Ketika Sukarno Mewarnai Republik
Sejak kali pertama diangkat sebagai presiden Republik Indonesia, Sukarno banyak memberikan corak politik.
Kehidupan politik negara bernama Republik Indonesia resmi berjalan setelah 17 Agustus 1945 Sukarno-Hatta membacakan ikrar proklamasi kemerdekaan. Itu menjadi tanda terbebasnya rakyat dari pengaruh kolonialisme. Sukarno berdiri di garda terdepan. Bersama generasi founding fathers lain, dia menjajaki jalan hidup baru: mendirikan negara berdaulat.
Sebagai pemegang kursi tertinggi pemerintahan Indonesia, Sukarno membuat banyak racikan politik. Bentuknya disesuaikan dengan kondisi zaman. Seperti pasca kemerdekaan (1945-1949) yang mengusung “sistem presidensial”. Sukarno bertindak sebagai kepala negara cum kepala pemerintahan. Masa ini arah politik belum terlihat jelas karena masih meraba-raba wujud pastinya. Pemerintah lebih berfokus kepada usaha mempertahankan kemerdekaan.
Memasuki periode 1950-1959 Sukarno merancang “sistem demokrasi parlementer”. Sebagai kepala negara, ia didampingi seorang perdana menteri dalam mengurusi pemerintahan. Bentuk politik bebas aktif ini juga dikenal sebagai masa “demokrasi liberal”. Tidak bisa dibilang sukses tetapi mampu memberi warna di dalam kehidupan bernegara RI. Juga membuka jalan bagi wujud politik di masa setelahnya karena berhasil melahirkan banyak partai politik, serta rasa ingin berpolitik di antara warga negara.
Baca juga: Demokrasi
Alam pikir kebebasan bernegara yang diusung Sukarno selama periode tersebut sebetulnya telah muncul lebih dini dari negara Indonesia itu sendiri. Pemikirannya hadir di masa perjuangan, saat cerminan negara ideal di mata Bung Karno merujuk kepada sebagian kecil negeri di Benua Biru yang sukses membangun negeri dan mengukir namanya dalam sejarah. Sukarno melihat suatu kesuksesan di balik kebebasan itu. Meski tidak dapat dipungkiri tetap melahirkan sisi gelap yang dapat mengancam keberlangsungan bernegara.
Di dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1, Sukarno menulis sebuah artikel pada 1941 berjudul “Demokrasi Politik dengan Demokrasi Ekonomi = Demokrasi Sosial”. Dia memberi gambaran tentang sistem parlementer yang diterapkan negara-negara Eropa sesudah Revolusi Prancis. Menurutnya sistem itu berhasil melahirkan politieke democratie (demokrasi politik): semua lapisan rakyat mempunyai hak bercampur tangan di dalam politik kenegaraan, hak untuk memilih dan hak untuk dipilih.
“Kalau ditilik dengan sekelebatan mata saja, maka memang cara pemerintahan semacam ini seperti sudah bisa menyenangkan 100% kepada rakyat. Toh sudah boleh memilih atau dipilih, boleh membuat usul ini atau itu, boleh menyetem pro kalau mufakat dan boleh menyetem menolak kalau tidak mufakat, boleh mengadakan undang-undang baru atau meniadakan undang-undang lama,” kata Sukarno.
Bukan Pilihan Terbaik
Layaknya dua sisi mata uang, kebebasan bernegara yang baik seperti ini juga melahirkan suasana yang tidak baik bagi rakyatnya. Di dalam negeri-negeri yang memakai praktek pemerintahan demikian, kata Sukarno, rakyat belum sepenuhnya senang. Urusan politik dan ekonomi di antara penguasa yang memiliki pengaruh kuat akan menggerus kaum lemah. Rakyat yang menderita secara ekonomi masih saja banyak ditemui di tengah pemerintahan ini.
Baca juga: Pidato Sukarno Menuju Memori Dunia
“Karena itu ternyatalah bahwa untuk membuat sejahteranya rakyat jelata, politik demokrasi atau parlementer demokrasi saja belumlah cukup. Masih perlu lagi ditambah dengan demokrasi di lapangan lain, kerakyatan di lapangan lain, kesama-rasa-sama-rataan di lapangan lain,” ungkap Sukarno.
Ada periode transisi yang cukup penting antara 1957-1959. Daniel S. Lev dalam The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics 1957-1959, mengatakan jika selama tahun-tahun tersebut, difusi kekuatan politik yang sebelumnya begitu luas –terbagi ke dalam bentuk ideologi partai-partai politik, paham individu, serta warna organisasi– digantikan oleh tiga wujud: Presiden Sukarno, tentara, dan partai komunis. Di sinilah “sistem demokrasi terpimpin” memulai debutnya, memperlihatkan bentuk yang ditetapkan untuk menguasai pemerintahan.
“Begitu dramatis pengalaman politik periode ini dan begitu mendalam terukir di benak banyak orang Indonesia sehingga pengaruhnya masih sangat kuat dan dapat diperkirakan akan mempengaruhi karakter perkembangan politik Indonesia selama tahun-tahun yang akan datang,” tulis Daniel S. Lev.
Tahun 1958, menjelang pergantian sistem pemerintahan, Sukarno mengubah sikapnya terhadap demokrasi parlementer. Saat memberi kuliah tentang Pancasila di Istana Negara, Sukarno mengemukakan pandangan kritisnya. Menurutnya, parlementer demokrasi hanya sebuah ideologi politik. Sistem seperti ini datang dari ideologi politik kapitalisme yang sedang naik.
Menurut peneliti sejarah Max Lane, ada dua alasan yang mengiringi perubahan sikap Sukarno tersebut. Pertama, mulai meresapnya pemahaman kaum kiri ke dalam alam pikir Si Bung. Terlihat dari caranya mengkritik demokrasi liberal yang bentuknya umum diungkapkan oleh kaum kiri di mana pun: menuntut kesamaan. Dalam demokrasi liberal, kata Sukarno, semua warga negara dan semua kekuatan punya hak formal yang sama, tetapi karena kekuatan keuangannya berbeda, hak formal itu batal sebab.
Baca juga: Sukarno yang (Di)Kalah(kan) Total
Kedua, praktik demokrasi liberal secara nyata tidak mudah diterapkan di Indonesia. Sukarno menyaksikan sendiri gagalnya penerapan demokrasi semacam ini. Sejak kemerdekaan, khususnya 1950-1958, kehidupan politik parlementer diwarnai oleh gonta-ganti koalisi kabinet. Friksi antar partai juga semakin tajam. Sukarno tidak melihat keajegan yang mampu menopang perpolitikan republik ini. Dia dan banyak orang mengeluh kerap terjadi saling jegal-menjegal antar pengaruh.
“Parlementer demokrasi memberi kans yang sama secara demokrasi kepada semua orang di bidang politik sama, itupun zoegenaamd (seharusnya). Sebab dalam prakteknya si pemegang uanglah yang bisa membiayai surat-kabar, membiayai propaganda,” kata Sukarno. “… kita sebenarnya tidak boleh memakai parlementer demokrasi”.
Mengambil Sikap
Beres dengan demokrasi parlementer, Sukarno mencoba sistem baru: demokrasi terpimpin. Masuknya periode demokrasi terpimpin ini sebetulnya sudah ditandai dengan suatu peristiwa penting beberapa tahun sebelumnya. Pada 17 Oktober 1952, sekelompok kecil tentara mengarahkan moncong meriam ke arah Istana Merdeka. Mereka geram atas ulah para politikus, termasuk Sukarno, di parlemen yang dianggap merecoki urusan internal militer. Kabar yang beredar, ada rencana untuk mereorganisasi sekaligus mengurangi anggaran tentara demi efisiensi. Versi lain menyebut adanya intrik politik persaingan antar partai.
Dianggap sebagai biang keladi, KSAD Kolonel Abdul Harus Nasution mendapat murka sang Presiden. “Engkau benar dalam tuntutanmu, akan tetapi salah di dalam caranya,” kata Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat. “Sukarno tidak sekali-kali akan menyerah karena paksaan. Tidak kepada seluruh tentara Belanda dan tidak kepada satu batalyon Tentara Nasional Indonesia,” tegasnya.
Baca juga: Ada Nasution di Balik Dekrit Presiden
Peristiwa kudeta kecil itu menjadi peringatan bagi Sukarno untuk mengambil sikap. Maka bercermin insiden tersebut, Bung Karno kemudian datang dengan ide Demokrasi Terpimpin. Sebagaimana Pancasila, ide itu pun diakuinya berdasarkan nilai-nilai yang ada pada masyarakat Indonesia: musyawarah untuk mufakat. Dalam sebuah wawancara dengan wartawan TV Belanda, dia mengatakan, “Demokrasi terpimpin bukanlah sebuah kediktatoran, demokrasi terpimpin adalah demokrasi dengan kepemimpinan.”
Sukarno kemudian memaklumatkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dekrit tersebut menetapkan kembali UUD 1945 sebagai dasar negara dan membubarkan lembaga konsitituante sekaligus menandai berakhirnya demokrasi parlementer. Presiden merasa jengah setelah lebih dari tiga tahun, Konstituante tak kunjung mencapai kata sepakat. Di samping suasana kisruh akibat pemberontakan PRRI-Permesta di dalam negeri.
Sejak 1962, Sukarno lebih mendorong konsepsi Nasakom dan Front Nasional. Pada tahun-tahun tersebut, kata Lane, gerakan mobilisasi massa pendukung Sukarno semakin besar. Hal itu disertai juga dengan dukungan ide-ide “sosialisme ala Indonesia” yang diusung Sukarno. Gerakan itu agaknya menjadi solusi yang diharapkan bisa memecahkan kebuntuan situasi politik nasional.
“Tetapi Sukarno tetap memberlakukan sanksi administratif, yakni larangan terhadap PSI, Masyumi, dan Murba,” tulis Lane.
Pada 1963 didirikan Komando Tertinggi Retooling Alat Revolusi (Kotrar) langsung di bawah komando Sukarno, yang menggantikan Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) pimpinan Jenderal Nasution. Menurut Max Lane, sejak ada Kotrar di Indonesia terjadi perubahan konsep penggantain pemerintah menjadi Retooling Kabinet –artinya mereka yang dianggap datang dari golongan “kanan” di dalam kabinet diganti dengan yang “kiri” atau progresif.
Itulah sebabnya Sukarno menyebut demokrasi terpimpin yang dibawanya bukanlah kediktatoran. Padahal menjelang akhir-akhir kekuasaannya, ada gejala kebebasan rakyat terbungkam. Sri Bintang Pamungkas dalam Ganti Rezim Ganti Sistim: Pergulatan Menguasai Nusantara, mencatat ada sejumlah tokoh pergerakan yang tersingkir. Bahkan Sutan Sjahrir, Anak Agung Gde Agung, Subadio, Prawoto, dan Mohammad Roem harus mendekam di penjara berkat sikap Sukarno tersebut.
Baca juga: Roem: Tidak Ada Waktu Membenci Sukarno
“Alasannya karena menurut “logika revolusi” harus ditarik garis yang tegas antara kawan dan lawan. Karena kami tidak dipandang sebagai kawan maka kami dianggap musuh. Sangat sederhana berpikir menurut logika revolusi!” tegas Roem dalam Bunga Rampai dari Sejarah.
Puncaknya, kepemimpinan Sukarno tidak dapat lagi menopang sistem kenegaraan di Indonesia. Ketika kepemimpinannya jatuh, alih-alih menjadi baik, peralihan kekuasaan pun malah menempatkan Soeharto lebih kokoh di puncak pemerintahan tertinggi Republik dan berlaku otoriter.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar