Kisah Bintang Mahaputra untuk Yuri Gagarin
Penyematan tanda jasa itu semula ditujukan bagi Perdana Menteri Uni Soviet. Karena merasa jasanya belum banyak, ia pun menolak.
Yuri Alekseyevich Gagarin adalah manusia bumi pertama yang mencapai luar angkasa. Pada 12 April 1961, kosmonot Uni Soviet itu berangkat ke luar angkasa menggunakan pesawat antariksa Vostok-1. Penerbangan itu berjalan dengan sukses. Selama 108 menit, Gagarin mengitari orbit bumi.
Keberhasilan Gagarin terbang ke luar angkasa memukau seluruh dunia. Begitu mendarat kembali ke bumi, dia disambut bagaikan pahlawan umat manusia. Berbagai suratkabat dari berbagai negara kemudian memberitakan sosok Yuri Gagarin. Pemberitaan itu sampai pula ke Indonesia dan turut memantik apresiasi Presiden Sukarno.
Pada Juni 1961, Bung Karno bahkan menganugerahi tanda jasa Bintang Mahaputra kepada Gagarin. Penghargaan prestisius itu makin mempererat hubungan Indonesia dengan Uni Soviet. Namun, terselip drama unik yang mengiringi kisah penyematan Bintang Mahaputra bagi Gagarin.
Baca juga: Yuri Gagarin Pahlawan Indonesia
Bantuan Uni Soviet
Penghargaan itu tidak lepas dari perkembangan hubungan diplomatik Indonesia dan Uni Soviet. Pada 1956, Presiden Sukarno berkunjung ke Uni Soviet untuk kali pertama. Kunjungan tersebut dibalas oleh Perdana Menteri Nikita Khrushchev yang datang ke Indonesia pada akhir Februari 1960.
Sampai pertengahan 1961, Indonesia telah memperoleh bantuan kredit lunak dari Uni Soviet senilai ratusan juta dolar Amerika. Sebesar US$250 juta untuk pengembangan proyek strategis dan US$450 juta dalam bentuk pembelian senjata berat untuk keperluan pembebasan Irian Barat. Sukarno menyatakan betapa berartinya bantuan Uni Soviet itu dalam otobiografinya.
Baca juga: Safari Nikita ke Indonesia
“Akhirnya kuminta pada Khrushchev pinjaman seratus juta. Hari sangat dingin akan tetapi dia keluar juga dari (Istana) Kremlin untuk merangkulku di tengah jalan, menyambutku dengan kata-kata yang ramah dan dia sendiri membimbingku masuk. Dua menit kemudian setiap orang mengucapkan ‘Da’ dan selesailah semua,” kata Sukarno kepada penulis Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Sukarno menambahkan, “Mereka (Uni Soviet) tidak mendikte tentang bagaimana seharusnya kelakuan kami di masa yang akan datang sebelum menyodorkan sepiring nasi kepadaku.” Hal ini bermaksud seolah menyindir Amerika Serikat (AS) yang enggan memberikan bantuan kredit kepada Indonesia. Selain itu. Sukarno juga secara tersirat mencela kebijakan AS yang kerap mencampuri urusan negara lain.
“Apa alasanku untuk bersikap tidak ramah kepada Uni Soviet? Pandirlah aku, kalau membuang muka, bilamana diberi begitu banyak,” ungkap Sukarno.
Kesaksian Jenderal Nasution
Pada Juni 1961, Bung Karno mengadakan kunjungan keduanya ke Moskow, Uni Soviet. Seperti kunjungan sebelumnya, Khrushchev menyambut kedatangan Sukarno dengan penuh kehormatan. Pemerintah Uni Soviet juga menyatakan dukungannya kepada Indonesia sehubungan dengan perjuangan membebaskan Irian Barat dari tangan Belanda.
Peristiwa menarik terjadi ketika Khrushchev menghadiri undangan Sukarno dalam acara makan malam yang diselenggarakan Kedutaan Besar RI di Moskow. Selain Khrushchev, sejumlah petinggi Soviet juga datang. Mereka diantaranya Presiden Leonid Brezhnev dan Deputi Perdana Menteri Anasta Mikoyan.
Baca juga: Sukarno, Antara India dan Pakistan
Saat itu, Sukarno mengajak tamu-tamunya menari. Khrushchev lebih memilih diam lantaran tidak biasa menari. Dia menunjuk Brezhnev dan Mikoyan sebagai rekan menari bagi Sukarno. Tapi, Sukarno tetap saja menggandeng Khrushchev agar bergabung untuk melenso. Khrushchev, orang yang paling berkuasa di Uni Soviet itu menyerah juga oleh ajakan Sukarno.
“Mereka akhirnya menari mengikuti musik ‘cha cha cha’,” tulis Sigit Adi Prasetyo dalam bukunya Dunia dalam Genggaman Bung Karno.
Sewaktu lagi asyik-asyiknya menari, Sukarno berbisik ke telinga Khrushchev. Seperti dikutip Sigit dari Times, 16 Juni 1961, Sukarno mengatakan, “Sahabatku Khrushchev, bisakah anda menambah bantuan untuk Indonesia?” Mendengar permintaan khusus itu, Khrushchev segera merogoh koceknya dan berujar dengan nada guyon, “Lihat! Dia merampok segalanya dariku. Dia mengambil semua yang aku miliki.” Sukarno, Khrushchev, Mikoyan, dan Brezhnev hanyut dalam tawa yang terbahak-bahak dalam percakapan itu.
Baca juga: Gurauan Sukarno untuk Kennedy dan Khrushchev
Kesaksian lain mengenai kunjungan Sukarno itu dituturkan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution. Saat itu, Nasution yang menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat turut menyertai kunjungan Sukarno. Namun, Nasution baru bergabung dengan rombongan Sukarno pada hari kesekian. Sebab, pada hari sebelumnya Nasution punya agenda lain di Eropa Barat dan Yugoslavia sehubungan dengan diplomasi TNI dan pembelian senjata.
Nasution hadir ketika menandatangani kontrak pembelian senjata yang kedua di Istana Kremlin. Nasution tidak sendiri dalam akad itu. Dari pihak Indonesia ada Presiden Sukarno sedangkan Nikita Khrushchev, Leonid Brezhnev, dan Menteri Pertahanan Marsekal Malinovsky mewakili pemerintah Uni Soviet.
Menurut Nasution, setelah akad kredit selesai, Presiden Sukarno ingin memberikan Bintang Republik sebagai tanda jasa kepada Khrushchev. “Saya dapat saksikan, bahwa PM ini dengan tegas tapi amat bijaksana menolaknya,” kata Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama.
Baca juga: Jenderal Nas dan Kamerad Khruschev
Sambil berkelakar, Khruschev mengatakan bahwa jasanya masih belum banyak. Dengan begitu, dia merasa tidak layak disematkan tanda jasa. Sukarno berkelakar balik seraya menggertak, bisa putus hubungan Indonesia dan Soviet kalau Khrushchev tidak bersedia menerimanya.
“Akhirnya disepekati, bahwa akan disampaikan kepada Presiden Brezhnev dan Kosmonot Gagarin,” kenang Nasution. Itulah Bintang Mahaputra yang disematkan Sukarno kepada Yuri Gagarin.
Khusus untuk Gagarin, Sukarno juga menghadiahkan wisma khusus di Jalan Raya Puncak, Bogor sebagai tempat tinggalnya bila berkunjung ke Indonesia. Sayangnya, Gagarin tidak pernah menempati wisma itu karena dia meninggal pada 1968 akibat kecelakaan pesawat. Wisma itu kemudian dialihfungsikan sebagai Wisma Kedutaan Besar Rusia.
Kini, patung Yuri Gagarin berdiri di Taman Mataram, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ia menjadi lambang persahabatan Indonesia dan Rusia. Patung Gagarin itu diresmikan 10 Maret 2021 yang lalu untuk mengenang tujuh dekade hubungan diplomatik kedua negara.
Baca juga: Yuri Gagarin dan Para Kosmonot Pahlawan Indonesia
Tambahkan komentar
Belum ada komentar