Kerjasama Gagal Semaun dan Hatta di Belanda
Kegagalan pemberontakan PKI di Jawa dan Sumatera mendorong Semaun mencari jalan lain untuk melawan pemerintahan kolonial Belanda. Ia mendekati Hatta yang memimpin Perhimpunan Indonesia.
PEMBERONTAKAN Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jawa dan Sumatra pada November 1926 dan Januari 1927 dapat dengan cepat ditumpas oleh pemerintah kolonial Belanda. Pemberontakan gagal disebabkan buruknya organisasi, terpecahnya pimpinan, hingga represi yang sebelumnya dilakukan pemerintah kolonial Belanda terhadap organisasi berhaluan kiri.
Pemberontakan itu telah disiapkan jauh-jauh hari oleh sejumlah pimpinan PKI. Sebuah pertemuan yang kemudian dikenal dengan Kongres Prambanan dihadiri kader-kader pucuk PKI pimpinan Sardjono pada 25 Desember 1925. Hasilnya, peserta kongres menyepakati keputusan melawan pemerintah kolonial Belanda. Pemberontakan diharapkan terwujud selambatnya enam bulan setelah kongres.
Meski begitu, tak semua orang setuju dengan pemberontakan itu. Salah satunya adalah adalah Tan Malaka yang menilai situasi revolusioner di Hindia Belanda belum benar-benar memenuhi syarat untuk sebuah revolusi. Apa yang dikatakan Tan Malaka terbukti. Pemberontakan gagal dan dalam sepekan, polisi kolonial menangkap ribuan orang yang diduga terlibat pemberontakan. Hukuman berat diberikan kepada mereka; beberapa pemimpin pemberontakan dihukum gantung, sementara ratusan orang lainnya dibuang ke Boven Digul, Papua.
Menurut sejarawan Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600–1950, selain menjatuhkan hukuman berat, pemerintah kolonial Belanda juga melarang PKI berorganisasi di wilayah koloni. “Dengan hilangnya PKI, maka barisan kiri dalam panggung politik menjadi kosong. Hatta melihat terbukanya kesempatan itu, dan mendesak dibentuknya suatu ‘Partai Rakyat Nasional Indonesia,” tulis Poeze.
Kegagalan pemberontakan PKI mendorong Semaun mencari alternatif mengorganisasi perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Pemimpin PKI yang terpaksa bermukim di luar negeri sejak permulaan tahun 1920-an itu pergi ke Den Haag untuk menemui Mohammad Hatta, ketua Perhimpunan Indonesia sejak tahun 1926, guna menggalang dukungan.
Dalam otobiografinya, Untuk Negeriku: Bukit Tinggi-Rotterdam Lewat Betawi, Hatta berkisah pertemuan itu membahas tentang pemberontakan PKI dan kemungkinan reaksi pemerintah Hindia Belanda.
“Aku bermula menuduh Moskow yang bertanggung jawab atas hancurnya PKI. Bukan PKI saja yang akan hancur, tetapi juga seluruh pergerakan kebangsaan Indonesia akan menderita reaksi pemerintah kolonial,” kata Hatta. Akan tetapi, menurut Semaun, Stalin sesungguhnya juga tidak setuju dengan pemberontakan itu.
Kegagalan pemberontakan tak hanya membuat PKI dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda, tetapi juga dikhawatirkan berdampak pada perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Hatta beranggapan akan lebih baik bila Perhimpunan Indonesia mengambil alih pimpinan seluruh pergerakan nasional dengan perjanjian bahwa sisa-sisa PKI tidak akan mengadakan tantangan. Perhimpunan Indonesia akan mendirikan suatu partai nasional baru di Indonesia, di mana partai tersebut akan menyesuaikan diri dengan keadaan di Indonesia, tetapi tetap berdasar pada politik non-cooperation. Nantinya bekas anggota Perhimpunan Indonesia yang telah kembali ke tanah air dapat menjadi tulang punggung partai nasional yang baru, sembari merekrut kader-kader baru.
Baca juga:
Menurut Poeze, dalam pertemuan tersebut, Semaun mulanya meminta dukungan Hatta untuk membentuk suatu partai yang dikendalikan secara ketat, yang secara legal aktif dalam urusan pengajaran dan kerja sosial, tetapi di luar itu secara ilegal berjuang ke arah perebutan kekuasaan kolonial dengan kekerasan. Bila organisasi dan kekuatan dirasa sudah mencukupi, maka isyarat revolusi akan diberikan. Hatta menolak permintaan itu. Ia tak menginginkan persiapan bawah tanah untuk revolusi. Menurutnya, pendidikan dan emansipasilah yang akan mematangkan massa dalam menyambut kemerdekaan.
Walau berbeda pandangan, Semaun dan Hatta sepakat untuk mendirikan partai nasional baru. Keyakinan bahwa pergerakan rakyat yang kuat amat diperlukan untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia, dan oleh sebab itu seluruh masyarakat harus bersatu, pada 5 Desember 1926 tercapai kesepakatan di antara keduanya. Konvensi antara Hatta dan Semaun menghasilkan beberapa pasal yang telah disepakati. “Dalam sebuah persetujuan yang mencolok, PKI mengakui kepemimpinan Perhimpunan Indonesia dalam perjuangan membangun gerakan rakyat yang kokoh dan padu,” tulis Poeze.
Pasal pertama dalam konvensi itu berisi tentang janji Perhimpunan Indonesia, yang akan berkembang menjadi Partai Rakyat Nasional Indonesia, untuk bekerja dalam bidang politik dan sosial demi kepentingan rakyat Indonesia. Bidang sosial meliputi pendidikan rakyat, kesehatan rakyat, dan segala hal yang berguna untuk memperkuat tenaga rakyat.
Pasal kedua, selain mengakui pimpinan Perhimpunan Indonesia, yang akan berkembang menjadi Partai Rakyat Nasional Indonesia, PKI dan organisasi yang berada di bawah naungannya berjanji tidak mengadakan oposisi terhadap pergerakan rakyat nasional yang dipimpin oleh Perhimpunan Indonesia, selama Perhimpunan Indonesia konsekuen menjalankan politik menuju kemerdekaan Indonesia.
Pasal ketiga, segala percetakan yang dimiliki PKI mesti diserahkan kepada Perhimpunan Indonesia sesuai dengan syarat-syarat yang akan ditentukan. Percetakan itu nantinya akan dimanfaatkan Perhimpunan Indonesia untuk mengorganisasi pers nasional. Selanjutnya dalam pasal keempat tertulis konvensi ini dibuat dalam enam lebar dan setiap pihak memperoleh tiga lembar.
Baca juga:
Konvensi tersebut ditandatangani oleh Hatta sebagai wakil dari Perhimpunan Indonesia dan Semaun sebagai wakil PKI. “Waktu itu hanya Abdul Madjid Djojodiningrat yang mengetahui konvensi itu. Ia sangat gembira bahwa berkat konvensi itu Perhimpunan Indonesia akan memperoleh peranan yang penting dalam pergerakan nasional Indonesia,” tulis Hatta.
Namun, tak semua pihak setuju dengan konvensi yang disepakati oleh Hatta dan Semaun. Pentolan komunis itu justru mendapat celaan dan kritikan tajam karena bertindak sendiri tanpa konsultasi dengan kawan-kawan organisasinya. “Aku mendengar kemudian bahwa Semaun dipanggil oleh Stalin, dimarahi dan dipecat dari Partai Komunis dan Komunis Internasional. Ia diperintahkan membatalkan konvensi itu di depan pers internasional di Moskwa,” kata Hatta. Hal itu benar-benar dilakukan Semaun. Dua minggu setelah penandatanganan konvensi yang disepakati bersama Hatta, Semaun membatalkannya.
Anak didik Henk Sneevliet itu memandang keputusannya menandatangani konvensi tersebut adalah sebuah kesalahan. Kala itu, ia tengah berada di bawah tekanan karena kehancuran PKI yang ditindas oleh pemerintah Hindia Belanda. “Ia lupa bahwa dengan perbuatannya itu ia menempatkan pergerakan komunis di bawah pergerakan nasionalis,” kata Hatta. Setelah mengakui bahwa perbuatannya bertentangan dengan prinsip komunis di hadapan pers internasional, Semaun dibuang ke Semenanjung Krim.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar