Ketika Ibukota Amerika Diduduki Kelompok Hanafi
Akibat ulah sekelompok warga yang kecewa, Washington DC diduduki selama tiga hari. Ratusan orang disandera, satu reporter meregang nyawa.
Hari ini, 11 Maret, 44 tahun silam. Marion Barry, anggota Council of the District of Columbia yang kelak menjabat sebagai walikota terlama District of Columbia, masih trauma. Dua hari sebelumnya, 9 Maret 1977, dia nyaris kehilangan nyawanya.
Usai memberi pidato di Klub Kiwanis, dia kembali ke kantornya di lantai lima gedung pemerintah Distrik. Dia sempat diperingatkan seorang security agar berhati-hati karena ada masalah di atas ketika akan menaiki lift. Karena tak paham maksud pesan si security, Marion tetap menaiki lift menuju kantornya.
“Begitu saya turun dari lift untuk berjalan melintasi aula, saya mendengar suara tembakan dari ujung lorong. Saya ke kanan untuk turun dan segera merasakan sensasi terbakar di dada saya, dan saya tahu bahwa saya telah ditembak. Saya berhasil masuk ke ruang kantor di seberang lorong dan berkata, ‘Saya butuh dokter’," kata Marion dalam otobiografinya yang ditulis bersama Omar Tyree, Mayor for Life: The Incredible Story of Marion Barry, Jr.
Marion beruntung. Aparat keamanan dan pemadam berhasil memasuki ruang tempatnya berada. Mereka langsung membawanya menuju lantai 4, tempat yang aman, lalu menggunakan lift ke lantai dasar dan selanjutnya ke rumahsakit. Nyawa Marion berhasil diselamatkan. Dokter yang mengoperasinya mengatakan Marion amat beruntung karena peluru tinggal setengah inci dari jantungnya.
“Saya tidak tahu siapa yang menembak saya atau apa yang terjadi. Saya bahkan tidak melihat siapa pun dengan pistol,” sambung Marion.
Baca juga: CIA dalam Penyanderaan Konsulat Indonesia
Marion ternyata terkena peluru dari anggota gerombolan bersenjata pengikut kelompok Hanafi Mad-hab Center pimpinan Hamaas Abdul Khaalis. Sejak 9 Maret 1977 siang, mereka menduduki gedung Distrik dan menyandera orang-orang di dalamnya (populer sebagai Hanafi Siege).
Hamaas merupakan pelanjut kepemimpinan kelompok Mazhab Hanafi, organisasi Islam yang didirikan imigran Bangladesh Dr. Tasibur Uddein Rahman pada 1947.
"Ketika Dr. Rahman menamai organisasinya sebagai Mazhab Hanafi, dia merujuk pada gagasan bahwa keadaan alami semua manusia adalah dia dibimbing oleh Tuhan (Hanif seperti Ibrahim) ketimbang merujuk khusus ke Mazhab Hanafi yang dimulai oleh murid dari ulama Kufan Fiqh Abu Hanifah an-Nu'man ibn Thabit," tulis Muhammed A. al-Ahari dalam artikelnya “Hamaas Abdul Khaalis and the Hanafi Madh-Hab”, dimuat di academia.edu.
Setelah selesai berguru, atas dorongan Rahman, Hamaas –yang tadinya bernama Ernest McGhee– masuk ke dalam Nation of Islam (NOI), organisasi Islam Afro-Amerika yang didirikan tahun 1930 oleh Fard Muhammad. Hamaas ditugaskan untuk mengajak para anggota NOI ber-Islam ke jalan yang benar. Dalam pandangan Rahman, Islam yang diajarkan NOI telah melenceng. Selain mengkhususkan pemeluknya dari kalangan kulit hitam, NOI menganggap Fard Muhammad sebagai inkarnasi Allah.
Kendati kariernya di NOI menanjak cepat setelah masuk pada 1951, Hamaas keluar dari NOI pada 1958 dan gagal mengajak para anggota NOI ke jalannya. Konfliknya dengan NOI dimulai saat hari kematian Marie Muhammad, ibunda Elijah Muhammad sang penerus Fard Muhammad, pada 1958.
“McGhee melihat ini sebagai kesempatan untuk menyarankan kepada Elijah Muhammad dan para menteri di Nation of Islam bahwa Nation of Islam harus bergerak lebih dekat ke ‘Islam Ortodoks’ yang lebih universal dalam cakupan dan yang mengajarkan bahwa Allah tidak berinkarnasi menjadi manusia, juga orang Afro-Amerika bukan satu-satunya yang bisa jadi Muslim secara alami,” tulis Muhammed A. al-Ahari.
Akibat sarannya itu, Hamaas dicopot dari jabatan Sekretaris Nasional dan dimutasi ke NOI cabang Harlem. Dia dicap sebagai pengkhianat setelah keluar dari NOI tak lama kemudian, termasuk oleh sahabatnya bernama Malcolm X.
“Khaalis meninggalkan NOI tahun 1958 dan mendirikan kelompok Muslimnya sendiri, Hanafi, yang didasarkan pada ajaran salah satu dari empat mazhab utama pemikiran Islam Sunni. Khaalis membawa pengikutnya menjadi lebih sesuai dengan Islam Sunni dengan menekankan keesaan Tuhan dan dengan berbeda pendapat dari doktrin rasial Elija Muhammad,” tulis Encyclopedia of Muslim-American History.
Setelah kematian Rahman pada 1967, Hamaas yang sibuk melakukan syiar ke jalan-jalan dan bergabung dengan National Urban League, mulai mengorganisir Hanafi Madh-hab Center dan American Social Federation for Mutual Improvement di Harlem untuk menyebarkan ajaran Rahman. Dia memberikan bimbingan dan pengajaran untuk para siswa putus sekolah.
“Antara 1967 dan 1970, Khaalis menjabat sebagai direktur akademi jalanan Urban League di New York City, program yang mendidik kaum muda Afrika-Amerika yang putus sekolah, sebuah posisi yang memungkinkannya untuk menyebarkan Islam Hanafi kepada kaum miskin kota,” sambung Encyclopedia of Muslim-American History.
Kegiatan Hamaas makin berkembang setelah dia berkenalan dengan pebasket Milwaukee Bucks –yang kemudian menjadi bintang LA Lakers– Lew Alcindor pada 1970. Pebasket yang menjadi murid spiritualnya itu setelah masuk Islam diberinya nama Kareem Abdul Jabbar. Dari Kareemlah rumah di Washington untuk markas Hanafi Madh-Hab Center berasal dan dana organisasi banyak disokong. Dukungan Kareem membuat Hanafi Madh-hab Center berkembang pesat.
“Hanafi Madh-Hab memiliki 100 pengikut ketika Jabbar bergabung, dan tumbuh menjadi lebih dari 1000 pada tahun 1977,” tulis Muhammed A. al-Ahari.
Sepeninggal Kareem, yang tidak menyetujui beberapa ajaran Hamaas, terutama pada hal kebencian intens pada Yahudi, Hanafi Mad-hab berangsur tenggelam. Hamaas sendiri sejak awal 1973 disibukkan dengan kegiatan mengirim surat berisi kritikan terhadap ajaran Fard Muhammad dan Elija Muhammad di NOI.
Kritik Hamaas membuat NOI berang. Elijah Muhammad bahkan sampai membuat pidato pembelaan terhadap Fard Muhammad, yang kemudian dibukukan dengan judul The True History of Fard Mohammad, untuk meresponnya. Lewat koran NOI, Muhammad Speaks, Elijah dan para menteri NOI aktif menangkis sekaligus menyerang balik Hamaas atau Malcolm X dan para pengkritik yang datang dari berbagai organisasi Islam Sunni lain.
Hal itu membuat Hamaas makin keras mengkritik. Terlebih dia didukung Federation of Islamic Associatons dan Muslim Student Association.
Anggota NOI makin marah dibuatnya. Pada 17 Januari 1973, beberapa anggota NOI Philadelphia mendatangi rumah Hamaas dengan berpura-pura ingin membeli karya Hamaas berjudul “Look and See”. Saat itu Hamaas sedang keluar belanja. Setelah diizinkan masuk, mereka langsung melancarkan aksinya.
“Akhir yang mengganggu dari Perang Saudara Islam antara Hamaas Abdul Khaslis dan NOI Elijah Muhammad terjadi dengan pembantaian tujuh anggota keluarga Hamaas oleh anggota Nation of Islam yang terkenal pada 17 Januari 1973. Para pembunuh (dari Kuil Philadelphia NOI dan yang merupakan bagian dari kelompok yang disebut Mafia Hitam), tampaknya menganggap rumah itu penuh dengan uang yang diberikan oleh Kareem Abdul Jabbar dan pengikut kaya lain,” tulis Muhammed A. al-Ahari.
Tujuh anggota keluarga Hamaas, termasuk tiga putranya dan seorang cucu berusia sembilan hari, meninggal dalam pembantaian itu. Para pelaku kemudian disidang: lima dijatuhi hukuman seumur hidup, sementara dua lainnya dibebaskan.
Hamaas tak puas terhadap putusan pengadilan yang dipimpin hakim Yahudi Leonard Braman itu. Dianggapnya tidak adil. Ditambah adanya kabar rencana pemutaran perdana film tentang Nabi Muhammad The Message, Hamaas terus menuntut agar para pelaku diserahkan kepadanya sambil meminta pembatalan pemutaran film tersebut plus pengembalian uang dendanya yang sebesar 750 dolar.
Lantaran tak kunjung membuahkan hasil, Hamaas dan 11 anak buahnya akhirnya bergerak. Kantor pemerintahan Distrik Washington DC, Masjid Islamic Center, dan markas organisasi sosial Yahudi B’nai B’rith Center dipilih menjadi sasaran. Masing-masing dianggap sebagai sumber ketidakadilan yang menimpa keluarganya. Kantor Distrik dianggap sebagai simbol pemerintahan, sementara Masjid Islamic Center dipilih karena masjid itu dioperasikan oleh NOI, dan B’nai B’rith dianggap sebagai kepanjangan tangan Yahudi.
Baca juga: Ulah Komunis Jepang di Kuala Lumpur
“Pembunuhan dan kegagalan untuk menghukum para pelaku menjadi salah satu alasan penyanderaan tahun 1977 yang disutradarai Hamaas. Alasan lain untuk gerakan tersebut termasuk dugaan penganiayaan terhadap Hamaas karena penilaian hakim terhadapnya karena perilakunya selama persidangan terhadap pembunuh keluarganya dan rilis film biografi Nabi Muhammad ‘The Message’ yang dianggap Hamaas menghujat,” tulis Muhammed A. al-Ahari.
Dimulai dengan menduduki kantor pemerintahan Distrik dan menyandera orang-orang di dalamnya sekira pukul 11 siang 9 Maret, mereka kemudian bergerak ke dua sasaran lain. Semua sasaran telah mereka kuasai sebelum pukul 3 sore.
Shirley M. Feigenbaum dan suaminya merupakan salah sedikit dari orang-orang yang disandera di markas B’nai B’rith. Keduanya sama-sama pegawai di sana namun beda lantai. Saat penyanderaan terjadi, Shirley tak lagi bisa menghubungi suaminya. Setelah disandera di kantornya, di lantai tujuh gedung, dia kemudian dikumpulkan oleh gerombolan di lantai delapan, tempat yang disebut Hamaas sebagai ruang eksekusi, bersama ratusan sandera lain.
Di Masjid Islamic Center, para teroris menyandera siapapun tanpa pandang bulu. Pelajar yang kebetulan sedang berkunjung atau bahkan warga negara Mesir dan Iran yang sedang di lokasi semua ikut diikat menggunakan tali bersama Dr. Muhammad A. Rauf (direktur Islamic Center).
Ancaman lebih jauh dilontarkan Hamaas. Sementara, para teroris di kantor Distrik bergerak lebih jauh.
“Sebelum jam 3 sore, dua pria dengan senapan kaluar dari taksi di Pennsylvania Avenue dengan rencana untuk membawa Walikota Walter E. Washington di bawah todongan senjata. Di lantai lima gedung pemerintahan Distrik, mereka salah belok dan berhenti di staf dewan dan pelobi. Petugas keamanan Mack Cantrell lalu berupaya menyelidiki, dan ketika dia membuka pintu menuju raung dewan, dia ditembak di kepala. Maurice Williams, seorang reporter berusia 24 tahun, juga diserang dan terbunuh, dan peluru senapan memantul di aula dan mengenai Barry satu inci dari jantungnya,” tulis Aaron C. Davis dalam “The Day Terrorists Took D.C Hostage” yang dimuat di washingtonpost.com, 10 Maret 2017.
Baca juga: Serangan Aktivis Kiri di Bandara Lod Israel
Untuk meminimalisir korban, aparat keamanan sampai menutup beberapa blok. Upacara penyambutan perdana menteri Inggris di Gedung Putih, yang hanya beberapa blok dari tempat kejadian, dibatalkan untuk mencegah teroris menyangka iring-iringan penyambut merupakan pasukan penyerbu. Kepala Kepolisian District of Columbia, Maurice Cullinane, bertindak hati-hati, wait and see.
“Anda hanya harus terus komunikasi. Anda tetap hanya menunggu mereka keluar,” ujar Maurice, dikutip Aaron C. Davis.
Mengetahui ada warganya yang ikut disandera, Dubes Iran Ardeshir Zahedi dan Dubes Mesir Ahsraf Gorbai dibantu Dubes Pakistan Yaqub Khan ikut bergabung dengan aparat keamanan ketika menemui Hamaas untuk negosiasi. Mereka mengutip beberapa ayat Quran untuk melunakkan hati Hamaas.
Hamaas akhirnya setuju untuk melepaskan sandera setelah tuntutannya akan penghentian penayangan film The Message dan permintaan menjadi tahanan rumah dikabulkan aparat. Pada Jumat 11 Maret 1977, para sandera pun dilepas. Hanafi Siege berakhir. Marion, Shirley, dan ratusan orang di tiga tempat penyanderaan pun senang. “Ketika saya melihat dia (suami, red.) Jumat pagi saya amat lega,” kata Shirley sebagaimana dikutip J.Y Smith dalam “B’nai B’rith Hostages Pinpoint Times of Hanafi Siege Events”, dimuat di washingtonpost.com, 16 Juni 1977.
“Saya tidak mencoba menjadi pahlawan; saya kebetulan masuk pada waktu yang salah pada hari yang salah. Tetapi jika saya tahu apa yang akan terjadi, saya tidak akan pernah masuk ke dalam gedung,” sambung Marion.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar