Ketika Masyumi Memimpin Kabinet
Masyumi contoh nyata sebuah partai Islam yang pernah berkuasa di negeri ini. Persekongkolan dengan Amerika Serikat membuatnya terempas jatuh dari kursi kekuasaan.
Peranan sayap Mohammad Natsir di masa Kabinet Hatta menentukan langkah Masyumi dalam pemerintahan di era jatuh-bangun kabinet. Selama kurun waktu 1950-1956, Masyumi memimpin tiga kabinet (Natsir, Sukiman, Harahap) dan menjadi pimpinan bersama dalam Kabinet Wilopo. Namun selama itu guncangan di tubuh partai tak lantas reda.
Sejak pembentukan Kabinet Natsir, kelompok Sukiman melontarkan kecaman. Mereka merujuk keputusan muktamar yang melarang ketua umum menjadi menteri. Namun keputusan itu diubah Dewan Partai dalam konferensi di Bogor pada Juni 1950 yang menonaktifkan Natsir sebagai ketua umum dan menunjuk Jusuf Wibisono sebagai penjabat ketua. Kelompok Sukiman juga mengecam terbentuknya zaken kabinet, bukan kabinet koalisi seperti diperintahkan presiden, dengan tidak melibatkan PNI.
Baca juga: Riwayat Berdirinya Partai Masyumi
Kendati demikian, Sukiman yang menjadi ketua fraksi Masyumi di parlemen menerima program pemerintah. Sementara Jusuf Wibisono dan Burhanuddin Harahap meninggalkan sidang ketika pemungutan suara.
Akibat mosi Hadikusumo (PNI) atas pencabutan Peraturan Pemerintah No 29/1950 tentang pembekuan lembaga perwakilan daerah dan kegagalan konferensi tentang Irian Barat, Kabinet Natsir goyah. Pembubaran kabinet juga disuarakan kelompok Sukiman, terutama Jusuf Wibisono. Dia bahkan mengatakan “tidak takut dipecat dari partai karena kritik-kritiknya. Kritiknya adalah untuk kepentingan negara dan Masyumi.”
Pembentukan kabinet berikutnya, bersama PNI, juga menimbulkan friksi. Penyebabnya, Sukiman sebagai formatur dari Masyumi tak berkonsultasi dengan partai. Bahkan ketika Kabinet Sukiman diumumkan, pimpinan pusat Masyumi masih berembug. Kelompok Natsir mendorong resolusi melalui Dewan Pimpinan Partai yang menyatakan tindakan Sukiman sebagai formatur tidak sah dan tidak mewakili kemauan politik Masyumi.
Baca juga: Lakon Masyumi Zaman Revolusi
Kabar perpecahan Masyumi berhembus kencang, termasuk isu pembentukan partai tandingan Masyumi Merdeka. Para pemimpin Masyumi sibuk membantah tapi mengedepankan suara menyejukkan. “Bukan rahasia lagi bahwa ada dua sekolah pemikiran di dalam Masyumi,” ujar Roem, dikutip Herbert Feith, The Wilopo Cabinet.
Pertentangan kembali mengemuka soal Mutual Security Act (MSA), bantuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika Serikat. Kelompok Sukiman beralasan perjanjian itu memberi kontribusi bagi keamanan negara-negara Pasifik dan menghambat laju komunisme. Dewan Pimpinan Partai yang dipimpin Natsir menentangnya karena menanggalkan politik bebas aktif. Sukiman akhirnya mendapat persetujuan partai, kendati dengan selisih suara tipis. Kabinet Sukiman jatuh akibat mosi Djodi Gondokusumo (Partai Rakyat Nasional) di parlemen yang menolak perjanjian itu.
Baca juga: Dua Faksi Partai Masyumi
Presiden Sukarno menunjuk Prawoto Mangkusasmito dari Masyumi dan Sidik Djojosukarto dari PNI. Kericuhan di tubuh Masyumi bukan mereda, malah bertambah. Kelompok Sukiman menghendaki Sukiman kembali menjabat, kelompok lainnya menunjuk Prawoto. Posisi menteri agama menjadi medan pertarungan NU, yang sudah tiga kali menjadi langganan, dan Muhammadiyah. Akibatnya formatur gagal membentuk kabinet, yang kemudian dialihkan ke tangan Wilopo (PNI).
Dalam menyusun kabinet, Wilopo menerima daftar calon dari Masyumi yang disusun di bawah pengaruh Natsir. Jabatan menteri agama diserahkan kepada Fakih Usman dari Muhammadiyah. Maka, NU memutuskan keluar dari Masyumi dan membentuk partai politik sendiri.
“Marjinalisasi lebih lanjut dari Nahdatul Ulama mungkin bagian dari rencana lebih besar Natsir untuk mengkonsolidasikan dominasi kepemimpinannya di dalam Masyumi,” tulis Robert E. Lucius, “A House Divided: The Decline and Fall of Masyumi (1950-1956)”, disertasi di Naval Postgraduate School, tahun 2003.
Baca juga: Mengapa NU Keluar dari Masyumi?
Keluarnya NU berdampak besar bagi Masyumi ketika pemilihan umum 1955. Masyumi, yang digadang-gadang sebagai kekuatan politik terbesar di Indonesia, gagal memperoleh suara mayoritas. Ia menempati urutan kedua di bawah PNI. Sebagian suara Masyumi beralih ke NU yang menduduki urutan ketiga.
“Menjelang akhir tahun 1956, Masyumi terlihat laksana raksasa berkaki kapur, yang melemah akibat perfoma mediocre saat pemilihan umum dan merapuh akibat rongrongan sebagian pengikutnya,” tulis Remy.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar