Kisah Dewa dari Korea Utara
Menciptakan “agama” sendiri, Kim Il-sung diperlakukan sebagai manusia paripurna berjuluk “Jenderal Maha Tahu”.
Seno Gumira Ajidarma mengisahkan suatu kejadian tak mengenakan saat dirinya berkunjung ke Korea Utara pada 2002. Sebagai tamu resmi pemerintah negera komunis itu, Seno yang seorang kritikus film sekaligus fotografer, suatu hari berkesempatan mengambil gambar patung Kim Il-sung, Bapak Pendiri Korea Utara.
Saat tengah asyik memotret bagian-bagian patung itu secara rinci dari jarak dekat, tetiba seorang petugas mendekatinya. Dengan ketus dia melarang Seno untuk mengambil gambar patung tersebut secara tidak utuh.
“Kalau memotret pemimpin kami, tolong jangan dipotong-potong!” katanya seperti dituturkan oleh Seno dalam bukunya Jejak Mata Pyongyang.
Baca juga: Tiga Generasi Dinasti Kim
Bagi orang Korea Utara, Kim Il-sung bukan hanya sekadar Bapak Pendiri Bangsa. Bisa jadi khalayak di sana sudah menabalkannya sebagai dewa. Semua yang diucapkannya adalah perintah yang harus diamalkan. Termasuk memaksa rakyat Korea Utara untuk memeluk “agama baru” ciptannya bernama Juche. Bagi rakyat Korea Utara, menampik “agama” baru itu sama dengan mememanggil bahaya untuk datang dalam kehidupan mereka.
“Para pemeluk Juche tak perlu memikirkan 'kehidupan sesudah mati'. Mereka justru sedang berada di 'surga dunia yang disinari matahari gilang gemilang Pemimpin Besar Kebapakan, Kim Il-sung',” ungkap Lim Un dalam Secrets of the North Korea Dynasty: True Biography of Kim Il-sung.
Lim Un adalah nama samaran seorang bekas pengikut fanatik Kim Il-sung. Karena suatu sebab, dia dituduh menjadi pengkhianat dan diburu oleh polisi rahasia Korea Utara hingga kemudian menyingkir ke Uni Soviet. Lim kemudian menulis biografi sang mantan pujaan-nya itu dan terbit kali pertama dalam bahasa Jepang di Tokyo pada 1980-an.
Lim berkisah sejak berdirinya Republik Demokrasi Rakyat Korea (RDRK) pada 9 September 1948 (hingga hari ini), catatan mengenai kiprah kakek dari Kim Jong-un (pemimpin Korea Utara sekarang) itu 100 persen tanpa cela. Para remaja Korea Utara tiap waktu bahkan kerap memuji Kim dalam sebuah nyanyian sebagai “pahlawan legendaris yang menaklukan sejuta tentara Jepang”
Padahal faktanya, itu semua hanyalah bualan semata. Dalam majalah Reader’s Digest edisi Maret 1982, pakar tentang Korea Utara Anthony Paul menyebut bahwa di era perjuangan melawan penjajahan Jepang, sebagian besar waktu Kim Il-sung dihabiskan di kampus pendidikan politik yang terletak di Uni Soviet.
"Dia sebenarnya tak pernah memimpin lebih dari 300 orang partisan,” ungkap Anthony Paul.
Baca juga: Persepsi China tentang Korea Utara
Kultus individu itu bukanlah sesuatu yang berjalan kebetulan saja. Kim Il-sung memang sengaja membangunnya guna menjamin keberlanjutan kekuasaannya. Maka tak heran jika segala sesuatu mengenai Kim Il-sung haruslah sempurna. Termasuk penyebutan khas media massa Korea Utara terhadapnya: Jenderal Maha Tahu yang kuat bagai baja, yang merebut 100 kemenangan dari 100 pertempuran.
Untuk hal-hal kecil saja, misalnya soal ukuran badan, Kim Il-sung harus diperlihatkan dalam media sebagai sosok pemimpin yang gagah dan tegap. Dalam beberapa kasus, foto resmi yang memperlihatkan Kim Il-sung bersama tamu asing berpostur jangkung haruslah direvisi dahulu sebelum dipublikasikan. Kendati aslinya Kim adalah sosok gemuk dan agak pendek namun dalam penampilan di media adalah haram hukumnya sang pemimpin besar berpenampilan cebol.
Di tingkat internasional, pamor Kim Il-sung diangkat di berbagai surat kabar Barat dengan mengeluarkan dana sampai jutaan dolar. Itu meliputi bayaran untuk memuat iklan pidato-pidato Kim Il-sung di berbagai surat kabar luar negeri. Setelah dimuat, maka secara cepat koran-koran pemerintah memberitakannya: pelbagai penerbitan utama dunia menyediakan kolomnya untuk gagasan-gagasan Pemimpin Besar.
Tidak puas dengan program-program propaganda yang sudah dilakukan, Kim Il-sung pun mendirikan Museum Revolusi Korea. Persis di muka gedung museum itu didirikanlah patung dirinya sendiri setinggi 79 kaki. Di dalam museum itu kurang lebih terdapat 90 ruangan yang melukiskan betapa bersatunya rakyat di sekitar Pemimpin Besar.
Pengkultusan di luar akal sehat memunculkan “teror tersendiri” untuk rakyat Korea Utara. Alih-alih untuk melakukan kritik, memperlakukan gambarnya secara tak layak saja bisa berakhir di ujung senjata atau paling ringan masuk penjara. Kerani kantor pos misalnya. Dia harus sangat berhati-hati jika mencap perangko bergambar Kim Il-sung. Aturan di Korea Utara hanya sudut-sudut perangko tersebut yang boleh terkena tinta. Jika tinta itu mengenai bagian gambar wajahnya, itu alamat kiamat bagi hidup sang kerani.
Begitu jug cara memperlakukan koran bekas yang ada foto Pemimpin Besar, tak boleh sembarangan. Ada aturannya jika seseorang akan menggunakan koran bekas tersebut untuk membungkus sesuatu atau penambal dinding. Gambar Kim harus lebih dulu digunting lalu disimpan secara baik-baik di tempat yang layak.
Pendewaan terhadap Kim Il-sung tidak berakhir ketika dia meninggal pada 8 Juli 1994. Layaknya para diktator di negara-negara komunis, jasad Pemimpin Besar kemudian dibalsem dan disemayamkan di sebuah peti kaca. Tubuhnya dibaringkan di Mausoleum Istana Kumsusan, Pyongyang yang diresmikan pada saat memperingati setahun kematiannya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar