sekelompok Tentara Republik Vietnam Selatan (Army of the Republic of Vietnam/ARVN). Pembunuhan itu merupakan kelanjutan dari kudeta yang dilakukan sehari sebelumnya di bawah pimpinan Jenderal Duong Van Minh yang populer disapa Big Minh, penasehat militer Presiden Ngo Dinh Diem.
Kudeta di Vietnam Selatan semasa Perang Vietnam tengah berkecamuk itu membuka rangkaian kudeta militer yang kemudian datang silih berganti. Kudeta November itu sendiri dilatari kekecewaan banyak pihak, temasuk Amerika Serikat (AS) yang awalnya merupakan penyokong utama Diem.
Sejumlah jenderal teras di ARVN, termasuk Minh, sudah lama kecewa terhadap diktator Diem yang sarat KKN dan diskriminatif terhadap mayoritas umat Budha. Dua upaya penggulingan Diem pun dilakukan militer pada 1960 dan 1962. Namun semua upaya itu gagal dan berujung pada penghukuman terhadap otak pemberontakan-pemberontakan itu.
Minh yang sudah kecewa terhadap Diem, membiarkan kedua upaya penggulingan itu meski dia tak terlibat di dalamnya. Akibatnya, dia dicopot dari jabatannya sebagai panglima komando ARVN dan didudukkan Diem sebagai jenderal tanpa komando dengan menjadi penasehat militer presiden.
Kekecewaan militer menemukan “jalan” ke arah gerakan setelah memburuknya ketidakpuasan di kalangan mayoritas umat Budha akibat diksriminasi oleh Diem. Sudah bukan rahasia bila Diem menganakemaskan penganut Katolik. Kenaikan pangkat sipil maupun militer dilakukan berdasarkan preferensi agama, di mana Katolik lebih diutamakan dari Buddha. Pemerintah juga memprioritaskan kontrak-kontrak bisnis dengan pemerintahan, bantuan bisnis, keringangan pajak kepada para pemeluk Katolik. Yang paling kentara, prioritas itu membuat gereja Katolik selaku pemilik tanah terbesar di Vietnam Selatan bisa terbesas dari reforma agraria.
Pada awal Mei 1963, pemerintah kota Hue, ibukota Vietnam semasa kerajaan, mengizinkan pengibaran bendera agama di gereja-gereja Katolik dalam perayaan ulangtahun Uskup Agung Ngo Dinh Thuc yang juga kakak dari Presiden Diem. Sebaliknya, pemerintah melarang pengibaran bendera tradisional Budha di Pagoda Tu-Dam saat perayaan kelahiran Budha, 8 Mei.
Para pemuka Budha setempat pun protes. “Pada 8 Mei, perselisihan yang berlangsung lama meletus menjadi demonstrasi jalanan di Hue ketika umat Buddha menuntut untuk mengibarkan bendera agama mereka. Pemerintah merespons dengan pentungan, gas air mata, dan tembakan, yang menewaskan beberapa demonstran dan penonton, termasuk anak-anak. Beberapa kematian disebabkan oleh tembakan pemerintah; yang lain dari bom, granat yang dilemparkan ke kerumunan, dan kepanikan umum setelah tentara menembak ke kerumunan,” tulis Robert D. Schulzinger dalam A Time for War: United States and Vietnam, 1941-1975.
Kerusuhan dengan sembilan korban jiwa di Hue itu segera menjalar ke Saigon (kini Ho Chi Minh City). “Puncaknya terjadi pada 11 Juni, ketika seorang biksu Buddha berusia 73 tahun, Thich Quang Due, mengubah pemberontakan Budha setempat menjadi krisis internasional dengan menyiramkan bensin ke dirinya sendiri dan membakar dirinya hingga mati di tengah persimpangan Saigon yang sibuk. Dia telah mengingatkan awak pers internasional sebelum mengambil nyawanya agar foto-foto bunuh dirinya direkam dalam film dan disiarkan ke seluruh dunia,” sambung Schulzinger.
Saat Minh dan Kepala Staf ARVN Mayjen Tran Van Don menghadiri latihan militer SEATO di Thailand, keduanya diinformasikan tentang besarnya keresehan di tingkat regional terhadap perlakuan diskriminatif Diem kepada umat Buddha. Kabar kerusuhan itupun akhirnya sampai ke Washington. Roger Hilsman, asisten Sekretaris Negara, sampai marah.
“Di sini Anda punya negeri berpenduduk 95 persen penganut Budha, dipimpin seorang Vietnam berbahasa Prancis yang menyerang pagoda, membunuh para biarawati, dan membunuh para pemimpin Budha,” ujarnya, dikutip Van Nguyen Duong, mantan perwira AU Vietnam Selatan yang melarikan diri ke AS, dalam The Tragedy of the Vietnam War: A South Vietnamese Officer’s Analysis.
Pemerintahan Kennedy yang berada dalam posisi zig-zwang pun mulai mempertimbangkan penggulingan Diem. Sudah sejak September Kennedy memang mulai meninjau ulang dukungannya terhadap diem. Namun, upaya itu belum sampai pada pikiran penggulingan. Retaknya hubungan pemerintahan Kennedy dan Diem itu bermula dari penyerangan pers Saigon terhadap Sekretaris Negara Dean Rusk dan kebijakan AS di Vietnam.
Dengan adanya kerusuhan berdarah sejak akhir Oktober, Kennedy mengambil kebijakan lain. “Kerusuhan Buddha atas dugaan penganiayaan agama dan peristiwa-peristiwa yang terjadi selama musim panas 1963 memberi AS motif ‘perlu dan cukup’ untuk melenyapkan Diem dan Nhu. Nhu, terutama, dituduh menggerakkan kepolisian rahasia dan mengarahkan ARVN untuk membunuhi demonstran Budha dan menangkap biksu, biksuni, dan mahasiswa Budha, setelah percikan pertama oposisi Budha yang diadakan di Hue,” sambung Nguyen.
Kebijakan baru itu diwujudkan salah satunya dengan menempatkan Henry Cabot Lodge sebagai Duta besar AS untuk Vietnam Selatan, menggantikan Frederic Nolting yang amat dekat dengan Diem. Dengan wewenang amat besar yang diberikan padanya, Lodge terus mengupayakan kebijakan Washington dengan bantuan Letkol Lucien Conein, veteran AD Prancis yang malang-melintang di Vietnam dan pernah bekerja pada Ho Chi Minh.
Lewat Lucien, kebijakan baru AS itu bertemu dengan kepentingan para petinggi militer Vietnam Selatan penentang Diem seperti “Big” Minh dan Kepala Staf ARVN Jenderal Tran Van Don. Di bawah arahan Lodge, rapat-rapat rahasia diadakan dengan para jenderal pengomplot. Kesepakatan akhirnya: Diem harus digulingkan. Lodge menujuk “Big” Minh memimpin kudeta itu.
Pada 1 November, Istana Gia Long, Saigon dikepung prajurit-prajurit yang setia pada para jenderal pengomplot. Begitu mereka memasuki istana, Diem dan saudaranya tidak ada di sana lantaran sudah melarikan diri ke Cholon.
Melalui hubungan telepon, Minh akhirnya membujuk Diem agar kembali ke Saigon dengan imbalan Lodge memberinya penerbangan keluar negeri untuk menyingkir. Pada akhirnya, bujukan Minh itu berwujud lain, yakni perintah terhadap ajudannya untuk menghabisi Diem.
“Di jam-jam awal pagi 2 November 1963, presiden Vietnam Selatan Nho Dinh Diem dan saudara lelakinya Ngo Dinh Nhu dibunuh sebagai bagian dari kudeta yang diatur pada hari sebelumnya oleh sejumlah jenderal ARVN. Tiga minggu kemudian, 23 November, Presiden AS John F Kennedy dibunuh di Dallas,” tulis Nguyen.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar