Ketika Habibie Harus Menyelesaikan Kasus Soeharto
Pemerintahan Habibie didesak mengusut tuntas kasus dugaan KKN yang dilakukan penguasa sebelumnya. Bagaimana dia menyelesaikannya?
MASA baktinya memang singkat: 17 bulan. Namun jika dilihat pencapaiannya dalam memperbaiki negara, B.J. Habibie tentu saja tidak bisa dipandang sebelah mata. Pada 21 Mei 1998 , dia resmi mengemban tugas sebagai kepala negara, menggantikan kepemimpinan Presiden Soeharto yang telah berjalan sedikitnya selama 32 tahun. Tugas berat pun segera membayangi Habibie. Satu yang menjadi sorotan adalah pemberantasan dugaan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) mantan presiden Soeharto dan jajarannya selama memegang kuasa.
Persoalan dugaan KKN pemerintahan Soeharto sebenarnya sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat. Banyak kebijakan pemerintah kala itu yang dianggap memuluskan jalan terjadinya KKN. Bahkan aktivitas keluarga Cendana (sebutan media untuk keluarga Soeharto yang tinggal di Jalan Cendana, Jakarta) pun mengarah ke sana. Puncaknya terjadi saat krisis ekonomi melanda Indonesia pada 1997. Setelah reformasi kasusnya pun mulai diselidiki.
Baca juga: Menelusuri Leluhur BJ Habibie
Penyelesaian kasusnya semakin ramai diperbincangkan terutama saat sebagian besar anggota MPR pada Sidang Istimewa tanggal 13 November 1998 mengehendaki nama Soeharto secara eksplisit disebut dalam Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Dalam pasal 4 Tap No. XI/MPR/1998 disebutkan: “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan dengan tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memerhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak asasi manusia”.
Di dalam otobiografinya Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, Habibie mengakui kedekatannya dengan Soeharto sedikit banyaknya telah mengurangi kepercayaan orang-orang kepadanya untuk bersikap objektif ketika menyangkut penguasa Orde Baru tersebut. Penyelesaian dugaan kasus KKN itu pun sempat menjadi polemik. Masyarakat cemas jika Habibie tidak bisa berbuat adil dalam menyikapinya.
Habibie memang pernah menyebut kalau pemerintah Soeharto jauh dari KKN. Dia menjadi saksi langsung karena pernah terlibat di dalam pemerintahan Orde Baru. “Dalam melaksanakan tugas sebagai anggota Kabinet Pembangunan, saya tidak pernah mendapatkan instruksi atau imbauan dari Pak Harto yang melanggar UU atau berbau KKN. Di sini kelihatan konsistensinya sikap dan pesan Pak Harto pada saya agar kepentingan rakyat harus diutamakan di atas kepentingan golongan, partai, kawan, keluarga, dan kepentingan pribadi,” ucapnya.
Baca juga: Habibie Kecil dan Soeharto Muda
Meski begitu, Habibie menegaskan tetap berusaha mengusut dugaan KKN ini hingga tuntas. Dia akan selalu membedakan kepentingan pribadi dengan kepentingan rakyat. Sehingga kekhawatiran masyarakat tersebut seharusnya tidak mungkin terjadi..
“Saya berusaha menilai keadaan sekitar Pak Harto dan rakyat Indonesia dengan selalu berusaha secara objektif mencari penyelesaian yang bijaksana,” kata Habibie.
Dalam sebuah wawancara bersama The Sydney Morning Herald tahun 1999, Habibie pernah ditanyai soal laporan majalah Time berjudul “Soeharto Inc”, yang membahas persoalan dugaan penimbunan harta selama pemerintahan Orde Baru berkuasa. Time edisi 17 Mei 1999 itu menyebut ada penumpukan harta senilai US$ 15 miliar di luar negeri. Habibie menyampaikan bahwa kasusnya telah diserahkan kepada pihak berwenang, yakni Kejaksaan Agung. Benar atau tidaknya laporan itu biarkan proses hukum yang menjawab.
A Makmur Makka dalam Mr. Crack dari Parepare: dari Ilmuwan ke Negarawan sampai Minandito, menyebut mengenai dugaan penimbunan uang di luar negeri, Habibie menugaskan Jaksa Agung dan Menteri Sekertaris Negara untuk memeriksanya. Namun dari hasil penyelidikan belum ada bukti-bukti untuk dugaan majalah Time tersebut.
Baca juga: Habibie dan Sang Jenderal
Habibie ingin secepatnya membereskan kasus Soeharto ini. Dia berusaha mencegah kasusnya disalahgunakan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab sehingga akan menjadi isu politik yang mengganggu jalannya pemerintahan.
“Saya berpendapat pula agar sebelum Sidang Umum MPR hasil pemilu 1999 dumulai, dasar hukum penyelesaian masalah Pak Harto secara objektif, bijaksana, dan profesional selesai,” kata Habibie.
Dilansir harian Republika 30 Juni 1999, pemerintahan saat itu menilai kasus Soeharto bukan hanya permasalahan yuridis semata, tetapi juga politis. Oleh karenanya Habibie memutuskan akan mengambil keputusan yuridis-politis dengan melibatkan berbagai komponen bangsa.
Namun diberitakan harian Kompas 2 Agustus 1999 “Kasus Soeharto akan Diselesaikan Secara Politis”, penyelesaian kasus ini secara yuridis akan dirasa sulit. Ditambah kondisi kesehatan Soeharto yang kian memburuk. Membuat pemerintah akhirnya memilih menggunakan cara politis untuk menyelesaikannya.
Perihal kesehatan Soeharto, dilaporkan Jaksa Agung dari hasil pemeriksaan Tim Kedokteran yang bewenang: “Pak Harto mengalami gangguan neurologis pada fungsi otak (fungsi luhur dan memori) yang kompleks, serta hambatan pada fungsi aktivitas mental. Pak Harto juga mengalami gangguan psikiatris, sehingga hanya mampu berkomunikasi untuk masalah sederhana, sedang untuk hal-hal yang kompleks kualitas pembicaraannya tidak bisa dijamin”.
Baca juga: Warisan Habibie untuk Indonesia
Begitu mendapat hasil penyidikan tim Kejaksaan Agung, Habibie segera mengumpulkan pakar-pakar hukum, termasuk Menteri Kehakiman Muladi, untuk mendiskusikan tindakan terbaik apa yang dapat diambil pemerintah untuk kasus dugaan KKN Soeharto tersebut. Habibie mempersilahkan semuanya menanggapi dengan bijak isi laporan Jaksa Agung itu.
Setelah mendengar laporan dan tanggapan dari para pakar hukum, Habibie mengusulkan agar kasus Soeharto dideponir atau diselesaikan secara tuntas dan tidak dapat dibuka lagi. Berarti, kasusnya akan ditutup sehingga tidak mengganggu jalannya reformasi. Habibie kembali menegaskan di dalam otobiografinya, bahwa keputusan yang diambil bukan karena keberpihakannya kepada Soeharto, tetapi demi kebaikan seluruh bangsa. Kondisi kesehatan Soeharto kala itu pun berpengaruh karena secara objektif memang sulit untuk orang yang sakit menjalani proses hukum.
“Permintaan saya didiskusikan secara luas, profesional, dan mendalam. Hasilnya adalah semua berkesimpulan agar paling bijaksana masalah Pak Harto diselesaikan dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Jaksa Agung. Oleh karena itu, saya memerintahkan Pejabat Sementara Jaksa Agung Ismudjoko agar dalam waktu sesingkat-singkatnya segera mengumumkan hasil penyelidikan dan status hukum mantan Presiden Soeharto kepada masyarakat luas,” ucap Habibie.
Baca juga: Empat Tokoh Idola Habibie
Tambahkan komentar
Belum ada komentar