Kisah Perseteruan Ajengan Yusuf Tauziri vs Kartosoewirjo (2)
Seorang ulama kharismatik dari Garut menolak intimidasi DI/TII dengan melakukan perlawanan total bersama para santrinya. Memimpin pertempuran dari atas menara masjid.
Desember 1948, Belanda memutuskan untuk tidak lagi terikat dengan Perjanjian Renville. Keputusan tersebut diikuti dengan aksi penyerangan militer mereka ke Yogyakarta hingga menguasai ibu kota RI itu. Sukarno-Hatta dan para menteri-nya pun ditawan.
Militer Indonesia merespon penyerangan tersebut dengan Perintah Kilat yang dikeluarkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman. Salah satu turunan dari perintah itu adalah memulangkan Divisi Siliwangi ke Jawa Barat guna mengobarkan kembali perang semesta melawan Belanda.
Menurut Syarif Hidayat, Ajengan Yusuf Tauziri sudah memperkirakan Belanda akan mengingkari Perjanjian Renville dan Divisi Siliwangi akan dipulangkan kembali ke Jawa Barat. Karena itu, dia kemudian memerintahkan kepada para pengikutnya untuk bersiap menyambut kedatangan mereka.
Baca juga: Darah dan Air Mata Long March Siliwangi
Akhir Januari 1949, rombongan Batalyon Rivai yang berjumlah kurang lebih seribu orang (termasuk perempuan dan anak-anak) tiba di Pesantren Darussalam. Mereka yang datang dari perjalanan panjang (long march) dengan berjalan kaki dari Magelang datang dalam kondisi sangat menyedihkan. Selain kelaparan, nyaris pakaian mereka tak berbentuk lagi.
“Pakaian mereka compang-camping hingga bagian-bagian tubuh mereka yang terlarang sudah kelihatan,” ungkap Hajah E. Kuraesin dalam biografi Mohamad Rivai, Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Menurut adik perempuan Ajengan Yusuf Tauziri itu, kedatangan para anggota Divisi Siliwangi dan keluarganya tersebut disambut sangat ramah dan penuh haru oleh orang-orang Cipari. Para perempuan (beberapa ada yang sedang hamil) dan anak-anak langsung dirawat dan pakaian mereka lantas diganti dengan yang lebih baik.
“Semua wanita yang berada di Darussalam menyumbangkan pakaiannya kepada keluarga Batalyon Rivai yang berjumlah kurang lebih 500 orang,” ujar Kuraesin.
Atas perintah Ajengan Yusuf, selanjutnya para perempuan dan anak-anak itu disebar ke seluruh keluarga yang ada di sekitar Pesantren Darussalam. Mereka disamarkan sebagai bagian dari keluarga orang-orang Cipari. Sedangkan rombongan inti Batalyon Rivai yang terdiri dari prajurit-prajurit melanjutkan perjalanan ke arah markas besar mereka di Bandung sehari kemudian.
“Pak Rivai mempercayakan nasib anggota keluarga batalyon-nya kepada Ajengan Yusuf,” ungkap Syarif Hidayat yang saya wawancarai pada Mei 2017.
Beberapa jam usai prajurit-prajurit Rivai meninggalkan Cipari, bada magrib terjadilah kegemparan. Rupanya gerilyawan DI/TII yang sudah mencium kedatangan Batalyon Rivai datang untuk menghabisi rombongan anggota Divisi Siliwangi itu.
Satu persatu rumah-rumah orang-orang Cipari digeledah. Sambil menembakan senjata-senjata ke udara, mereka berteriak-teriak: “Mana Si Rivai haram jadah?! Jangan kalian sembunyikan!”
Para santri hanya terdiam. Mereka coba menahan amarah dan tidak melakukan perlawanan karena jumlah kekuatan sangat tidak berimbang. Sementara itu Ajengan Yusuf berhasil diamankan oleh para pengawalnya.
“Kenapa kalian kasih makan pasukan Si Rivai!” tanya salah seorang pimpinan gerilyawan DI/TII.
“Kami hanya menuruti perintah Mama Ajengan…” jawab salah seorang kepala santri.
“Mana sekarang dia?”
“Tadi siang berangkat ke Bandung.”
“Bilang sama Ajengan kalau sudah datang, lain kali kalau ada rombongan tentara kafir lewat ke sini, jangan sekali-kali dikasih makan! Kalau dikasih juga, kami tidak akan menjamin keselamatannya,” teriak sang komandan gerilyawan DI/TII sambil diiringi tembakan yang dilepaskan anak buahnya ke atas.
Beberapa hari kemudian, datang surat dari Kartosoewirjo yang ditujukan langsung kepada pimpinan Ajengan Yusuf Tauziri. Isinya sebuah ultimatum yang mengatakan: jika dalam tempo 7x24 jam Ajengan Yusuf belum bisa menentukan sikap (berdiri di pihak DI/TII atau RI) maka Pesantren Darussalam akan diratakan dengan tanah!
Baca juga: Banjir Darah di Cibugel
*
Tiga bulan kemudian.
Lewat magrib, Cipari dibekap sunyi mencekam. Rumah-rumah dibiarkan gelap karena para penghuninya sudah mengungsi ke Masjid As-Syuro yang terletak di tengah-tengah komplek Pesantren Darussalam. Sayup-sayup terkabarkan bahwa malam Jumat itu, Cipari akan diserang oleh para gerilyawan DI/TII.
“Kami mendengar pasukan DI.TII sudah mendekati Cipari menjelang isya,” kenang Kuraesin dalam tulisan ilmiah karya Iim Imadudin.
Menjelang jam 19, dari arah selatan terlihat lidah api menjulur ke angkasa. Suara kentongan bersahutan ditingkahi suara tembakan gencar, membentuk gelombang bunyi yang mengerikan. Para santri bersiap. Ajengan Yusuf bergegas ke atas menara Masjid As-Syuro dengan membawa Luger Paraballum, sejenis pistol semi otomatis buatan Jerman. Dia diikuti oleh Rizal (salah seorang putranya) yang memanggul satu peti granat.
“Saat itu para santri hanya memegang 7 pucuk senjata: lima karaben Jepang dan dua senjata dorlok tua untuk berburu binatang. Memang ada dua peti granat pemberian dari TNI. Tapi itu pun dibagi dua dengan Ajengan dan Rizal yang bertahan di atas menara,” tutur Syarif Hidayat.
Pasukan DI/TII yang diwakili Resimen Kalipaksi dan Sapujagat masuk melalui pertigaan jalan raya menuju Cibatu, lalu bergerak ke jalan perkampungan Desa Cimaragas dan mengarah ke Kampung Cipari. Jumlah mereka sekitar 3.000 orang.
Sambil bergerak, mereka menyebar teror dengan membakari rumah-rumah penduduk. Begitu mencapai Pesantren Darussalam kontak senjata pun langsung dimulai, di tengah jerit tangis para perempuan dan anak-anak. Dari atas menara, suara senjata milik Ajengan Yusuf terdengar begitu menyeramkan. Sesekali sang ajengan dan Rizal melemparkan granat tangan ke arah barisan pasukan DI/TII yang tengah melakukan gerakan pengepungan.
“Dalam kobaran api yang menghanguskan rumah-rumah, bayangan tubuh mereka terlihat dari kejauhan seperti wayang kulit yang bergerak-gerak di layar,” ungkap Kuraesin seperti dikutip Iim Imadudin dalam tulisannya.
Pertempuran memang berlangsung tidak seimbang. Namun karena diringi semangat yang tinggi, para santri dengan menggunakan taktik “hanya menembak musuh yang mendekat” melakukan aksi secara efektif. Dalam situasi seperti itu, senjata yang dipegang Oyoh, salah seorang pengawal Ajengan Yusuf, tiba-tiba macet.
Tanpa mengenal putus asa, dia kemudian menenteng dua granat tangan dan melangkah keluar masjid. Dengan gagah berani, dilontarkannya granat-granat itu ke kubu para gerilyawan DI/TII. Namun malang, saat berbalik arah untuk kembali ke masjid sebutir peluru menghantam tubuhnya. Oyoh pun terjengkang dan tewas seketika.
Pertempuran baru berhenti menjelang shalat subuh. Merasa tak akan mampu menjebol benteng yang dibentuk oleh santri-santri Darussalam, para gerilyawan DI/TII melakukan gerakan mundur dari Cipari dengan meninggalkan 13 mayat rekan-nya di kolam-kolam ikan dan sawah-sawah milik penduduk. Dari pihak Darussalam sendiri 11 orang telah menemui ajalnya.
“Tembak menembak itu berlangsung sampai pukul 3 pagi dan berhenti menjelang shalat subuh…” ungkap peneliti sejarah Hiroko Horikoshi dalam Kiyai dan Perubahan Sosial.
*
Insiden 17 April 1952, bukanlah serangan terakhir bagi Pesantren Cipari. Hingga 1958, sudah sekitar 50 kali gerilyawan DI/TII berupaya menjebol Masjid As-Syuro, namun selalu berhasil dipukul mundur.
“Meskipun terus diintimidasi oleh DI/TII, Ajengan Yusuf dengan bantuan santri-nya dan penduduk Cipari tak pernah sekalipun mau menyerah,” ujar Syarif Hidayat.
Pada 4 Juni 1962, Kartosoewirjo berhasil ditangkap oleh Batalyon 328/Kudjang II di Gunung Geber, Priangan Tengah. Bulan September dalam tahun yang sama, dia kemudian dihukum mati di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu. Ajengan Yusuf sendiri terus memimpin Pesantren Darussalam sampai tahun 1966. Lepas dari Pesantren Cipari, dia kemudian didapuk sebagai pembina di bagian perawatan rohani Kodam III Siliwangi.
Tepat 20 tahun setelah kematian Kartosoewirjo, sang ulama kharismatik dari Garut itu menghembuskan nafasnya yang terakhir. Jasadnya dimakamkan di sekitar Pesantren Darussalam, tempat yang dulu dipertahankannya mati-matian bersama para santri dan penduduk Cipari.
Baca juga: Seorang Belanda di Darul Islam
Tambahkan komentar
Belum ada komentar