Kesaksian Hasjim Ning tentang Penyelesaian PRRI
Sebagaimana Bung Hatta, Presiden Sukarno berupaya menyelesaikan PRRI/Permesta dengan tanpa kekerasan. Namun ceritanya berubah begitu dilanjutkan PM Djuanda-KSAD Nasution.
Ketika sejumlah kolonel di daerah mulai mengeluarkan tuntutan kepada pemerintah pusat pada akhir 1956, Presiden Sukarno berupaya turun tangan mengatasinya lantaran kabinet Ali Sastroamidjojo II maupun Djuanda yang menggantikannya tak kunjung dapat menyelesaikan masalah tersebut.
Tindakan Kolonel A. Husein di Padang merupakan bentuk protesnya terhadap pemerintah pusat yang dianggap oleh sejumlah perwira daerah sebagai mengabaikan kepentingan daerah. Sentralisasi pembangunan, pembubaran Divisi Banteng, makin menguatnya PKI setelah Pemilu 1955 dan diperparah oleh mundurnya Moh. Hatta dari kursi wakil presiden menjadi alasan di balik protes tersebut.
Begitu mendengar kabar Kolonel A. Husein mengambilalih pemerintahan Sumatera Tengah dari tangan Gubernur Ruslan Muljohardjo, presiden segera mengutus Hasjim Ning, sahabatnya yang merupakan keponakan Bung Hatta.
“Katakan pada A. Husein bahwa dia telah aku pandang anakku sendiri. Tindakannya mengambil oper pemerintahan dari tangan gubernur dapat membahayakan negara. Karena mungkin jadi panglima atau komandan militer lainnya akan melakukan hal yang sama. Katakan juga kepadanya bahwa aku tidak bisa melupakan budi baik istrinya, Des,” kata presiden sebagaimana dikutip Hasjim dalam otobiografinya yang ditulis AA Navis, Pasang Surut Pengusaha Pejuang.
Hasjim pun langsung bertolak ke Padang esok harinya. Sesampainya di kampung halaman, Hasjim langsung menuju kediaman Husein di Jalan Hatta (kini Jalan A. Yani). Dia disambut hangat tuan rumah.
“Dugaanku, melihat kedatanganku A. Husein menyangka aku datang sebagai ‘Raja Mobil’ yang ingin membantu gerakannya. Dan menahan aku agar menginap di rumahnya saja. Mungkin ia menyangka bahwa kedatanganku akan menyampaikan rencana besar lainnya untuk mengambil kesempatan berusaha seperti yang ia lakukan,” sambung Hasjim.
Lepas pukul 22.00 WIB, Hasjim pun membicarakan tujuannya menemui Husein adalah diutus Presiden Sukarno. Hasjim menyampaikan semua yang dipesankan Sukarno kepada Husein di depan istri Husein agar menimbulkan kesan bahwa Husein tetap diperhatikan Sukarno, bukan seperti yang selama ini dianggapnya sendiri ditelantarkan pusat.
Husein tak menyangka tujuan kedatangan Hasjim itu. Kepada Hasjim, Husein menjelaskan panjang lebar. “Ah, Bung Hasjim, tidak ada pikiranku, apalagi mengangan-angankan untuk memisahkan Sumatera Tengah dari Republik Indonesia. Kami hanya menuntut keadilan dan hak-hak kami kepada pemerintahan Ali. Bukan kepada Bung Karno,” kata Husein. Pembicaraan dilanjutkan Husein dengan menjelaskan program-program Dewan Banteng –bekas Divisi Banteng yang dibubarkan MBAD– yang didirikannya. Husein lalu menitipkan semua penjelasan itu kepada Hasjim agar disampaikan kepada presiden.
Permintaan Husein itu membingungkan Hasjim. “Bagaimana aku harus menyampaikan pada Bung Karno bahwa Pak Husein tetap menjunjung tinggi pribadinya selaku presiden?” kata Hasjim bertanya pada Husein.
“Aku akan mengirim surat padanya. Surat dari seorang anak kepada bapaknya,” jawab Husein.
Baca juga: Akhir Petualangan Boetje Wantanea si Pelarian Permesta
Begitu Hasjim kembali ke Jakarta sepekan kemudian, surat A. Husein telah lebih dulu tiba ke presiden. Situasi tetap tak mereda meski Kabinet Ali II telah digantikan Kabinet Djuanda. Bercampur dengan konflik internal Angkatan Darat, di mana sejumlah panglima daerah kecewa terhadap kebijakan tour of duty yang diterapkan KSAD AH Nasution, tuntutan daerah makin menguat. Posisi mereka kian kuat setelah beberapa tokoh politik pusat, seperti M. Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara, dan perwira MBAD Kolonel Zulkifli Lubis bergabung. Puncaknya, mereka mengultimatum pemerintah pusat.
“Pada tanggal 10 Februari 1958 mereka mengeluarkan ultimatum dari Padang yang menuntut supaya kabinet Djuanda mengundurkan diri dalam tempo lima hari, dan supaya dibentuk kabinet baru oleh Hatta dan Sultan Yogya. Jika tuntutan itu tidak dipenuhi, mereka akan membentuk pemerintah tandingan di Sumatera,” tulis Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI.
Kendati tuntutan itu secara resmi dijawab Djuanda-KSAD Nasution dengan pemecatan para perwira daerah pembangkang, sejumlah pihak termasuk Nasution secara pribadi mengirim utusan untuk penyelesaian informal. Presiden kembali mengutus Hasjim menemui Kolonel Husein, PM Djuanda mengutus Mr. Hardi, KSAD Nasution mengutus Bachtar Lubis, Bung Hatta mengutus Baharudin Datuk Bagindo dan Bujung Djalil. Namun tak satupun dari utusan itu yang berhasil. Bachtar Lubis bahkan menyeberang ke kubu Husein.
“Sikap yang diambil pemerintah pusat itu memaksa kaum pembangkang untuk melaksanakan ancaman mereka. Pada tanggal 15 Februari di Padang dibentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai perdana menteri,” sambung Sundhaussen.
Maka sebelum memulai safarinya ke sejumlah negara Eropa esok harinya, presiden menyempatkan diri mampir ke rumah Bung Hatta untuk mendiskusikan penyelesaian PRRI. Meski mengkritik cara penyelesaian PRRI yang diambil Sukarno sebagai bertele-tele, Hatta dengan senang menyambut kedatangan Sukarno. Hatta tetap memandang Sukarno presiden yang sah dan gerakan Husein sebagai tindakan salah karena merupakan putsch militer. Saran Hatta bahwa cara penyelesaian PRRI hendaknya menjauhi penggunaan kekerasan lalu diikuti Sukarno.
“Pada hari keberangkatannya, Bung Karno menyampaikan pidato agar sepeninggalnya tidak ada tindakan kekerasan dilakukan, harus diupayakan agar tidak ada pertumpahan darah,” kata Hasjim.
Namun sepeninggal presiden, PM Djuanda dan KSAD Nasution menjawab tuntutan daerah dengan operasi militer berbekal UU Keadaan Darurat Perang. PRRI pun ditumpas oleh pasukan yang dipimpin Kolonel A. Yani.
Baca juga: Kemenangan "Tentara Sukarno" di Hari Lebaran
Di Eropa, setelah mendiskusikan dengan Jakarta lewat telegram dan mengirim kurir, presiden akhirnya menyetujui cara penyelesaian yang diusulkan Wakasad Gatot Subroto bahwa PRRI/Permesta harus segera diselesaikan dengan melakukan amnesti dan abolisi. Pada 1961, para petinggi PRRI/Permesta termasuk A. Husein menyerahkan diri ke Jakarta.
“Akan tetapi pada suatu pagi, Bung Karno berkata kepadaku, ‘Hasjim, jij tahu, teman jij itu tidak setuju dengan amnesti abolisi itu. Maunya bertempur terus.’ Aku tidak tanyakan siapa yang dimaksud Bung Karno dengan istilah teman jij. Ia itu adalah Jenderal AH Nasution, yang sama-sama mendirikan IPKI dengan aku dahulu,” kata Hasjim.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar