Kenangan Seorang Sahabat
Seorang karib yang tak pernah patah semangat berjuang. Wartawan dalam nama dan perbuatan.
SABTU, 8 Oktober 2011 pukul 01.30 waktu Amsterdam, Belanda, di tengah keheningan malam, kami mendengar telepon berdering. Ternyata dari Ninon, istri Umar Said, bicara dari seberang telpon. Kabar duka menerpa di malam hari. Seperti tersambar halilintar di tengah malam sunyi, saya terkejut. “Pak Isa,” terdengar suara Ninon bergetar, “Pak Umar sudah tak ada lagi.”
Ayik, demikian saya memanggilnya, wafat pada pukul 22.50 waktu Paris, Prancis setelah sebelumnya sempat dirawat di rumah sakit kota Paris sejak Rabu (5/10) yang lalu. Saya sangat berduka kehilangan seorang sahabat akrab. Perasaan yang sama persis muncul ketika kehilangan Joesoef Isak pemimpin penerbit Hasta Mitra, beberapa tahun yang lalu.
Pada saat Joesoef Isak datang pertama kali ke Eropa secara klandestin, sekira tahun 1978, saya dan S. Tahsin (wartawan, mantan Pemred Bintang Timur-Red) pendiri dan pengelola penerbit dan toko buku "Manus Amici" di Amsterdam, selalu berkumpul di suatu tempat untuk saling cerita, tukar pengalaman dan berkonsultasi. Biasanya pertemuan itu berlangsung di rumah Ayik di Paris. Saat itu Ninon, istri Ayik dan dua orang putranya, Iwan dan Budi, masih belum diketahui keberadaannya di Indonesia.
Adalah Joesoef Isak yang dimintai Ayik untuk mencarikan di mana Ninon dan dua orang anaknya itu berada. Umar Said terpisah dengan keluarganya sejak 1965, ketika Umar Said bersama Francisca Fnggidaej (anggota DPR dan pemimpin kantor berita INPS), bertugas mewakili Indonesia dalam suatu pertemuan wartawan internasional di Chili. Karena Peristiwa 1965 dan berdirinya Orba, Ayik tak bisa pulang. Berkat usaha tak kenal lelah dari Joesoef Isak, alamat Ninon dan dua orang putra-putranya bisa ditemukan. Selanjutanya Joesoef Isaklah yang menghubungkan kembali keluarga Umar Said yang hampir selama 13 tahun terceraiberai. Suatu manifestasi cemerlang dari semangat solidaritas wartawan pejuang Joesoef Isak bagi Umar Said.
Kepergian Ayik cukup mengagetkan. Padahal baru saja beberapa hari yang lalu Ayik menelpon saya. “Ada cerita apa, Yik?” tanya saya. Ayik bercerita bahwa tulisan saya dimuat di dalam blognya. Kami memang biasa saling menyiarkan tulisan masing-masing. Ayik melakukannya melalui ′Website Umar Said′, sementara saya melalui jaringan mailing list, Facebook dan Blogsite milik saya. Dengan cara demikian tulisan kami bisa disebarkan seluas mungkin, barangkali ada gunanya bagi generasi muda kita. Dalam beberapa tahun belakangan ini kami memfokuskan pada penyebaran tulisan sekitar ajaran-ajaran Bung Karno.
Ayik telah berjuang maksimal demi bangsa, tanah air, hak-hak demokrasi dan hak-hak azasi manusia. Kegiatan dan perjuangan Ayik mendapat penghargaan tinggi dari semua yang mengenal Ayik, dari dekat maupun dari jauh. Juga yang mengenal dari tulisan-tulisannya yang disiarkannya selama bertahun-tahun sejak berdomisili di Paris. Siapa saja yang kenal Ayik dan mengikuti tulisan-tulisannya pasti terinspirasi dan terdorong untuk bersama-sama melakukan kegiatan dan berjuang menegakkan keadilan.
Sebagai tanda penghargaan dan penghormatan kota Paris, Umar Said tahun ini dianugerahi "Medali Warga Terhormat Kota Paris". Suatu tanda penghargaan dan penghormatan luar biasa yang dilakukan kota Paris kepada seorang Indonesia yang dianggap telah banyak melakukan kegiatan demi persahabatan dan saling mengerti antara dua bangsa, Prancis dan Indonesia. Sekaligus penghargaan atas jerih payah dan perjuangan untuk hak-hak demokrasi dan hak-hak azasi manusia di Indonesia.
Umar Said adalah salah seorang yang sering disebut “orang yang terhalang pulang”. Awal mula Ayik menjadi manusia "stateless" menjadi “eksil” penyebabnya adalah perlawanan kongkrit dan “face to face” terhadap ′kudeta merangkak′ Soeharto yang menjatuhkan Presiden Sukarno. Pada akhir 1965, saya dan Ayik menyusun Delegasi Indonesia agar terwakili dengan baik dalam konferensi Asia-Afrika-Amerika Latin, yang populer dikenal sebagai konferensi Trikontinental di Havana, Kuba, awal 1966. Di forum internasionl itulah Umar Said ambil bagian dalam perjuangan untuk menjelaskan kepada seluruh dunia tentang pelanggaran HAM terbesar di Indonesia.
Delegasi Indonesia, di mana Umar Said ambil bagian aktif itu, menggalang solidaritas internasional bagi rakyat Indonesia yang sedang tertindas. Kegiatan inilah yang menyebabkan Umar Said bersama kawan-kawan lainnya dalam delegasi Indonesia ke Konferensi Trikontinental di Havana itu mendapatkan label sebagai penggerak kegiatan subversif anti-Indonesia. Setelah kejadian itu paspor-paspor mereka dinyatakan tidak berlaku lagi, dicabut!
Tetapi situasi tanpa kewarganegaraan di Prancis tidak mematahkan semangat juang Umar Said. Bersama kawan-kawan Indonesia lainnya yang bernasib sama, Umar Said, atas bantuan kawan-kawan progresif Prancis dan pihak gereja, berhasil mendirikan koperasi Restoran Indonesia, Paris. Restoran itu bukan saja memberikan kesempatan kerja pada teman-teman eksil lainnya, sehingga tak perlu minta bantuan sosial pemerintah Perancis, tetapi juga menjadikannya salah satu pusat kegiatan budaya Indonesia. Arief Budiman yang ketika itu dilarang mengunjunginya nekat pergi kesana dan kemudian menulis di koran Kompas bahwa kegiatan promosi budaya Indonesia di restoran Indonesia jauh lebih efektif ketimbang yang dilakukan oleh KBRI di Paris.
Umar Said adalah seorang jurnalis Indonesia dalam nama dan perbuatan. Kegiatan jurnalistik Umar Said bukan semata-mata untuk menunjang hidup diri dan keluarganya. Umar Said adalah seorang patriot sejati, yang kecintaan dan kesetiaannya pada Indonesia sedikit pun tak diragukan. Selain berjuang untuk kemerdekaan Indonesia secara fisik sejak awal revolusi sebagai anggota tentara pelajar, setelah berdiri tegaknya Republik Indonesia, Umar Said juga aktif langsung di lapangan melawan pemberontakan separatis PRRI-Permesta.
Umar Said adalah benar-benar apa yang disebut: wartawan yang berjuang secara intensif dan efektif melalui tulisannya. Sejak awal tahun 1950-an ia aktif sebagai wartawan Indonesia Raya, kemudian menjadi pemimpin redaksi koran Ekonomi Nasional, satu-satunya surat kabar ekonomi Indonesia yang berskala nasional ketika itu. Bersamaan dengan itu, dia dan kawan-kawan lainnya aktif menyelenggarakan Konferensi Wartawan Asia-Afrika di Jakarta pada1963. Konferensi itu merupakan pelaksanaan Semangat Konferensi Asia-Afrika di Bandung, 1955.
Umar Said telah tiada akan tetapi ia meninggalkan suri teladan sebagai wartawan pejuang yang tak patah semangat memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Selamat jalan, sobat.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar