Kekejaman Inggris di Jawa
Penjajahan Inggris dianggap lebih baik daripada Belanda, padahal Inggris juga melakukan kekejaman. Seorang pangeran Jawa dimutilasi serdadu Inggris.
Banyak orang yang menganggap dijajah Inggris lebih baik daripada dijajah Belanda. Barangkali karena mereka melihat kemajuan negara-negara bekas jajahan Inggris. Bagaimana dengan Indonesia, bukankah Indonesia juga pernah dijajah Inggris meski hanya lima tahun (1811-1816)?
“Generasi sekarang, khususnya orang Jawa malah menganggap Inggris sebagai bangsa pembebas. Sebelumnya, orang Jawa mendapatkan kekejaman dari Gubernur Jenderal Daendels dan penggantinya Willem Janssens. Penjajahan Inggris kesannya tidak negatif,” kata Peter Carey, sejarawan asal Inggris, dalam acara tur sejarah “Jejak Inggris di Jawa 1811-1816,” yang diselenggarakan Penerbit Buku Kompas, di Semarang, Senin, 28 Agustus 2017 (Baca: Sepuluh Fakta di Balik Pembangunan Jalan Daendels dari Anyer ke Panarukan).
Carey, penulis buku Inggris di Jawa (1811-1816), mengatakan bahwa Pangeran Diponegoro ketika diminta membandingkan Inggris dengan Belanda oleh menantu Gubernur Jenderal de Kock, dia menilai Inggris dengan positif.
“Selama di Jogja saya tidak pernah menjumpai orang secerdas dan seulet John Crawfrud (Residen Inggris di Yogyakarta -red). Dia menguasai bahasa Jawa Kromo Inggil hanya dalam waktu enam bulan,” kata Carey mengutip ucapan Diponegoro.
Carey justru berpendapat sebaliknya bahwa salah satu warisan Inggris adalah untuk meremehkan orang Jawa. Misalnya, buku History of Java karya Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles, membuat orang Jawa berpikir saat ini mereka mengalami degradasi. Buku itu menebar desas-desus kalau budaya Jawa sebenarnya pernah unggul dan agung sebelum akhirnya semakin memburuk.
“Sebenarnya dulu agung sekali, tapi sekarang menjadi tidak bernyali. Dalam tiga jam Keraton Yogyakarta yang paling hebat di Jawa Tengah bagian selatan itu bisa ditaklukkan,” kata Carey.
Lebih dari itu, kata Carey, penjajahan Inggris menyisakan kekejaman seperti terlihat dalam Babad Bedhah ing Ngayogyakarta (1816) karya Pangeran Panular, putra Sultan Hamengkubuwono I dari istri selir.
Dalam babad itu tercatat bahwa Pangeran Sumodiningrat, seorang keturunan sultan pertama, meninggal di kediamannya dalam penyerbuan Inggris ke Keraton Yogyakarta pada 20 Juni 1812. Sumodiningrat dibunuh pasukan yang dipimpin oleh John Deans, sekretaris Keresidenan Yogyakarta. Pakaian Sumodiningrat dilucuti, badannya dipotong-potong.
“Lehernya ditebas. Anak buah John Deans lalu mempreteli semua pakaian dan perhiasan yang dipakai Sumodiningrat,” ungkap Carey.
Menurut Carey, kekejaman juga dilakukan oleh Raffles terhadap anak buahnya sendiri. Anak muda banyak yang meninggal ketika melayani letnan gubernur jenderal itu. Dia tidak peduli kepada kesehatan anak buahnya.
Jika Inggris melakukan kekejaman, bagaimana bisa penjajahannya dipandang lebih baik daripada Belanda?
“Ini soal pencitraan,” kata Carey. “Inggris punya satu industri untuk membuat buku yang mengagungkan Inggris, khususnya Raffles.”
Tambahkan komentar
Belum ada komentar