Kala Orde Baru Terlibat Kudeta Partai
Rezim Orde Baru terlibat kudeta ketua umum PPP dan PDI. Dua partai saingan Golkar ini digembosi dari dalam.
Konflik internal Partai Demokrat kian memanas. Setelah isu kudeta bergulir, Kongres Luar Biasa (KLB) yang digelar pada Jumat, 5 Maret 2021, di Deli Serdang, Sumatera Utara mengangkat Jenderal Purnawirawan Moeldoko sebagai ketua umum. Partai berlambang bintang segitiga itu kini terbelah dua: kubu Agus Harimurti Yudhoyono dan kubu Moeldoko.
Moeldoko yang kini masih menjabat sebagai Kepala Staf Presiden merepotkan Istana. Pemerintahan Joko Widodo dituduh terlibat dalam konflik ini. Beberapa pihak kemudian menuntut presiden memecat Moeldoko untuk menunjukan netralitas pemerintah.
Konflik internal partai yang melibatkan pemerintah bukan kali ini saja terjadi. Pada masa Orde Baru, dua partai saingan Golkar, yakni PPP dan PDI, pernah mengalami kudeta ketua umum. Soeharto dianggap terlibat konflik internal untuk melemahkan suara partai.
Menjinakkan Partai Islam
Melalui undang-undang peyederhanaan partai politik, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berdiri pada 5 Januari 1973. Partai ini merupakan fusi dari empat partai Islam: Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Nahdlatul Ulama (NU), Partai Tarbiyah Islam (Perti), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSSI).
Fusi yang dilakukan Orde Baru didahului dengan intervensi pada partai-partai Islam itu. Kudeta pimpinan sudah terjadi dalam partai-partai Islam itu. Dalam PSSI sebelum fusi, Presiden Partai H.M. CH. Ibrahim dan Sekjen H. Wartomo Dwidjojuwono dikudeta oleh Anwar Tjokroaminoto dan kawan-kawan. Di Parmusi, kepemimpinan Djarnawi dan Lukman Harun dikup oleh Jaelani Naro dan Imam Kadir. Melalui Keppres 1970, kepemimpinan Parmusi diserahkan kepada H.M.S. Mintaredja yang kemudian juga menjadi ketua umum PPP.
Baca juga: NU dalam Pemilu Pertama Orde Baru
Nama Jaelani Naro, populer sebagai John Naro, muncul lagi ketika terjadi konflik internal PPP. Menurut Syamsuddin Haris dalam PPP dan Politik Orde Baru, Naro awalnya bukanlah tokoh yang menonjol. Ia bukan dari Masyumi, Muhammadiyah, maupun NU, melainkan dari Jamiatul Wasliyah, organisasi Islam regional di Sumatera.
Meski bukan dari organisasi besar, Naro yang berpandangan moderat selalu mendapat dukungan dari penguasa Orde Baru yang tengah berupaya meredam suara-suara politikus Islam yang kritis terhadap pemerintahannya. Sewaktu di Parmusi, Naro juga ditempatkan sebagai DPP oleh Ali Murtopo yang merupakan tangan kanan Soeharto dalam bidang politik. Pada 1978, Ketua Umum Mintaredja diberhentikan dan Naro menggantikannya tanpa ada muktamar.
Menurut Martin Van Bruinessen dalam NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa: Pencarian Wacana Baru, sejak sebagian anggota Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) walk out pada Sidang Umum MPR 1978, campur tangan pemerintah dalam PPP semakin besar.
“Naro tampaknya mempunyai tugas mendisiplinkan partai ini dan menetralisir suara-suara sumbang NU. Dia segera menjalankan partai seperti miliknya sendiri, dengan memastikan tidak seorangpun dalam partai ini yang mempunyai sumber kekuatan independen,” tulis Van Bruinessen.
Pada masa kepemimpinan Naro, PPP dilanda konflik berlarut-larut. Pada 1980, unsur NU dalam FPP di DPR walk out menolak perubahan UU Pemilu. Sikap ini membuat pemerintah gusar dan berkeinginan menyingkirkan mereka.
Baca juga: Partai Islam ala Bung Hatta
“Oleh karena itu, tidak mengherankan bila upaya Naro ‘membersihkan’ PPP dari para politisi berhaluan keras selalu mendapat dukungan dari pemerintah,” sebut Haris.
Pada 1988, Naro kembali membuat geger. Di Sidang MPR, Naro mengajukan diri sebagai calon wakil presiden. Padahal, Soeharto lebih memilih Sudharmono.
Menurut Van Bruinessen, pencalonan ini tampaknya didalangi Benny Moerdani yang kala itu tengah berkonflik dengan Soeharto. Meski kemudian menarik pencalonan dirinya, Naro terlanjur membuat Soharto kesal. Karir politiknya tamat karena itu.
Menggembosi Partai Banteng
Serupa dengan PPP, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) merupakan partai hasil fusi yang berdiri pada 10 Januari 1973. Beberapa partai yang dilebur ke dalamnya antara lain Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Partai Murba), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Partai ini awalnya tak mampu meraup suara signifikan dalam Pemilu. Menjelang Pemilu 1987, Ketua Umum PDI Soerjadi menggaet Megawati Sukarnoputri dan Guruh Sukarnoputra untuk menarik suara dari mereka yang merindukan Sukarno. Alhasil, Megawati berhasil menjadi anggota DPR dan suara PDI melejit pada 1987 dan 1992.
Anak kedua Sukarno itupun semakin populer bahkan mengalahkan popularitas Soerjadi. Megawati pun terpilih sebagai Ketua Umum pada Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya pada Desember 1993.
Baca juga: Mereka yang Diburu Pasca Kudatuli
“Munculnya Megawati sebagai Ketua Umum PDI dan perhatian baru pada konsep ‘arus bawah’ membuat pemerintah berada dalam situasi yang sulit. Dukungan kuat yang diterima Megawati baik di dalam maupun di luar PDI membuat pemerintah sulit untuk mengabaikannya,” tulis Stefan Eklöf dalam Power and Political Culture in Suharto’s Indonesia: The Indonesian Democratic Party (PDI) and Decline of The New Order (1986–98).
Megawati makin moncer. Ia kemudian digadang-gadang sebagai calon presiden menggantikan Soeharto.
Pemerintah tidak tinggal diam. Kudeta dilancarkan pada kongres PDI di Medan, Juni 1996. Kongres ini dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri Yogie S. Memet. Bekas ketua umum Soerjadi, yang sejak lama berada di bawah kendali rezim, terpilih sebagai ketua umum.
Menurtu C. Van Dijk dalam The Partai Demokrasi Indonesia, terpilihnya Soerjadi mendapat dukungan dari pemerintah. Mendagri Yogie mengucapkan selamat dan menggarisbawahi bahwa kepengurusan Soerjadi adalah satu-satunya yang sah.
“Aparat TNI juga menegaskan bahwa mereka mengakui kepengurusan Soerjadi sebagai satu-satunya pengurus resmi PDI,” sebut C. Van Dijk.
Baca juga: Kisah Petrus Saat Kudatuli Meletus
Megawati dan pendukungnya tidak hadir karena tidak mengakui legalitas majelis tersebut. Ia kemudian menggugat putusan itu ke pengadilan, namun belakangan kalah. Sementara, pendukung Megawati melakukan unjuk rasa menolak hasil kongres.
“Kongres Medan 1996 mengikuti naskah yang sama yang digunakan rezim dalam banyak kesempatan untuk melantik atau menurunkan para pemimpin partai politik serta beberapa organisasi sosial dan keagamaan besar lainnya,” tulis Eklöf.
Kisruh PDI berbuntut panjang. Pada 27 Juli 1996, kantor PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat diserang massa pendukung Soerjadi. Peristiwa ini menyebabkan kerusuhan besar yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Kudatuli atau Sabtu Kelabu. Megawati kemudian mendirikan PDI Perjuangan pada 1999 yang diklaim sebagai penerus PDI.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar